Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8.
Kodasih menoleh ke arah belakang, dan langsung bangkit berdiri.
"Mbok Piyah!" ucapnya dengan nada sangat khawatir, ia pun tergesa gesa berjalan masuk ke dalam rumah.
Sesaat terlihat di depan pintu dapur. Sanah sedang berusaha membantu Mbok Piyah bangkit berdiri.
"Mbok, kan sudah aku beri tahu, tidak usah ikut ikut bantu aku. Mbok Piyah, duduk saja di depan," ujar Sanah dengan cemas.
"Kalau malah terjatuh gini kan repot," tambahnya lagi.
"Tak apa, Nah… nanti kakiku dipegang Nyi Kodasih, sudah sembuh lagi," jawab Mbok Piyah berusaha tenang meski tubuhnya gemetar, jantungnya masih berdebar debar.
“Kasihan kamu kalau tidak ku bantu, Warastri sudah tidak ... “ ucap Mbok Piyah lagi belum berlanjut Kodasih sudah muncul di dekat mereka..
"Iya Mbok, Mbok Piyah istirahat saja. Nanti anak cucu Mbok Piyah mengira aku masih menyuruh Mbok Piyah bekerja," ucap Kodasih, segera mengambil kendi berisi air sumber.
Kodasih memberikan air itu pada Mbok Piyah, lalu membuat boreh dari asem kawak, air kendi, dan beberapa butir nasi. Ramuan itu dibalurkan ke kaki Mbok Piyah, memberikan rasa nyaman.
Beberapa saat kemudian Mbok Piyah yang terbaring di balai balai dapur tersenyum bibirnya..
“Benar kan kakiku sudah kepenak, tidak sakit lagi..” gumam Mbok Piyah sambil sambil menggerak gerakan kakinya.
Berita tentang kejadian di Joglo itu cepat menyebar di dusun Akar Wangi. Tentang Warastri yang bekerja di kota, tentang Mbok Piyah yang jatuh... dan kabar itu sampai ke telinga anak cucu Mbok Piyah.
Keesokan paginya, kabut turun lebih tebal dari biasanya. Lereng Merapi tampak seperti dunia yang terbungkus kapas. Joglo Kodasih yang tua berdiri diam, menahan dingin dan waktu yang kembali mengalir tanpa suara.
Di pagi itu, dari arah bawah dusun, terdengar suara langkah langkah tergesa di jalan tanah menuju ke rumah Joglo Kodasih. Disusul suara beberapa orang memanggil pelan, seolah tak ingin mengagetkan siapa pun.
“Mbok… Mbok Piyah…!”
“Mbah Piyah!”
Sanah yang tengah menyapu halaman tertegun. Ia menengok ke arah jalan dan melihat empat orang muncul dari balik kabut: seorang lelaki paruh baya dengan sarung disampirkan di bahu, seorang perempuan lebih muda membawa tas kain, dan dua orang pemuda laki laki, memikul satu kursi rotan.
Mereka adalah anak anak dan cucu cucu Mbok Piyah dari dusun bawah.
Begitu sampai di halaman, Supeni anak bungsu Mbok Piyah langsung menangkupkan tangan.
“Assalamu’alaikum, Nyi Kodasih… Maaf kami datang pagi pagi.”
Kodasih muncul dari serambi, langkahnya pelan namun tegas.
“Wa’alaikum salam… Ada apa, Supeni? Kok wajahmu panik begitu?”
Sarwono anak tertua tidak menunggu lebih lama. Suaranya serak, jelas ada rasa bersalah yang ia bawa.
“Nyi… kami dengar Si Mbok jatuh kemarin. Kami langsung ke sini. Seharus nya dari dulu Si Mbok sudah kami boyong pulang…”
Belum selesai ia bicara, Mbok Piyah muncul di pintu depan, berjalan perlahan dengan tongkatnya. Wajahnya terkejut sekaligus senang karena anak cucu datang. Namun ada sebersit rasa khawatir pula.
“Lho… Kok pagi pagi kowe kabeh sudah naik ke sini?”
Supeni langsung menghampiri, memegang tangan keriput ibunya.
“Mbok… pulang, Mbok. Kami repot kalau Mbok tinggal sendirian di sini. Si Mbok jatuh saja kami baru tahu dari orang lain…”
Mbok Piyah tersenyum kecil. Senyum yang lebih banyak menahan haru daripada bahagia.
“Aku kan tidak sendirian, Nduk… Ada Nyi Kodasih. Ada Sanah. Pardi nanti siang juga pulang ke sini. Joglo ini sudah kayak rumahku sendiri.”
Salah cucu Mbok Piyah yang sejak tadi diam hanya menunduk, suaranya lirih, “Mbah… ayo pulang. Kalau Mbah kenapa kenapa, Bapak bisa dimarahi Pak Lurah…”
Suasana hening sejenak.
Angin pagi melewati celah celah dinding joglo, membawa aroma daun kopi dan kayu basah.
Kodasih menatap Mbok Piyah lama, pandangan yang penuh pengertian.
“Mbok… kalau mau pulang, pulanglah. Rumah anak cucu itu tempat yang mesti nya jadi singgahmu sekarang.”
Mbok Piyah menggigit bibir nya, seolah menahan sesuatu. Matanya berkaca kaca...
“Nyi.…” gumamnya lirih.
Sarwono segera mendekat, memegangi bahu ibunya yang rapuh.
“Mbok, ayo ikut kami... Kami merasa berdosa… membiarkan Mbok tua tua sendirian di sini..”
Kodasih mengangguk pelan.
“Sudah waktunya Mbok Piyah istirahat dengan tenang, ditemani keluarganya sendiri.”
Mbok Piyah akhirnya menunduk, mengusap ujung matanya dengan sudut selendang.
“Kalau begitu… izinkan aku pamit, Nyi…”
Sanah menghampiri, menahan tangis.
“Mbok… nanti kalau kangen, Mbok datang ya. Joglo ini tidak akan ke mana mana.”
Mbok Piyah tertawa kecil, tapi suaranya pecah.
“Iya, Nah… Nanti kalau kakiku kuat, aku pasti main ke sini lagi.”
Dengan perlahan, kedua cucu Mbok Piyah, membantu Mbok Piyah berdiri tegak, lalu didudukkan di kursi rotan yang sudah dibawakan. Dua pemuda itu memikul Mbok Piyah yang duduk di kursi rotan.
Kedua anak Mbok Piyah mengangkat buntelan kain berisi pakaian ibunya.
Sebelum melangkah pergi, Mbok Piyah memandang joglo itu lama… sangat lama… seolah menatap kenangan hidupnya dalam satu sorotan mata.
“Nyi… hati hati, sabar dan tawakal menghadapi perubahan zaman Nyi…” air mata Mbok Piyah mengucur deras membasahi pipi keriputnya.
Kodasih menatapnya dengan mata yang sama basahnya. Dia tak bisa berkata kata. Hanya mampu mengangguk dalam.. dada dan lehernya terasa sangat sakit. Macam ada sebongkah batu mengganjal di dalam dadanya.
Perlahan, keluarganya Mbok Piyah berjalan menuruni jalan tanah yang lembap. Kabut menelan bayang bayang mereka, membuat langkah langkah itu terasa seperti melepas sebagian dari masa lalu.
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun tahun, serambi joglo terasa benar benar kosong.
Kodasih duduk perlahan, memandangi jalan yang kini kembali sepi.
Dalam hatinya, sesuatu seperti benih kehilangan kembali tumbuh... pelan, tapi pasti.
☀️🌑☀️🌑☀️
Waktu pun terus berlalu. Di joglo itu kini tinggal Nyi Kodasih ditemani oleh Sanah dan Pardi. Itu pun Sanah dan Pardi bergantian meninggalkan Joglo untuk mengunjungi Warastri jika tidak bisa pulang karena sibuk bekerja.
Anak-anak muda dusun bawah tak lagi datang ke joglo membawa sesaji, tapi ke puskesmas dengan selembar kartu berstempel pemerintah.
Obat-obatan datang dalam botol kaca, airnya bening dan dingin.
Doa dan daun kelor mulai tergeser oleh bau alkohol dan kapas steril. Tak ada lagi orang orang datang membawa singkong, pisang, kain .. untuk ucapan terima kasih..
Dari serambi joglo, Kodasih menatap jauh ke arah bawah.. .
Ia melihat dinding putih puskesmas berkilat di bawah matahari. Terang tapi asing.
“Sekarang orang lebih percaya dokter daripada doa. .” ucap Sanah sambil mengantar secangkir teh buat Kodasih
Kodasih tersenyum samar.
“Baguslah kalau mereka sembuh. Aku tidak pernah ingin orang bergantung padaku selamanya.”
“Tapi... apakah Nyi tidak sedih?”
Ia menatap langit. Burung burung terbang melintasi puncak bukit, menuju arah puskesmas yang baru.
“Sedih itu urusan yang sudah lama kutinggalkan, Nah. Dunia memang harus berganti kulit... Tapi setiap kulit baru tetap tumbuh dari daging lama dan aku bagian dari daging itu.”
Namun sejak itu, halaman joglo makin sepi.
Dupa ataupun kemenyan jarang menyala. Air kendi tak lagi diganti setiap hari.
Kadang hanya ada angin yang datang, membawa daun daun kering ke serambi tempat Kodasih duduk memandangi lembah.
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣