Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Mobil yang dikemudian Pak Jamal meninggalkan lokasi pesta. Yusuf meminta supirnya tersebut untuk langsung mengantarnya dan Sani menuju hotel.
Di bangku belakang, Yusuf merangkul bahu Isani, menyandarkan kepala wanita itu di bahunya. Tangannya menggenggam erat tangan Isani. "Mulai sekarang, gak akan ada yang bisa nyakitin kamu, ada aku," mengecup kening Sani.
"Makasih," Sani mengangkat wajah, menatap Yusuf.
"Itu sudah kewajiban aku sebagai suami kamu."
Air mata Sani meleleh, ia bersyukur Allah memberinya jodoh yang begitu luar biasa. Yusuf tak hanya memberinya kebahagiaan melalui materi yang melimpah dan perhatian, laki-laki itu juga telah membuktikan kalau dia akan selalu ada untuknya, berdiri dibelakangnya, membelanya.
Yusuf melepas pelukannya, jemarinya bergerak mengusap air mata Sani. "Sekarang, kamu gak sendiri lagi, ada aku yang akan selalu jagain kamu."
Sani mengangguk, air matanya makin deras, terbawa suasana haru. Memeluk pinggang Yusuf, menyandarkan kepala di bahunya.
"Ish, ini ngeganggu banget," Yusuf menjauhkan cunduk mentul di kepala Sani yang mengenai wajahnya. Merusak momen saja, yang harusnya baper-baperan, jadi kecampur kesel.
Sani terkekeh, melepaskan pelukanya. "Bantuin ngelepas bisa gak?" menyerongkan posisi duduknya, membelakangi Yusuf. "Oh iya, apa aku ganti baju dulu aja, malu pakai kayak gini ke hotel."
"Gak usah malu," Yusuf mulai menarik satu cunduk mentul. "Biar orang tahu, kalau kita pengantin baru." Yusuf sendiri, ia memakai celana dan beskap semi jas warna putih.
"Aww.... sakit! Pelan-pelan dong," Sani menoleh ke arah Yusuf dengan bibir mengerucut ke depan. "Sengaja ya?"
"Kok tahu?" Yusuf tergelak. "Gak sengaja Sayang, mana mungkin aku sengaja nyakitin kamu. Ya udah, aku nariknya pakai perasaan, biar gak sakit." Ia embali menarik satu lagi, namun yang ini sedikit lebih pelan. Setelah semuanya terlepas, ia menarik bahu Sani, menghadapkan wanita itu ke arahnya. "Kamu cantik banget hari ini," jemarinya menyentuh pipi Isani.
"Gombal mulu dari tadi," Sani mengalihkan pandangan, menyembunyikan pipinya yang merona.
Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka tiba di hotel. Mereka langsung diantar ke kamar yang sudah dipesan Yusuf.
Mulut Sani sampai setengah terbuka saat pertama kali masuk kamar. Kamar tersebut bukan hanya luas dan fasilitasnya lengkap, namun hiasan khas kamar pengantinnya begitu kental. Begitu masuk saja, aroma bunga mawar langsung tercium saking banyaknya bunga di kamar tersebut.
"Suka gak?" Yusuf memeluk Sani dari belakang.
Sani menjawab dengan senyum dan anggukan kepala.
"Kalau ada yang dirasa kurang, bilang aja, nanti aku omongin sama petugas hotelnya."
"Ini udah bagus banget."
"Aku ingin memberikan yang terbaik buat kamu, Sayang."
Yusuf tiba-tiba mengangkat tubuh Isani, membuat Sani yang kaget, reflek menjerit kecil lalu melingkarkan kedua lengan di leher Yusuf. Wajah Sani bersemu merah saat Yusuf menatap sambil membawanya menuju ranjang. Jantungnya berdebar kencang, dan darahnya berdesir. Matanya terpejam saat Yusuf menciumnya. Keduanya terlihat sama-sama menikmati ciuman tersebut, saling melu mat, membelai lidah, hingga bertukar saliva.
Yusuf menurunkan Isani di atas ranjang king size yang bertabur kelopak bunga mawar merah. Sambil mengatur nafas yang naik turun, ia duduk di sisi ranjang, jemarinya kembali membelai wajah cantik Isani. Ia lalu menunduk, sekali lagi, mengajak Isani berciuman. Ciuman tersebut semakin dalam dan panas saat tangan Yusuf mulai bergerilya ke tempat-tempat yang membuat nafas Isani makin berat. Ciumannya juga mulai turun, dari belakang telinga, leher, hingga bagian dada.
Isani menggigit bibir bawahnya, nafasnya makin berat, dan sekujur tubuhnya terasa panas dingin.
"Tunggu!" Sani menahan tangan Yusuf yang hendak membuka kancing kebayanya.
"Kenapa?" Yusuf mengangkat wajah dari ceruk leher Isani, menatap istrinya tersebut. "Kamu belum siap? Kalau belum siap, gak papa, aku bisa nunggu," ia tersenyum, bangkit dari ranjang sambil melepas jasnya.
"Bukan belum siap, tapi ini ngeganggu banget," Sani duduk, menunjuk sanggulnya yang belum dilepas sambil tersenyum. Mana mungkin dia bisa rebahan dengan nyaman jika benda itu masih nempel di kepala. Ia turun dari ranjang, berjalan ke arah cermin untuk melepas sanggul.
Yusuf melemparkan pakaiannya di atas sofa, dengan bertelanjang dada, kembali mendekati Isani yang berdiri di depan cermin.
Sani yang menatap Yusuf dari cermin, terpesona dengan tubuh suaminya tersebut. Postur tubuhnya begitu sempurna, ditambah aroma parfum maskulin yang menguar dari tubuh Yusuf, membuatnya melayang.
"Butuh bantuan?"
Sani yang masih terpesona, tak sadar Yusuf sedang bertanya.
"Ngeliatin apa sih?" Yusuf tertawa kecil, memeluk Isani dari belakang lalu mengecup pipinya.
"Eng, enggak kok," wajah Isani memerah karena malu. Jantungnya kembali tidak aman saat bibir Yusuf menjelajahi lehernya, memberi kecupan-kecupan basah yang meninggalkan jejak kemerahan. Untung tidak lama, kalau tidak, jantungnya bisa meledak.
Yusuf fokus pada sanggul Sani, ingin bantu melepas, tapi bingung bagaimana caranya. "Ini.... "
Sani tertawa ringan. "Tarik jepitan hitamnya, nanti sanggulnya bisa dilepas," menunjukkan sebuah jepit hitam yang tadi sudah sempat ia lepas.
"Oh... " Yusuf manggut-manggut, matanya mulai mencari keberadaan jepitan hitam tersebut. Satu persatu, mulai dia lepas, hingga akhirnya sanggul di kepala Isani bisa terlepas. Setelah meletakkan ke atas meja, Yusuf kembali memeluk Sani dari belakang. "Kamu siapkan, untuk malam pertama? Kalau belum siap, aku bisa nunggu kok. Aku tahu, kamu belum cinta sama aku, jadi mungkin ini gak mudah buat kamu."
"Yakin kamu bisa nunggu?" Sani menahan senyum. Muka aja udah mupeng banget, sekarang sok sok an mau nunggu.
"Yakinlah. Bagi aku, yang penting itu kenyamanan kamu. Aku gak mau kamu ngelakuin itu karena terpaksa."
Sani melepas belitan tangan Yusuf, membalikkan badan menghadap suaminya tersebut. Tatapannya langsung tertuju pada dada telan jang Yusuf. Postur tubuh laki-laki itu begitu sempurna. Perlahan namun pasti, jemarinya mulai bergerak di atas dada bidang tersebut.
"Jangan menggodaku jika kamu belum siap," Yusuf menggenggam tangan Isani, menghentikan kelakuan nakal istrinya tersebut.
"Tunggu aku ya."
Ekspresi Yusuf terlihat kecewa, namun ia paksakan untuk tetap tersenyum. "Iya, aku bakal sabar nungguin sampai kamu siap."
"Em... 2."
"Dua...hari?" tebak Yusuf. "Atau dua minggu? Dua bulan?"
Sani terkekeh, kedua telapak tangannya memegang rahang Yusuf. Gemas sekali saat melihat bibir Yusuf yang terlihat sedikit merah, mungkin akibat ciuman meraka tadi. Ah, kenapa dia jadi yang kayak ber naf su gini sih. "Dua jam aja kok, aku cuma butuh waktu buat mandi dan siap-siap."
Yusuf tergelak seketika.
"Tunggu bentar ya," Sani mengecup sekilas bibir Yusuf. Ia mengambil peralatan mandi di dalam koper, lalu berjalan ke kamar mandi.
"Yang, gak mau barengan kah?" goda Yusuf sebelum Isani masuk kamar mandi. "Aku juga gerah nih."
"Yang ada makin gerah kalau barengan," Sani tertawa cekikikan.
"Enggak, mana mungkin gerah kalau diguyur air," Yusuf berjalan menyusul Isani.
"Enggak. Bisa-bisa malam pertamanya di kamar mandi kalau kamu ikut," Isani buru-buru menutup pintu kamar mandi dan menguncinya.
"Yang," Yusuf menarik-narik handle, tak bisa membuka karena sudah dikunci. "Buka, Yang."
Di dalam kamar mandi, Sani malah senyum-senyum sendiri. Apakah dia sudah benar-benar jatuh cinta pada Yusuf? Entahlah. Namun yang pasti, ia tak merasa terpaksa jika hari ini harus menyerahkan diri seutuhnya pada Yusuf.
Tinggalkan rumah Ucup
ayo Sani....kamu pasti bisa....ini br sehari....yg bertahun tahun aja kamu sanggup
gimana THOR