"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANGAN BERMIMPI , KAU HANYA SELIR
Aku berdiri di balik jendela kaca dengan baju pemberian Mbok Darsih. Tak lupa kugunakan sedikit parfum yang ada di dalam paper bag Mbok Darsih. Parfum yang menjadi parfum kegemaran Mas Pandu setiap kami hendak memadu kasih.
Dari balik jendela yang sudah tak ubahnya penjara bagiku ini bisa kulihat, begitu banyak security berjaga di bawah sana. Lalu, semua bayangan tentang kehidupanku dan Mas Pandu satu per satu masuk ke dalam kepala, bagaikan adegan slow motion yang diputar secara berulang. Rumah, kekuasaan, dan semua yang kulihat di sini begitu berbanding terbalik dengan keadaanku selama ini.
Aku tersenyum hambar. Rupanya inilah jawaban atas segala pertanyaan yang selama ini menggantung di kepala. Dari mana Mas Pandu mendapat uang sebanyak itu untuk renovasi rumah bahkan hingga tak mengindahkan setiap kali ada pertengkaran. Mendua di saat kesuksesan menghampiri adalah jawabannya.
Harta, tahta, wanita memang ujian bagi lelaki.
Namun, sesungguhnya itu semua tak ada artinya bagi lelaki yang teguh pendirian dan taat pada agama.
Dadaku sesak, mataku panas, kenyataan ini sanggup membuatku merasa tersisih sebab tak bisa memberi keturunan.
Malam merambat naik, kubentangkan sajadah yang kupinjam dari Mbok Darsih tadi sore di sepertiga malam.
Hanya ini yang bisa aku lakukan saat ini, mengadu pada Sang Pemilik Kehidupan. Kusampaikan segala keluh kesah, semua yang mengganggu di dalam sini aku tumpahkan dalam do'a untuk mencari kelegaan. Di atas sajadah, aku menangis sejadi-jadinya. Meratapi nasib yang sebenarnya tak boleh aku lakukan sebagai seorang muslim. Namun, nyatanya aku hanyalah manusia yang terkadang memiliki kecenderungan untuk menyalahkan takdir.
Aku tergugu lama, hingga kuremas sajadah dengan sekuat tenaga, meluapkan segal emosi di dalam jiwa. Jika sebelumnya do'aku terlalu memaksa kadang marah dan menantang Tuhan Namun pada akhirnya do'aku berkembang menjadi sebuah kepasrahan dan keridhoan.
Jika ini ujian dariNya maka aku hanya ingin dadaku dilapangkan.
Begitu larutnya aku dalam doa, hingga tak terasa adzan subuh telah berkumandang. Tahajud langsung kusambung dengan qobliyah subuh dan sholat subuh.
Kurebahkan badan di sofa panjang dekat jendela. Aku masih enggan menempati ranjang meski sprei, bantal maupun guling sudah diganti dengan warna yang kusuka. Lagi-lagi Mbok Darsih mengatakan itu perintah Mas Pandu. Apa maunya orang itu, setelah kebohongannya padaku, ia justru semakin peduli padaku bahkan hal kecil pun ia pikirkan sedemikian rupa. Hal ini semakin membenarkan semua perkataan Viona. Ah, menyebalkan.
Sesaat mataku terpejam, entah sudah berapa lama.
Namun, aroma maskulin menyapa indera penciuman membuatku harus membukanya meski terasa begitu berat.
Dadaku berdebar hebat, tatkala kulihat Mas Pandu
sudah ada di atasku, dengan wajah sedikit lebam dan biru, kedua tangannya mengungkungku.
Tanpa kusadari, tanganku terulur mengusap pipi dan bibirnya yang biru.
"Apa Panji baik-baik saja?" tanyaku lirih. Kepergian Mas Pandu semalam secara tiba-tiba sudah barang tentu untuk menemui Panji, sebab, ia terlihat begitu murka ketika mengetahui data mutasi rekening yang kuberikan. Rasa cemas sekaligus penyesalan pun menyusup ke dalam dada. Harusnya aku tidak melibatkan Panji. Kemarahan membuatku tak bisa berpikir panjang.
"Apa Panji baik, Mas?!" Kuulang pertanyaan karena Mas Pandu hanya menatapku tanpa suara dan akhirnya ia menganggukkan kepala. Seketika hatiku pun lega.
"Dia yang menghajarku, karena menyakitimu. Mai, maaf," lirihnya dengan bibir bergetar, tatapannya meredup, lalu tangan itu mengusap pipiku lembut.
"Apa ada alasan lain selain ... anak." tanyaku pelan dengan mata yang mulai mengembun.
Ia menggeleng.
"Kekayaan, kemolekan, atau cinta?" tanyaku, suaraku pun semakin bergetar.
Tak ada jawaban dari mulut Mas Pandu. Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku lalu segera bangkit dari sofa.
"Pergilah, Mas, Viona sejak kemarin menunggumu.
Kasihan anakmu," ujarku memunggunginya. Kuusap kasar embun yang semakin menggenang.
Tak ada jawaban.
Tangan kokohnya meraih pinggangku lalu memelukku dari belakang. Aku mendengkus kesal. "Mas sangat rindu sama kamu, Mai. Mas hanya ingin bersamamu," ujarnya seraya menghirup aroma tubuhku. Perlahan, aku melepaskan tangannya dariku. Namun, ia semakin menguatkan pelukan itu.
Perlahan ia membalikkan tubuhku ke arahnya. Hembusan napasnya menyapu kulit wajahku.
"Viona akan membuatmu lebih puas, Mas." Aku membuang muka. Ia meraih daguku dan kembali menatapku, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Tatapan seperti ini adalah tatapan yang sangat aku benci karena tatapan ini selalu mampu meluluhkan sebelum apapun hatiku.
"Sudah beberapa hari kita nggak sama-sama, Mai. Seorang wanita tidak bisa menunaikan hak Tuhannya
sebelum menunaikan hak suaminya. Mas masih suami kamu, Mai."
Kata-kata Mas Pandu sontak membuatku terdiam. Ia pun membawaku ke atas ranjang sialan. Ini adalah ibadah yang paling aku benci, jatuh dalam pelukan lelaki sekejam Mas Pandu.
***
Tangan kokohnya masih erat memelukku. Aku mencoba untuk menjauhkannya dariku, namun, hal itu justru membuatnya terbangun.
"Mau ke mana, Mai?"
"Mandi."
"Tunggulah dulu, Mas masih rindu."
"Ini sudah siang, istrimu yang sebentar lagi memberikan kebahagiaan itu pasti sudah merindukanmu," kataku dengan nada ketus.
"Kebahagiaanku tak akan ada artinya tanpa ada kamu, Mai." Ia berujar seraya mengendus punggungku yang masih terbuka.
"Bukankah semua sudah sempurna. Jabatan, harta, dan anak sudah kamu dapatkan. Lalu kenapa susah sekali melepaskan seorang Maira?"
"Semua tidak ada artinya dibandingkan kamu."
"O ya? Bagaimana mungkin seorang kepala cabang membutuhkan wanita sepertiku."
Seketika, jemari yang membelai kulitku dengan lembut itu terhenti. Lalu dengan cepat ia membalikkan tubuhku yang memunggunginya ke arahnya.
"Siapa yang masuk ke sini, Mai?" Ia bertanya dengan nada marah.
"Selain bermain di belakangku. Kau juga menyembunyikan hal besar, apa karena aku anak orang tak punya hingga kau takut aku akan menghabiskan uangmu? Tidakkah ada harganya pengorbananku selama ini?" Bibirku bergetar, hanya rasa tak berharga yang merajaiku, tak ada lagi rasa ingin mendebat. Aku lelah, nada tinggi tak akan mengubah segalanya menjadi seperti semula. Aku hanya perlu menumpahkan semua yang mengganjal dan menyakitkan saja.
Ia merengkuhku lalu berkata. "Percayalah, Maira, apa yang kulakukan semua hanya untuk kamu. Nggak ada satupun yang Mas lakukan tanpa memikirkan kamu. Hanya satu yang memang Mas lakukan tanpa pikir panjang. Jatuh dalam pelukan Viona. Dan Mas menyesalinya."
"Termasuk, membohongiku? Mengabaikan harapanku? Mengutamakan semua kebutuhan Viona tapi minta makan padaku?!" Aku tersenyum miris.
Perlahan ia mengurai pelukannya.
"Demi Allah, Mai. Jika semua itu tidak Mas lakukan, mungkin hari ini sudah terjadi jauh-jauh hari. Mas nggak ingin lihat kamu kecewa, nangis, sakit. Bukan Mas mengutamakan Viona. Ini lah yang Mas khawatirkan. Mas berharap kamu tahu akan kebusukan Mas, tapi nanti, saat rumah kita selesai. Agar tidak ada lagi kata pilih kasih seperti ini."
"Kalau Mas punya nurani, seharusnya tidak begini.
Aku yang pertama, tapi bukan aku yang utama. Inikah keadilan yang kamu gaungkan?"
Wajah yang sebelumnya penuh keyakinan kini berubah pasi. "Mas mencoba adil sesuai porsinya, Mai. Jika satu istri Mas lebih dewasa dari yang lain. Haruskah Mas memperlakukannya seperti istri lainnya yang manja dan kekanak-kanakan?" jelasnya mengusap pipiku dengan tatapan dalam dan sendu.
Dentaman di dada ini pun semakin menggila. Kala Mas Pandu mengatakan hal yang membuatku ternganga. Mungkinkah hatiku akan luluh olehnya? Aku harap tidak.
Ada dua hal yang kini saling bertolak belakang di dalam sini, melihat Mas Pandu dengan wajah sendu hatiku pun tak kalah sendu. Namun, kebencianku juga tak kalah menjadikan hatiku kian membeku. Hingga detik ini perpisahan masih menjadi prioritasku.
Pandangan kami terus beradu, kadang caranya memperlakukanku yang tak pernah berubah sejak dulu dan tatapannya yang begitu memuja, masih saja membuatku tersipu. Kami membisu, tak ada kata lagi yang keluar.
Hingga akhirnya kecupan lama mendarat di leherku,
Aku menggeliat tatkala kecupan itu singgah di bibir. Ingin menolak namun tak bisa. Lagi, aku kembali jatuh dalam rengkuhan lelaki yang membuat hatiku lebam membiru.
***
Mas Pandu segera memakai kemeja yang sempat ia tanggalkan secara terburu-buru, setelah membersihkan diri dan menyisir rambut.
"Mau ke mana?" tanyaku dari balik selimut.
Sesungguhnya aku jijik pada diri sendiri. Yang masih saja sudi melayani meski tak sepenuh hati.
"Memberi perhitungan pada seseorang di rumah ini yang sudah berani membantahku, Mai."
"Tak perlu."
"Aku tidak suka dibantah, Mai. Seharusnya, hanya aku dan Mbok Darsih yang boleh masuk ke kamar ini. Dan tanpa kau jawab pertanyaanku pun aku sudah tau siapa yang masuk selain kami. Aku keluar dulu," pamitnya mengecup singkat pucuk kepalaku.
"Tunggu, Mas." Aku menahan Mas Pandu dengan memegang pergelangan tangannya ketika ia handak meninggalkanku. Ia pun menoleh ke arahku.
"Kenapa, Mai?"
"Aku bukan tawanan. Aku ingin keluar bersamamu." Dahinya mengernyit, curiga.
"Aku nggak akan kemana-mana. Bukankah kamu ada
di sampingku dan bisa mengawasiku?" pintaku pada Mas Pandu dengan penuh harap.
Ia terdiam. Tapi, aku tahu banyak yang sedang ia pikirkan.
"Tunggulah aku sebentar. Aku bersihkan diri dulu."
Tak mau lagi mendengar jawaban Mas Pandu. Aku pun segera bangkit menuju kamar mandi.
"Adakah handuk baru untukku?" tanyaku di ambang pintu. Mana Sudi aku memakai handuk bekas Viona.
"Hem." Ia mengangguk lalu membuka lemari besar di dalam kamar mewah ini lalu mengambil sebuah handuk yang terlihat masih baru dan memberikannya padaku.
"Tunggu sebentar," ulangku memastikan. Agar dia tidak keluar meninggalkan aku.
Ini adalah momen yang aku tunggu, membungkam mulut penghuni rumah yang dipenuhi oleh manusia-manusia tak tahu diri.
***
Kugenggam erat tangan Mas Pandu, kami turun menapaki anak tangga menuju lantai satu. Dari sini aku dapat melihat semua orang sedang duduk di meja makan. Semua masih lengkap seperti kemarin. Tapi, keadaan akan berbanding terbalik.
"Viona. Ada pengering rambut yang lain. Pinjamkan untuk Maira." Mas Pandu berujar begitu kami sampai di lantai bawah. Semua mata yang sebelumnya menatap pada isi piring masing-masing seketika tertuju pada kami. Sengaja, aku turun dengan rambut basah dan jilbab yang kupakai tak sempurna.
Seseorang yang paling tak suka melihat rambut basah ini tentu adalah Viona. Ia bahkan memperhatikan penampilan kami dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan mulut membulat.
"Viona." Mas Pandu kembali memanggil istri keduanya dengan suara lebih keras.
"Loh, Mas sudah sampai? Sejak kapan? Kok, aku nggak tau."
"Sejak tadi pagi. Hanya ada Mbok Darsih tadi."
Aku tersenyum, bisa kubayangkan bagaimana perasaan Viona menerima kenyataan bahwa suami tercintanya memilih menemuiku dibanding menemuinya dan anak tercinta. Ini belum seberapa Viona.
"Pengering rambut ada di kamar kok, Mas."
"Rusak, tadi Maira coba nggak bisa."
"Rusak atau nggak bisa, Mai? Dengan nada menghina, Viona bertanya. Aku hanya tersenyum tipis.
"Ada nggak Viona? Kabelnya putus, tadi sudah kulihat," Mas Pandu membela, padahal aku sengaja menggunting kabel tanpa sepengetahuannya.
"Kok bisa?"
"Buktinya bisa."
Viona mendengkus kesal.
"Pakai punya Mama aja, Ndu. Biar Mbok Darsih antar ke kamar Maira nanti." Miranti memberi solusi tampaknya ia tak mau ada keributan pagi ini. Keributan yang jelas akan memojokkan putrinya sendiri.
Mas Pandu mengangguk lalu bergegas membawaku bergabung bersama yang lain. Hanya tersisa dua kursi. Aku menarik tangan Mas Pandu ketika ia hendak duduk di kursi paling ujung yang di samping kanannya sudah ada Viona dan si samping kirinya ada Mas Tama.
Ia kemudian mengangguk paham.
"Maira biasa makan di sampingku. Mas Tama, bisakah pindah di kursi kosong sebelah sana?!" ucap Mas Pandu seraya menunjuk kursi kosong di nujung satunya. Viona terlihat semakin kesal. Aku suka.
"Bisa." Mas Tama segera bangkit dari tempat duduknya lalu membawa piring yang sudah terisi ke kursi yang Mas Pandu tunjukkan tadi.
Kini, Mas Pandu menarik kursi untukku dan setelah aku duduk, dia pun segera duduk di tempatnya.
Masih dengan sikap sok perhatiannya, Viona lansung melayani Mas Pandu. Mengambilkan piring dan nasi untuknya.
"Biasanya juga ambil sendiri," gerutuku melirik tajam ke arah Mas Pandu.
"Viona, aku bisa ambil sendiri." Mas Pandu segera
Mengambil piring dari tangan Viona, begitu mendengar ucapan lirih yang cukup menohok dariku.
Viona menatapku tak suka, aku hanya membalasnya dengan senyum kemenangan.
"Mau makan apa, Mai? Telur setengah matang?" tanya Mas Pandu padaku, lalu sepotong telur ia letakkan di atas nasi tanpa menunggu jawaban dariku.
"Tadi aku minta Mbok Darsih buatkan untukmu, makanlah," kata Mas Pandu. Aku pun menganggukkan kepala.
Semua tampak diam, beberapa orang tentu memandangku tak suka, termasuk ibu mertua. Namun, aku tak mau menghiraukannya. Bukankah ini tujuan utamaku, membuat mereka diam.
Kami pun menyantap hidangan tanpa suara begitu Mas Pandu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Aku yakin. Semua yang ada di sini sedang bertanya-tanya pada diri sendiri atas apa yang dilihatnya hari ini.
"Saya paling nggak suka, ada yang membantah di rumah ini. Saya bilang untuk tidak masuk bahkan mendekati kamar Maira." Mas Pandu berujar setelah meletakkan sendok di atas piring yang sudah kosong dan meneguk air.
Seketika, Viona tersedak dan makanan di mulutnya pun sedikit keluar.
"Kamu, kan Viona yang masuk dan mengatakan semua yang bukan hakmu?!" Bukan memberi air pada Viona yang tersedak, Mas Pandu justru langsung menunjuk Viona pelakunya. Menarik.
"Aku ...."
"Ini terakhir kamu bertindak seperti ini, tenyata permintaan maaf kamu hanya di mulut, ya? Setelah kamu lancang memberi tahu alamat ini, sekarang kamu lancang memberi tahu Maira tentang pekerjaanku, itu bukan ranahmu, Viona!" Mas Pandu marah, semua terlihat tegang.
"Mas, aku cuma mau minta maaf pada Maira."
"Minta maaf atau sengaja mencari masalah lagi?!" Mas Pandu semakin marah. Aku semakin suka.
Drrttt... Drrttt... getar ponsel Mas Pandu membuat
drama pagi ini harus terjeda.
"Iya, hari ini saya nggak ke kantor. Bawa berkasnya ke rumah. Suruh kurir saja. Saya nggak terima tamu." Mas Pandu berujar dengan seseorang di seberang sana lalu menjauh dari tempat kami. Sebab, terjadi sedikit perdebatan.
Seketika senyumku merekah, menatap Viona yang terlihat sangat kesal. "Seorang selir kadang memang dinikahi hanya sebatas untuk melahirkan anak dari rajanya. Tapi, selir tetaplah selir, tak akan bisa menggantikan seorang Permaisuri Raja. Kau paham, Viona!"