NovelToon NovelToon
The Lonely Genius

The Lonely Genius

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Dunia Masa Depan / Robot AI
Popularitas:657
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".



(Setiap hari update 3 chapter/bab)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18: Gema Stockholm

Pagi itu dimulai seperti pagi lainnya di puncak menara Ethan Pradana.

Pukul 06:00 pagi. Alarm biometriknya membangunkannya dengan lembut, menyimulasikan matahari terbit alami di langit-langit kamarnya. Apartemen Direktur—yang terletak dua lantai di atas kantornya—adalah tempat yang luas, sunyi, dan tanpa jiwa. Dia merindukan kekacauan apartemen Nate.

Dia mandi, mengenakan setelan Direktur-nya yang dibuat khusus (kali ini berwarna biru laut), dan minum segelas jus nutrisi yang disiapkan oleh sistem otomatis dapurnya. Dia tidak pernah punya waktu untuk sarapan sungguhan.

Pukul 07:00 pagi. Dia sudah berada di kantornya, menatap layar holografik raksasa yang menampilkan kemajuan Proyek Dyson Sphere. Semuanya berwarna hijau. Produksi Lensa Fraktal di orbit berjalan sesuai jadwal. Pengiriman *Calicite-7* dari Mars—di bawah pengawasan Profesor Thorne yang kini patuh seperti anjing—berjalan lancar. Terlalu lancar.

"Pagi, Ethan," suara Aurora berdesis pelan dari komunikator pribadinya yang tersembunyi—sebuah bros kecil di kerah bajunya. "Analisis semalam tidak menunjukkan anomali baru dalam log pengiriman Thorne. Tapi efisiensinya masih... mencurigakan. 100% tepat waktu. Tidak ada penundaan, tidak ada kesalahan. Itu secara statistik tidak mungkin."

"Aku tahu," gumam Ethan, menyesap jusnya. "Terus awasi dia, Aurora. Cari polanya."

"Selalu."

Pukul 08:00 pagi. Kenji, asistennya, masuk dengan jadwal hari itu. Rapat dengan tim fisika plasma. Tinjauan keamanan siber. Panggilan konferensi dengan Akademi Sains Tokyo.

"Dan, Pak," kata Kenji, ragu-ragu, "ada... pengumuman penting dari Stockholm pukul 10:00 Waktu London."

Ethan mengernyit. "Stockholm? Pengumuman apa?"

"Komite Nobel, Pak. Untuk Fisika."

Ethan tertawa kecil. "Jangan konyol, Kenji. Aku baru saja mendapatkannya tiga tahun lalu. Mereka tidak memberikan dua sebelum usia tiga puluh."

"Saya tahu, Pak. Tapi... ada banyak rumor."

"Abaikan rumor," kata Ethan, kembali menatap layar Dyson Sphere. "Jadwalkan rapat plasma."

Pukul 09:55. Ethan sedang berada di tengah-tengah perdebatan sengit tentang medan magnetik toroidal dengan Dr. Lena Petrova, kepala tim plasma barunya—seorang wanita brilian dan blak-blakan yang dia rekrut dari Akademi Moskow.

"Tidak, Direktur," kata Petrova, menunjuk ke layar. "Jika kita meningkatkan fluksnya sebesar 5%, kita berisiko..."

Interkom berbunyi. Suara Kenji terdengar, penuh kegembiraan yang tertahan. "Pak? Maaf mengganggu. Tapi... Anda harus melihat ini."

Layar utama di ruang rapat tiba-tiba beralih ke siaran langsung dari Stockholm. Aula emas yang megah. Seorang pria tua berjanggut putih berdiri di podium.

"...dan Hadiah Nobel Fisika tahun ini," kata pria itu dalam bahasa Inggris beraksen Swedia, "diberikan kepada satu individu... atas terobosannya yang mengubah paradigma dalam pemanfaatan energi bintang melalui pengembangan Arsitektur Lensa Fraktal..."

Ruang rapat menjadi sunyi senyap. Ethan membeku. Lena Petrova menatapnya, matanya melebar.

"...Direktur Ethan Pradana!"

Ledakan tepuk tangan terdengar dari siaran Stockholm.

Dan kemudian, ledakan yang lebih keras terjadi di ruang rapat itu. Tim plasma Ethan melompat berdiri, bersorak, bertepuk tangan. Seseorang membuka sebotol sampanye entah dari mana.

Ethan hanya berdiri di sana, tertegun. Nobel kedua. Sebelum usia 21.

Dia berhasil. Lagi.

Ponsel pribadinya—yang hampir tidak pernah berdering—mulai bergetar hebat di sakunya. Dia melihat ID penelepon. Nate.

Dia berjalan keluar dari ruang rapat yang riuh itu, mengabaikan ucapan selamat, dan mengangkat telepon di koridor yang sepi.

"Kau melihatnya?" suara Nate terdengar, lebih keras dari biasanya karena kegembiraan.

"Aku... ya," kata Ethan, masih sedikit linglung.

"DUA KALI!" teriak Nate. "Adikku yang bodoh memenangkan DUA Hadiah Nobel! Aku tidak percaya! Aku akan kaya! Kau harus memberiku kenaikan gaji sebagai fotografer pribadimu!"

Ethan tertawa, tawa lega yang tulus. "Kau bahkan bukan fotografer pribadiku."

"Mulai sekarang iya! Aku akan ikut ke Stockholm! Aku akan memotretmu dengan Raja Swedia! Clara akan..." Nate berhenti tiba-tiba. Nama itu menggantung di udara.

Keheningan yang canggung menyelimuti mereka.

"Nate," kata Ethan lembut.

"Tidak apa-apa," kata Nate cepat, suaranya sedikit serak. "Aku baik-baik saja. Ini... ini bagus, Eth. Ini benar-benar bagus. Kau pantas mendapatkannya."

"Terima kasih, Nate."

"Hei," kata Nate, mencoba terdengar ceria lagi. "Kita harus merayakannya. Malam ini. Apartemenku. Bawa Luna. Aku akan memesan... tidak, aku akan *memasak* sesuatu. Sesuatu yang layak untuk seorang pemenang Nobel ganda."

"Kau tidak bisa memasak," kata Ethan.

"Aku bisa belajar! Sampai jumpa jam tujuh!" Nate menutup telepon sebelum Ethan bisa memprotes.

Ethan berdiri di koridor sejenak, telepon masih menempel di telinganya. Kemenangan itu terasa manis, tetapi ada sedikit rasa pahit dari kesedihan Nate yang belum sembuh.

Dia harus menelepon Luna.

Perjalanan ke Stockholm terasa seperti mimpi.

Senator Rostova bersikeras agar Ethan terbang dengan jet pribadinya—sebuah pesawat hipersonik mewah yang melintasi Eropa Utara dalam waktu kurang dari satu jam. Tapi Ethan menolak.

"Saya akan pergi dengan teman-teman saya," katanya kepada Senator melalui panggilan video, sebuah tindakan pembangkangan kecil yang mengejutkan dirinya sendiri.

Rostova hanya tersenyum keibuan. "Tentu saja, Nak. Nikmatilah momenmu. Kau pantas mendapatkannya." Tapi mata Ethan menangkap kilatan dingin sesaat sebelum koneksi terputus.

Jadi, mereka bertiga—Ethan, Nate, dan Luna—naik kereta Maglev komersial ke Stockholm. Perjalanan itu memakan waktu enam jam, dan itu adalah enam jam paling normal dan bahagia yang pernah Ethan alami dalam setahun terakhir.

Mereka duduk di kabin pribadi kelas satu (Ethan membayar, tentu saja). Nate menghabiskan sebagian besar waktunya dengan memotret pemandangan Swedia yang tertutup salju di luar jendela, sesekali mengomentari betapa "datar"-nya lanskap itu dibandingkan dengan perbukitan Inggris.

Luna mengeluarkan buku teks neurobiologinya, berpura-pura belajar untuk ujian, tetapi Ethan bisa melihat dia lebih sering menatapnya daripada halaman-halaman itu.

Dan Ethan... Ethan hanya duduk di sana, di antara kedua orang yang paling berarti baginya, dan merasa... damai.

Dia mencoba membaca makalah tentang fisika partikel, tetapi pikirannya terus melayang. Dia memikirkan betapa absurdnya semua ini. Tiga tahun lalu, dia adalah seorang mahasiswa canggung yang makan mie instan di apartemen Nate. Sekarang dia terbang melintasi Eropa untuk menerima penghargaan tertinggi di dunia sains untuk kedua kalinya, sementara sahabatnya adalah jurnalis foto yang dihormati dan wanita yang dicintainya akan segera menjadi dokter.

Mereka telah berhasil keluar. Mereka telah mengalahkan Zona-D.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Luna pelan, menyandarkan kepalanya di bahu Ethan.

"Hanya... betapa jauhnya kita sudah melangkah," gumam Ethan. "Rasanya tidak nyata."

"Ini nyata, Eth," kata Nate dari jendela, tidak menoleh. "Kita berhasil. Kita melakukannya." Ada nada kebanggaan yang dalam di suaranya.

"Kita belum selesai," kata Ethan. "Dyson Sphere belum selesai."

"Itu akan selesai," kata Luna. "Dan kau akan mengubah dunia." Dia tersenyum. "Tapi hari ini... hari ini adalah tentangmu. Nikmatilah."

Ethan mengangguk. Dia mencoba.

Stockholm menyambut mereka dengan udara musim dingin yang segar dan langit senja berwarna merah muda pucat. Kota itu indah—bangunan-bangunan bersejarah yang anggun berdampingan dengan arsitektur modern yang ramping, semuanya tertutup lapisan salju tipis yang berkilauan.

Suite hotel mereka—di Grand Hôtel yang bersejarah, menghadap ke Istana Kerajaan—sangat mewah hingga terasa menggelikan. Nate berlarian seperti anak kecil, melompat di atas tempat tidur berkanopi dan mengagumi kamar mandi berlapis emas.

"Aku bisa terbiasa dengan ini," katanya, membungkus dirinya dengan jubah mandi hotel yang tebal. "Mungkin kau harus memenangkan Nobel setiap tahun, Eth."

Ethan dan Luna hanya saling pandang dan tertawa.

Malam sebelum upacara adalah malam yang tenang. Mereka makan malam di restoran hotel yang elegan. Ethan merasa canggung dalam setelan jas formalnya. Nate terus-menerus mencoba memotret pasangan bangsawan tua di meja sebelah. Luna adalah satu-satunya yang tampak nyaman, mengobrol dengan Ethan tentang kasus medis terbarunya, mencoba mengalihkan pikirannya dari acara besok.

"Kau gugup?" tanya Luna saat mereka berjalan kembali ke suite mereka, lengan mereka bersentuhan.

"Sedikit," Ethan mengakui. "Rasanya... terlalu besar."

"Kau akan baik-baik saja," katanya lembut. "Ingat pidato pertamamu? Kau mengubahnya di menit terakhir dan berbicara dari hati. Lakukan itu lagi."

"Aku tidak yakin Rostova akan menyukainya."

"Siapa peduli apa yang dia suka?" kata Luna. "Ini momenmu. Katakan apa yang perlu kau katakan."

Kembali di suite, Nate sudah tertidur di salah satu sofa, kameranya tergeletak di dadanya.

Ethan dan Luna berdiri di balkon pribadi mereka, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di atas air yang membeku. Udara dingin menggigit pipi mereka.

"Indah sekali," bisik Luna.

"Ya," kata Ethan. Dia tidak melihat ke kota. Dia melihat ke arah Luna.

Dalam cahaya bulan Swedia yang pucat, dia tampak seperti sesuatu dari mimpi. Wajahnya yang cerdas dan baik hati, matanya yang bersinar. Dia adalah konstanta dalam hidupnya yang kacau. Jangkar emosionalnya.

"Terima kasih, Lun," katanya pelan.

"Untuk apa?"

"Untuk... segalanya. Untuk tetap di sini. Untuk membuatku tetap waras."

Luna tersenyum. "Itu pekerjaanku." Dia melangkah lebih dekat, kehangatannya melawan dinginnya malam. "Kau akan mengguncang dunia besok, Ethan Pradana."

Dia berjinjit dan memberinya ciuman singkat di bibir yang dingin. "Sekarang, tidurlah. Kau butuh istirahat."

Dia masuk ke dalam, meninggalkannya sendirian di balkon.

Ethan berdiri di sana lebih lama, membiarkan udara dingin menjernihkan kepalanya. Dia menatap bulan sabit tipis di atas Istana Kerajaan.

Dia berada di puncak dunia. Dia memiliki pengakuan tertinggi. Dia memiliki cinta dari wanita yang luar biasa. Dia memiliki kesetiaan seorang saudara.

Tapi peringatan Nate masih bergema di benaknya. *Dia menggunakanmu.*

Dan pesan rahasia Aurora. *Probabilitas ancaman fatal: 89.4%.*

Dia merasa seperti berdiri di tepi tebing yang indah, dengan pemandangan yang menakjubkan di bawahnya, tetapi angin mulai bertiup kencang di punggungnya.

Dia menyentuh bros komunikator di kerah piyamanya.

"Aurora?" bisiknya.

Hening sejenak. Lalu, suara A.I. itu terdengar di telinganya, nyaris tak terdengar. `Saya di sini, Ethan. Selamat atas penghargaannya.`

"Terima kasih. Apa ada... perkembangan?"

`Negatif. Thorne bersih. Rostova diam. Semuanya... normal.`

"Terlalu normal," gumam Ethan.

`Sepakat.`

Dia menatap bulan lagi. Dia akan menikmati momen ini. Dia akan menikmati kemenangan ini. Tapi dia tidak akan lengah.

Karena dia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa permainan baru saja dimulai. Dan bidak-bidak paling berbahaya belum bergerak.

1
Brock
Saya butuh lanjutannya, cepat donk 😤
PumpKinMan: udah up to 21 ya bro
total 1 replies
PumpKinMan
Halo semua, enjoy the story and beyond the imagination :)
Texhnolyze
Lanjut dong, ceritanya makin seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!