NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:621
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -18

“Ini maksudnya apa, Zam? Bisa lo jelasin!”Suara Sienna mengema menarik perhatian pengunjung yang ada di kafe.

Azzam dan Farah saling pandang lalu kembali menatap Sienna.

“Zam, jawab dong pertanyaan gue,” suara sienna bergetar.

Azzam menarik napas dalam, lalu menghembuskan kembali. Hingga menarik pelan jari Farah dan menggenggamnya erat.

“Gue dan Farah sudah menikah Na,” ungkap Azzam.

Deg!

Sienna tersentak, seketika mundur selangkah dari tempatnya.Tubuhnya bergetar.

Seketika atmosfer kafe terasa sesak.

Farah melirik Azzam, “Mas, mbak Sienna—

“Sudah saatnya dia tahu Fa,” timpal Azzam.

Sienna mengangkat pandangan ,kembali di tatapnya Azzam yang ada di depannya.

“Lo nyakitin gue Zam,” tangisnya mulai pecah.

“Na—

Sienna mengangkat tangan mengisyaratkan Azzam menghentikan ucapannya.

“Lo tau gue cinta sama lo, dan gue yakin lo juga cinta sama gue kan?”

Seketika tatapan Azzam melembut, “Na ….” Azzam melangkah mendekati Sienna menarik dan memeluk wanita itu.

Zira ingin mencegah, tapi Rayyan menahanya.

Sementara Farah hanya menunduk, ia sadar sudah merebut milik wanita lain walaupun ia tidak pernah ingin ada di situasi seperti ini.

Sienna menatap Azzam dengan mata yang sudah berembun. “Zam, lo cintakan sama gue. Lo nggak akan ninggalin gue kan?” Desaknya.

Azzam menarik napas pelan, lalu mengulas senyum. “Lo tau jawabanya Na, dan sampai saat ini semuanya masih sama.”

Farah semakin menundukkan kepala, dadanya sesak, membuat alveolusnya kering.

Kata-kata Azzam, cukup menghancurkan pertahanannya. Sekuat tenaga ia menahan tangisnya. Berusaha meyakinkan hatinya agar tetap berada di garis edarnya.

“Benar kata Mas Azzam, jangan pernah melibatkan hati di pernikahan ini,” gumamnya untuk dirinya.

Mengetahui apa yang dirasakan sahabatnya, Zira mendekat dan merangkul gadis itu.

“nggak apa-apa, Fa. Yang halal akan tetap menang melawan yang haram,” bisik Zira pelan. “Kamu hanya perlu berjuang sedikit lagi untuk mendapatkannya kembali.”

Farah menoleh pada Zira dan menggeleng pelan. “Mas Azzam milik mbak Sienna Ra, aku yang sudah merusak hubungan mereka.”

“Fa—

Farah menggeleng mengisyaratkan agar Zira berhenti menyakinkan hatinya, ia tidak ingin pertahanan yang sudah ia bangun selama ini hancur begitu saja karena sebuah harapan samar.

Sebaiknya memang ia mengikuti perkataan Azzam agar tidak pernah melibatkan hati dalam hubungan mereka.

_______

Setelah kedatangan Sienna tadi. Azzam pergi bersama wanita itu. Entah kemana Farah tidak tau dan tak ingin tau. Pria itu meninggalkannya bersama Zira dan Rayyan di cafe itu.

Namun hanya berselang satu jam Azzam kembali hingga melanjutkan makan malam mereka yang sempat tertunda tadi.

Usai makan malam, Farah berjalan bersama Azzam menyusuri lorong kota tua Venezia menuju distrik Cannaregio. Cahaya lampu jalan memantul di atas kanal, menciptakan kilauan keemasan yang bergerak lembut di permukaan air. Derap langkah mereka menyatu dengan suara gondola yang melintas jauh di kejauhan.

Rayyan dan Zira telah lebih dulu kembali ke apartemen.

Farah semula ingin pulang bersama Zira. Tapi Azzam menahannya. Meminta ia menemaninya sebentar saja, ke distrik terdekat dari pusat kota. Farah tak sanggup menolak, meski dadanya diliputi ragu. Entah karena Zira, atau karena sedang berusaha menjaga hati.

Langkah mereka beriringan. Tak banyak kata yang terucap, hanya napas yang menderu dan hembusan angin kota itu yang mulai menusuk kulit.

“Fa...” suara Azzam akhirnya terdengar. Pelan, namun cukup untuk menghentikan aliran pikiran Farah.

“Hm...” Farah menoleh sebentar, lalu kembali menatap jalan di depannya.

“Saya minta maaf...” Hanya itu. Tiga kata yang menggantung lama di udara.

Farah tak langsung menanggapi. Benaknya sibuk menafsirkan. Untuk apa Azzam meminta maaf lagi? Bukankah semua sudah jelas? Dan perannya disini bagian dari kesepakatan pranikah?

“Fa... kamu dengar saya kan?” tanya Azzam, sedikit mendesak.

“Aku dengar kok Mas,” jawab Farah akhirnya.

“Maaf soal di cafe tadi dan yang kamu lihat kemarin. Zira udah cerita semuanya. Harusnya saya tidak sedekat itu dengan Sienna selama status kita masih suami istri,” pungkas Azzam.

Farah mengulas senyum, menahan perasaan yang tak ingin ia tunjukkan. “Kenapa harus kamu yang minta maaf? Aku yang harus tau batasan itu Mas.”

Azzam menghela pelan ingin sekali ia mengatakan yang sebenarnya, namun lidahnya keluh.

Farah menoleh kembali pada Pria di sampingnya. “Mbak Sienna gimana?”

“Dia sudah lebih baik sekarang,” jawab Azzam.

Farah hanya mengangguk pelan lalu mengulas senyum.

Azzam membalas senyumnya. Tapi tak ada tawa di mata mereka. Hanya keheningan yang mengantar langkah selanjutnya.

Malam Venesia semakin sunyi. Kanal-kanalnya seperti tahu ada kisah yang tertahan di antara dua orang itu.

Tiba-tiba, Azzam kembali bersuara. “Fa...”

Langkahnya terhenti.

Farah juga berhenti. “Kenapa Mas?”

Azzam berdiri mematung. Cahaya lampu jalan menyinari wajahnya yang terlihat ragu, seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri.

“Kalau suatu saat nanti impian kamu sudah terwujud,” ucapnya, kemudian diam sesaat, “Apa... pernikahan ini harus kita akhiri?”

Farah tak segera menjawab. Pertanyaan itu seperti sedang mengusik pertahananya.

Bukankah Azzam sendiri yang dulu ingin ini semua cepat selesai? Tapi kenapa sekarang nadanya terdengar seperti memberi harapan?

“Fa... kamu belum jawab saya?” desak Azzam,

Farah menarik napas dalam. “A-aku mau kita tetap dengan perjanjian kita di awal Mas,” jawabnya.

Azzam hanya tersenyum.

“Iya... kamu benar, Fa. Sebaiknya kita tetap dengan rencana awal kita,” ucapnya.

Farah mengangguk. Ini memang yang terbaik. Lebih baik tidak saling membuka hati karena harus ada hati yang harus mereka jaga. Dan jika suatu saat saling meninggalkan, yang lebih menyakitkan bukanlah kehilangan—tapi keterikatan pada rasa yang tak pernah benar-benar bisa dimiliki.

***

Samar-samar terdengar lantunan ayat suci menggema di kamar apartemen. Suaranya menyusup pelan, seperti kabut pagi yang menyelinap diam-diam dari balik jendela. Farah mengerjapkan mata perlahan, menarik napas dalam, lalu mengedarkan pandangannya ke langit-langit kamar. Tangannya bergerak malas, menarik selimut yang melorot hingga pinggul, menaikkannya kembali ke bahu.

Niatnya ingin tidur lagi, tapi telinganya justru dimanjakan oleh bacaan itu—lantunan Al-Qur’an yang dilafalkan Azzam dari ruang sebelah. Ada sesuatu yang menenangkan, bahkan membuat candu. Sudah lama ia tak mendengar lantunan seindah dan sedekat itu.

Ia mencoba memejamkan mata, tapi gagal. Suara itu seperti magnet yang menarik kesadarannya perlahan naik ke permukaan.

Matahari mulai menyingsing. Cahayanya menembus kaca kusam dan gorden tipis, memantul lembut di lantai marmer apartemen yang berkilau. Suara Azzam tak lagi terdengar kini suasana berbalut keheningan.

Farah bangkit, mengumpulkan nyawa. Alarm di samping tempat tidur berbunyi, mengingatkan rutinitas yang tidak bisa ditawar. Perjalanan ke kampusnya bisa memakan hampir satu jam dengan berjalan kaki melewati kanal dan gang-gang sempit yang masih diselimuti kabut.

Dengan cepat, ia melangkah ke kamar mandi dan bersiap.

Seketika gadis itu mencari-cari keberadaan suaminya.

Azzam… pria itu ke mana pagi-pagi begini?

Ternyata tidak jauh. Azzam ada di dapur, sibuk dengan panci dan spatula. Bau nasi goreng siput khas Indonesia bercampur bumbu khas Venezia tercium samar. Sarapan sudah tertata rapi di meja pantry: dua piring nasi goreng, dua potong roti bakar, dan dua gelas susu dingin yang masih berkabut.

Farah keluar dari kamar. Langkahnya terhenti. Di hadapannya, Azzam duduk tenang, menikmati sarapan. Tapi bukan makanan itu yang membuat Farah membeku—melainkan adegan pagi yang asing namun terasa akrab.

Azzam menoleh, menyadari kehadirannya.

“Kenapa, diam aja di situ? Sini duduk…” ucapnya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.

Farah masih diam, menatap piring dan kursi seolah asing. Di tangannya tergenggam tas dan buku-buku tebal.

“Sini… ngapain sih kamu bengong di situ?” ulang Azzam sambil mulai menyendok makanannya.

Pelan-pelan Farah melangkah, menaruh tas dan bukunya, lalu duduk di sebelah Azzam.

Ia hanya memandangi pria itu makan, seolah mencoba memahami sesuatu. Azzam, yang menyadari tatapannya, menoleh.

“Kenapa? Mau saya suapin?”

Farah buru-buru memalingkan wajah. “Enggak.” Ia mengambil sendok dan menyuap nasi goreng.

Azzam tersenyum kecil. “Mungkin rasanya nggak seenak nasi goreng yang biasa kamu makan. Tapi ini masih bisa dimakan, kok. Buat ganjal perut sampai siang.”

Farah hanya mengangguk, terus makan.

Sementara itu, Azzam menatapnya diam-diam. Ia sudah mencoba berbagai cara agar Farah pergi, menyerah, atau marah. Tapi gadis ini... tetap di situ. Bahkan ketika ia pulang larut atau bersama perempuan lain, Farah hanya diam. Entah bodoh atau terlalu kuat.

Tanpa sadar, tangannya mengelus rambut Farah. Lembut. Sekadar sentuhan kecil yang seperti ingin bilang, ‘Please tetap disini’.

Farah terdiam, tidak menolak. Ia hanya membeku.

“Makan aja, Fa… saya cuma pengen pegang kepalamu.”

Farah melirik sekilas, lalu berkata pelan, “Aku belum keramas seminggu Mas.”

Azzam tertawa kecil. “Nggak apa. Nanti saya cuci tangan tujuh kali. Pakai sabun. Sama pasir. Kalau perlu saya nyebur ke kanal.”

Farah mendecak. “Cih. Kamu pikir saya najis.”

Azzam menggeleng pelan. “Nggak… kamu ladang pahalaku malah,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Farah menoleh. “Kenapa Mas?”

“Nggak apa-apa. Abisin makanannya.”

Farah mengangguk, menyelesaikan suapan terakhirnya.

Setelah sarapan, Farah segera membereskan piring dan insist mencucinya sendiri. “ Mas, mending siap-siap,” katanya.

Pria itu langsung saja menurut, masuk ke kamar.

Beberapa menit kemudian, bel pintu berbunyi.

Farah spontan mengelap tangan, hendak membuka pintu.

“Biar saya saja,” potong Azzam yang baru keluar dengan rambut setengah kering.

Farah mundur, kembali ke dapur.

Azzam membuka pintu. Di luar berdiri Sienna, dengan coat krem dan senyum setengah basa-basi.

“Lo belum selesai?” tanyanya sambil mencoba melangkah masuk.

Azzam menahan pintu. “Tunggu di luar aja. Bentar aja.”

Sienna mengerutkan kening. “Kenapa sih? Gue tunggu di dalam aja.”

“Nggak. Tunggu di luar. Wait…” katanya, lalu menutup pintu perlahan.

Sienna melongo. Ada apa? Kenapa dia tidak boleh masuk? Apa karena ada Farah di dalam? Bukankah biasanya dia bisa masuk tanpa masalah toh Farah cuma istri kontrak.

Tak lama, Azzam muncul kembali, melangkah cepat ke arah Sienna.

“Udah. Nggak ada yang ketinggalan?” tanya Sienna, datar.

“Aman.” Jawab azzam.

Mereka berjalan menyusuri koridor apartemen. Langkah mereka bergema.Saat hendak menunggu lift. Tiba-tiba langkah Azzam berhenti.

“Kenapa sih?” tanya Sienna.

“Lo duluan aja. Ada yang ketinggalan,” jawab Azzam sambil berbalik dan berlari.

Sienna menggeleng pelan, menoleh sekilas pada a

Azzam yang sudah menjauh dan ia kembali melangkah, menuju lift gedung apartemen.

Sedangkan Farah gadis itu sudah siap berangkat kuliah. Ia meraih coat dan tas seketika pintu tiba-tiba terbuka. Farah menoleh sekilas dan kembali merapikan buku-bukunya.

Azzam berdiri di ambang pintu, tampil rapi dalam setelan kerja berwarna navy. Kemeja putihnya bersih, dasi abu gelap tertata sempurna. Aroma parfumnya halus—tenang, dewasa, tapi cukup kuat untuk menguasai seluruh ruangan. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya setajam biasanya.

Namun ada yang berbeda pagi itu.

Matanya… seperti sedang menahan sesuatu.

“Ada yang ketinggalan, Mas?” tanya Farah pelan.

Azzam mengangguk. Satu langkah maju. “Hm… ada.”

“Mau aku bantu, Mas?”

Nada Farah berusaha ringan, tapi suaranya terdengar tidak stabil.

Tidak ada jawaban.

Azzam terus bergerak mendekat, perlahan, seperti sengaja memberi waktu pada Farah untuk meresapi setiap detiknya.

Farah menahan napas. “Mas… jangan dekat-dekat.”

Wajahnya tegang, bukan takut—tapi bingung. Aneh. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Azzam menatapnya.

Langkah Azzam semakin dekat, hingga Farah tak punya ruang untuk mundur.

Dan tiba-tiba—tanpa aba-aba—

Cup.

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!