Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 18
Dua hari berlalu sejak Bima menetapkan strategi diversifikasi pasokan tiga lapis, dan roda operasional Yura berputar dengan kecepatan yang lebih terencana. Meskipun pasokan dari lapak rongsokan tradisional masih terhambat oleh manuver Pak Tejo, toko permanen Yura tidak menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang mengkhawatirkan. Bima, yang menghabiskan sebagian besar waktunya di belakang meja sambil memfinalisasi proposal investasi, dapat mendengar suara gembira Rio yang baru saja kembali.
Rio memasuki ruangan, wajahnya berseri-seri dan tangannya membawa dua kantong belanja besar yang berisi rongsokan. Keberhasilan kampanye 'Yura Membeli Aset Rusak Anda' di media sosial mulai membuahkan hasil. Strategi akuisisi mikro yang lebih lambat, namun memiliki margin keuntungan stabil, terbukti menjadi bantalan yang efektif bagi likuiditas jangka pendek Yura.
"Pak Bima, ini hasilnya dari dua hari kampanye," lapor Rio, meletakkan kantong-kantong itu di atas meja penyortiran. "Total delapan aset kami jemput langsung dari pelanggan, lima di antaranya laptop lama yang kondisinya cukup baik untuk restorasi A-Grade, sisanya tiga konsol game rusak. Modal yang dikeluarkan total hanya Rp1.800.000, dan kita hindari tawar-menawar rumit di lapak."
Bima mengangguk puas, mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. {Metode ini, meski tidak dapat menunjang ekspansi skala korporat, sukses menjaga likuiditas operasional dan membuktikan bahwa Kecepatan Layanan masih menjadi Nilai Tersembunyi di pasar individual. Rio telah menjalankan Leverage Waktu dan Jangkauan-nya dengan sempurna.}
"Sangat bagus, Rio," puji Bima. "Lanjutkan fokus pada area dengan jangkauan 5 kilometer dari toko. Kita menjaga rasio keuntungan per kilometer tetap tinggi."
Tak lama setelah itu, Tuan Banu masuk ke dalam toko, langkahnya lebih berat dari biasanya. Wajahnya menunjukkan kombinasi kelelahan dan pengetahuan baru yang berharga. Bima segera tahu bahwa Manajer Pengadaan Asetnya telah berhasil menembus gerbang informasi, tetapi juga menemukan hambatan yang signifikan.
"Selamat siang, Pak Bima," sapa Tuan Banu, menyeka keringat di dahinya. "Saya sudah menghubungi beberapa broker dan bahkan berhasil mendapat akses ke daftar lelang aset sisa dari dua bank yang bangkrut dan satu perusahaan IT besar yang sedang melakukan refresh hardware. Lelang itu adalah sumber pasokan skala korporat yang kita cari."
"Lalu, apa hambatannya?" tanya Bima, langsung menuju inti masalah, sebab dalam dunia modal, setiap menit yang dihabiskan untuk masalah yang sudah teridentifikasi adalah kerugian waktu.
Tuan Banu menarik napas. "Hambatannya adalah skala, Pak Bima. Untuk mendapatkan aset IT dari lelang bank, kami tidak bisa membeli secara eceran. Unit lelangnya berupa satu lot besar berisi minimal 500 unit komputer dan server bekas. Untuk masuk lelang tersebut, calon peserta wajib menyetor deposit awal yang tidak bisa dikembalikan jika gagal menang, minimal Rp100.000.000."
Rio terkejut mendengar angka tersebut. Rp100.000.000 adalah total modal yang dibutuhkan untuk membeli seluruh inventaris gabungan dari sepuluh lapak rongsokan terbesar di kota.
"Rp100.000.000 untuk deposit," ulang Bima, tanpa sedikit pun perubahan ekspresi. Angka itu tidak mengejutkannya; ia justru memandang angka itu sebagai verifikasi. {Ini adalah Pintu Masuk Modal yang sesungguhnya. Jaringan korporat menjual asetnya bukan untuk mencari margin kecil, tetapi untuk likuiditas cepat dan penghapusan buku. Harga Rp100.000.000 ini adalah bukti bahwa Nilai Tersembunyi yang ditawarkan dalam lot sebesar itu jauh melebihi risiko deposit.}
"Saya juga bertemu dengan seorang broker, Pak," tambah Tuan Banu. "Dia bisa memberikan akses ke daftar barang yang lebih kecil dari perusahaan IT yang refresh hardware-nya, tetapi dia meminta biaya komitmen awal Rp20.000.000 hanya untuk memasukkan nama Yura ke dalam daftar prioritasnya. Dia menyebutnya 'Biaya Validasi Kredibilitas'."
Bima tersenyum tipis. "Biaya Validasi Kredibilitas. Begitulah cara modal besar beroperasi, Tuan Banu. Kepercayaan adalah mata uang pertama yang dipertukarkan, dan di level itu, kepercayaan diukur dengan komitmen tunai."
Rio tampak bingung, namun Tuan Banu mengangguk, ia mulai mengerti logika bisnis yang jauh lebih besar dari pasar rongsokan.
"Sekarang kita tahu," kata Bima, mencondongkan tubuh ke depan. "Kita tahu bahwa target modal Rp250.000.000 yang aku tetapkan bukan hanya untuk membeli aset, tetapi untuk membayar tiket masuk ke gerbang pasokan skala korporat. Deposit Rp100.000.000 itu memastikan hanya pemain dengan komitmen modal serius yang bisa ikut bermain."
{Langkah selanjutnya tidak bisa berupa pengeluaran tunai, karena kas kita harus dijaga untuk deposit tersebut. Langkah selanjutnya adalah Leverage Jaringan Sosial. Inilah mengapa Risa akan menghadiri pesta gala. Dia tidak hanya mencari investor, dia mencari Validasi Kepercayaan yang nilainya jauh lebih besar daripada komitmen tunai awal. Jika dia bisa menghubungkan kita dengan salah satu angel investor yang bisa merekomendasikan Yura, kita bisa mendapatkan akses ke broker tanpa perlu mengeluarkan Rp20.000.000, atau bahkan mendapatkan dukungan likuiditas jangka pendek untuk deposit Rp100.000.000.}
"Tuan Banu," instruksi Bima, suaranya kembali tajam dan tenang. "Fokus Anda bergeser lagi. Lupakan dulu komitmen tunai Rp20.000.000 itu. Saya ingin Anda menyusun laporan due diligence sederhana tentang broker tersebut dan perusahaan-perusahaan lelang aset itu. Apa rekam jejak mereka? Siapa saja klien besar mereka? Kredibilitas broker tersebut adalah aset non-moneter yang paling harus kita nilai saat ini."
Tuan Banu dengan sigap menerima tugas itu. Bima tidak hanya menggunakan kemampuannya mencari rongsokan, tetapi juga keahlian jaringannya untuk memetakan jalur pasokan baru. Sementara Tuan Banu keluar untuk mengumpulkan informasi, Bima kembali menatap proposal di layarnya. Dalam dua hari, Risa akan melangkah ke lingkaran modal besar, membawa janji margin keuntungan 400% Yura sebagai senjata utamanya. Semua persiapan telah mencapai tahap akhir, dan kini semua bergantung pada Leverage Sosial Strategis.
Tepat setelah Tuan Banu meninggalkan toko, ponsel Bima berdering. Nama Risa muncul di layar, disertai dengan emoji senyum khasnya. Bima mengangkat panggilan tersebut, senyum tipis terukir di wajahnya.
"Ya, Risa? Apakah ada masalah dengan gaun investasimu itu?" tanya Bima.
Suara Risa di ujung telepon terdengar sedikit cemas, namun dipaksakan ceria. "Tidak, gaunnya aman sekali, Paman Banu yang mengantarnya kemarin. Aku menelepon karena ada hal lain. Tadi malam, Papa (Pak Bram) bilang ada pertemuan makan malam keluarga besar Sanjaya akhir pekan ini di rumah Tante Elina."
Bima merasakan kekosongan dingin menyelimuti batin Arta, dan itu bukan karena Arta takut akan kebencian fana. Ini adalah respons alamiah tubuh Bima yang tersisa. {Keluarga Sanjaya, Entitas Pengabaian Sosial. Mereka adalah bukti nyata bahwa Kekayaan Terlihat adalah ilusi jika tidak disertai Nilai Sejati.}
"Makan malam keluarga," ulang Bima, nadanya datar. "Apa tujuannya? Biasanya mereka hanya berkumpul untuk merayakan akuisisi properti baru atau, seperti yang terakhir, untuk menertawakan utang yang ditinggalkan oleh orang tua kami."
Risa terdiam sejenak, suara napasnya terdengar jelas. "Aku tahu, Bima. Tapi Papa dan Mama (Bu Lasmini) meminta kita datang. Ini adalah acara pertama setelah kamu melunasi semua utang Rentenir M. Papa bilang, ini adalah kesempatanmu untuk menunjukkan kemajuan, dan mungkin, hanya mungkin, mereka akan berhenti mempermasalahkanmu dan Dinda."
Kata-kata 'berhenti mempermasalahkan' memicu kilas balik yang jelas dalam benak Bima. Itu adalah hari yang sama, lima tahun lalu, di rumah besar yang sama, tempat ia dan Dinda diusir secara tidak langsung.
{Orang tua Bima, pewaris tunggal cabang bisnis Ayah Sanjaya, tewas dalam kecelakaan mobil yang tragis. Dalam waktu kurang dari sebulan, hak waris Bima, seorang remaja 17 tahun dan Dinda yang baru berusia 3 tahun, dicabut sepenuhnya. Semua saudara Ayah, termasuk ayah Roni Sanjaya, menggunakan celah hukum dan leverage emosional palsu untuk mengklaim aset likuid dan properti. Alasannya: Bima dianggap belum cakap mengelola modal, dan mereka akan 'mengurus' dana tersebut sampai Bima dewasa. Ujung-ujungnya, tidak ada yang kembali, dan Bima beserta Dinda hanya diberi uang pesangon kecil yang langsung habis untuk biaya rumah sakit dan pemakaman.}
Satu-satunya yang menentang keputusan keji itu adalah keluarga Risa: Pak Bram dan Bu Lasmini. Mereka berdua berjuang keras membela Bima, menentang saudara-saudara lain yang hanya melihat harta peninggalan. Pembelaan mereka tidak berhasil, tetapi komitmen mereka untuk tetap mendukung Bima dan Dinda adalah Jaring Pengaman Emosional satu-satunya yang dimiliki Bima.
"Mereka tidak akan pernah berhenti mempermasalahkan kami, Risa," jawab Bima, suaranya sedikit lebih keras. "Bukan karena utang, tetapi karena kami adalah pengingat bahwa mereka adalah Keluarga Pengambil Aset. Keberadaan Dinda dan aku adalah aset non-likuid yang membenarkan keserakahan mereka di masa lalu."
"Justru itu, Bima," balas Risa cepat. "Papa bilang, tunjukkan pada mereka bahwa kamu bukan lagi anak malang yang rentan. Tunjukkan pada mereka CEO Yura Restorasi yang memiliki aset bersih Rp68.000.000 dan bersiap untuk ekspansi vertikal Rp250.000.000. Anggap ini bukan makan malam, tapi sesi Validasi Nilai di mana kita menaikkan harga saham sosialmu di mata keluarga."
Risa selalu memiliki pemahaman yang tajam tentang dinamika sosial, sebuah aset yang tidak dapat dibeli dengan uang tunai. Bima menarik napas, menganalisis proposisi tersebut.
{Ini adalah Konfrontasi Nilai Lanjutan, tetapi di tingkat yang lebih personal dan mendalam. Jika Yura bisa mendapatkan Validasi Kepercayaan dari angel investor di pesta gala, Bima harus mampu mendapatkan Validasi Sosial di depan keluarga besar. Kedua validasi ini saling menguatkan. Roni Sanjaya akan ada di sana, dan mengalahkan Proksi Kebencian Sosial di markas mereka sendiri akan memberikan Keuntungan Psikologis yang besar.}
"Baiklah, Risa," putus Bima. "Katakan pada Pak Bram dan Bu Lasmini, kami akan datang. Tapi aku tidak datang sebagai anggota keluarga. Aku datang sebagai CEO yang membawa aset non-likuidnya, Dinda, dan asisten strategisnya, Risa, untuk sebuah Pertemuan Dewan."
Panggilan itu berakhir, meninggalkan Bima sendirian dengan proposal investasi dan memori perih masa lalu. Motivasi Inti Arta untuk mengamankan Dinda (Aset Non-Likuid Paling Berharga) kini diperkuat oleh kebutuhan untuk mengembalikan martabat atas nama Bima.
{Warisan yang diambil adalah modal awal yang dicuri. Yura akan menjadi modal pengganti, modal yang jauh lebih besar dan dibangun dari nol. Sekarang, target Rp250.000.000 bukan lagi sekadar gerbang pasokan korporat; itu adalah harga yang harus dibayar untuk membalikkan narasi Keluarga Pengambil Aset itu.}