NovelToon NovelToon
SNIPER CANTIK MILIK TUAN MAFIA

SNIPER CANTIK MILIK TUAN MAFIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Mafia / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Handayani Sr.

Olivia Xera Hilson, gadis cantik dan berwibawa yang tumbuh dalam bayang-bayang kekuasaan, terpaksa menerima tawaran pernikahan dari Vincent Lucashe Verhaag seorang pria karismatik sekaligus pewaris tunggal keluarga bisnis paling berpengaruh di Amerika.
Namun di balik cincin dan janji suci itu, tersembunyi dua rahasia kelam yang sama-sama mereka lindungi.
Olivia bukan wanita biasa ia menyimpan identitas berbahaya yang dia simpan sendiri, sementara Vincent pun menutupi sisi gelap nya yang sangat berpengaruh di dunia bawah.
Ketika cinta dan tipu daya mulai saling bertabrakan, keduanya harus memutuskan. apakah pernikahan ini akan menjadi awal kebahagiaan, atau perang paling mematikan yang pernah mereka hadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Di sebuah bangunan tinggi yang berdiri megah di jantung kota, suasana senyap hanya dipecah oleh dengung pendingin ruangan. Pria berdarah Spanyol itu duduk di kursinya yang terbuat dari kulit hitam, pandangan tajamnya tertuju pada layar komputer di hadapannya.

Di sana, hasil tender terbaru terpampang jelas dan sesuai dugaannya, nama pemenangnya muncul dengan huruf tebal.

Vincent Lucashe Verhaag.

Rahang pria itu mengeras. Urat di pelipisnya menegang.

“Sial…” gumamnya pelan, namun penuh amarah yang ditahan.

Beberapa detik kemudian, pintu diketuk pelan sebelum seorang pria berjas rapi masuk. Asisten pribadinya, menunduk hormat.

“Permisi, Tuan.”

Tatapan dingin majikannya berpindah padanya.

“Ada apa?”

Sang Asisten menelan ludah sejenak sebelum menyampaikan kabar berikutnya.

“Maaf mengganggu, Tuan…baru saja diumumkan Vincent Verhaag resmi bertunangan dengan wanita keturunan keluarga Hilson.”

Suasana ruangan seketika menegang. Mark mengangkat alisnya, wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan, hanya senyum miring yang perlahan muncul di sudut bibirnya.

“Hilson…?” gumamnya pelan. “Menarik sekali.”

Dia bersandar di kursinya, menyilangkan kaki, lalu menatap sang Asisten dengan tatapan yang tajam dan penuh rencana.

“Cari tahu siapa wanita itu. Kita akan mulai dari sana… dari wanita itu.”

Sang asisten menunduk cepat. “Baik, Tuan.” Ia sempat menambahkan, “Dan nanti malam ada undangan makan malam bersama para pemegang saham. Vincent juga diundang. Apakah Anda ingin hadir?”

Mark itu terdiam sejenak, menatap ke luar jendela di mana lampu-lampu kota mulai menyala, lalu menjawab datar tanpa ekspresi,

“Baiklah. Siapkan semuanya.”

Nada suaranya tenang namun di balik ketenangan itu, tersimpan badai besar yang siap menghantam.

* * * *

Di lapangan latihan pribadi yang luas dan sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut menyapu rerumputan. Di tengahnya, berdiri seorang pria dengan postur tubuh tegap dan sempurna. Jas hitamnya tergulung di lengan, memperlihatkan urat tangan yang menegang saat ia mengangkat revolver peraknya.

Matanya biru dingin seperti lautan beku menatap lurus ke arah target di kejauhan. Tatapan itu tajam, fokus, dan penuh kendali. Setiap gerakannya presisi, seperti mesin yang tak mengenal ragu.

Dorr!

Satu tembakan melesat. Peluru menembus tepat di tengah lingkaran merah. Hening kembali merayap.

Tak lama, Louis datang mendekat sambil membawa sebotol air. “Tuan Vincent,” panggilnya sopan namun sedikit ragu. “Kami sudah mengumumkan pertunangan Anda dengan Nona Olivia. Sesuai instruksi, kami hanya menggunakan nama belakangnya.”

Vincent menurunkan senjata, menerima botol itu, lalu duduk di bangku kayu di sisi lapangan. Ia meneguk air dengan tenang, pandangan kosong menatap ke depan.

“Baiklah,” ujarnya datar. “Setelah ini, banyak yang akan mencari tahu tentang Olivia. Bersiaplah.”

Louis mengangguk. “Dan… nanti malam ada jamuan makan malam bersama para pemegang saham. Mereka mengundang Anda juga, berharap Anda hadir memberi ucapan selamat.”

Vincent mendengus pelan. “Ck. Harus sekali aku datang?” nada suaranya penuh rasa malas.

“Mereka menunggu kehadiranmu,” jawab Louis hati-hati.

Vincent hanya diam, lalu berdiri dan menyambar jasnya. Ia berjalan menuju markas tanpa menoleh.

“Panggil Domanic dan Max,” ucapnya datar pada salah satu pengawal.

Beberapa menit kemudian, di ruang santai markas, Domanic dan Max sudah berdiri di hadapan sang pemimpin. Vincent menatap mereka satu per satu, dingin dan penuh wibawa.

“Bagaimana persiapannya?”

“Semua berjalan lancar. Kami sudah melakukan seperti yang Anda perintahkan,” jawab Domanic.

“Pastikan semuanya tetap aman,” ujar Vincent tegas. “Perketat penjagaan. Dan, Dom… mereka pasti mengikutimu. Banyak yang tahu siapa kau sebenarnya. Berhati-hatilah.”

Domanic tersenyum tipis. “Aku akan tetap waspada.”

Vincent menoleh ke Louis. “Pastikan undangan hanya untuk orang-orang terdekat. Aku tidak ingin satu pun orang mencurigakan masuk ke pernikahanku.”

“Baik, Tuan,” jawab Louis cepat.

Begitu pertemuan berakhir, Vincent mengenakan jasnya kembali. Ia berjalan keluar markas bersama Louis, menaiki mobil hitamnya yang menunggu di depan. Malam ini, ia akan menghadiri jamuan makan malam acara yang tampak biasa, namun di baliknya… adalah panggung diam di mana musuh dan sekutu sama-sama bersembunyi di balik senyum.

* * * *

Di sebuah restoran mewah bergaya Tiongkok, lampion merah menggantung anggun di langit-langit, memantulkan cahaya hangat di atas meja panjang yang dipenuhi para pemegang saham ternama. Aroma teh melati dan rempah oriental memenuhi udara ketika Mark melangkah masuk bersama asistennya.

Begitu pintu utama terbuka, beberapa kepala langsung menoleh. Suara percakapan perlahan mereda, berganti dengan sapaan ramah dari tuan rumah.

“Ah, Tuan Mark! Saya tak menyangka Anda datang juga,” seru Tuan Joni, pria paruh baya yang menjadi penyelenggara malam itu.

Mark tersenyum tipis, sopan seperti biasanya. “Tentu saja, Tuan Joni. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan berharga seperti ini.”

“Selamat datang, Tuan Mark!” seru beberapa tamu lain sambil menunduk hormat.

“Terima kasih,” jawabnya singkat, dengan nada tenang dan berwibawa.

Joni segera mempersilakan, “Silakan duduk, Tuan. Kami sudah menyiapkan tempat untuk Anda.”

Mark duduk di kursi utama yang disediakan, sementara asistennya berdiri rapi di belakangnya, memperhatikan sekitar dengan kewaspadaan khas bawahan setia. Percakapan ringan pun mengalir di antara mereka tentang bisnis, tender, dan rumor kecil yang beredar di kalangan pengusaha besar itu.

Namun, tidak lama kemudian suasana mulai berubah. Seorang pria bertanya dengan nada penasaran, “Tuan Joni, apakah Anda yakin Tuan Vincent benar-benar diundang?”

“Tentu saja,” jawab Joni cepat. “Saya sendiri yang menyampaikannya lewat asistennya.”

Beberapa tamu lain saling berpandangan. “Mungkin saja beliau tidak akan datang,” ucap salah satunya pelan, disambut anggukan kecil dari yang lain. “Seperti biasanya, hanya asistennya yang akan hadir.”

Nama Vincent Lucashe Verhaag di antara mereka bukan sekadar nama legenda di dunia bisnis, tapi juga teka-teki yang jarang muncul di publik. Setiap kali undangan dikirimkan, harapan akan kehadirannya selalu berakhir dengan kekecewaan.

“Ah, bisa jadi begitu,” ujar salah satu rekan dengan nada pasrah.

Tuan Joni mulai tampak gelisah, jarinya mengetuk meja tanpa sadar. Ia mencoba tersenyum, menutupi kegugupan yang perlahan muncul di wajahnya. Sementara itu, Mark hanya duduk santai, menatap situasi itu dengan senyum samar di sudut bibirnya. Ada sesuatu di matanya rasa ingin tahu, juga firasat aneh bahwa malam ini tidak akan berakhir biasa.

“Sabar saja,” ucap Joni akhirnya, mencoba menenangkan suasana. “Mungkin Tuan Vincent hanya terjebak macet.”

* * * *

Tiga puluh menit berlalu sejak acara makan malam dimulai. Ketika suasana mulai terasa jenuh menunggu, deru mesin mobil mewah berhenti tepat di depan restoran bergaya Tiongkok itu. Lampion-lampion merah di pintu utama bergetar lembut tertiup angin malam, seolah tahu siapa yang baru saja tiba.

Pintu mobil terbuka, dan dari sana keluar Vincent Lucashe Verhaag pria dengan aura dingin yang tidak perlu diperkenalkan lagi. Tubuhnya tegap dalam balutan jas hitam yang elegan, tanpa dasi, dua kancing atas kemejanya dibiarkan terbuka memperlihatkan sedikit kulit dada. Rahangnya tegas, sorot matanya tajam dan penuh rahasia sosok yang mampu membuat ruangan terdiam hanya dengan satu langkah.

Louis berjalan di sampingnya, berwibawa namun tetap dalam posisi sebagai tangan kanan yang patuh. Begitu pintu restoran terbuka, semua mata langsung tertuju pada Vincent. Bisikan kecil terdengar, lalu seketika semua yang hadir berdiri dan memberi salam hormat.

Tuan Joni, sang penyelenggara, segera menyambut dengan senyum lega. “Selamat datang, Tuan Vincent.”

Louis menunduk sedikit, berbicara sopan namun tegas, “Mohon maaf telah membuat para Tuan sekalian menunggu cukup lama.”

“Tidak masalah, Tuan Louis,” jawab Joni ramah. “Kami justru merasa terhormat atas kehadiran Tuan Vincent malam ini.”

Vincent hanya menatap sekilas, lalu mengangguk singkat. Joni dengan cepat menarik kursi utama dan mempersilakannya duduk.

“Silakan, Tuan,” ucapnya sopan.

Begitu Vincent duduk, semua orang pun ikut duduk. Tak lama, para pelayan mulai berdatangan membawa aneka hidangan mewah bebek panggang, sup sirip hiu, dimsum, dan anggur merah pilihan.

“Terima kasih sudah meluangkan waktu di tengah kesibukan Anda, Tuan Vincent,” kata Joni dengan nada penuh hormat.

Vincent meneguk sedikit air mineral sebelum menjawab datar, “Aku tidak bisa berlama-lama. Ada urusan yang menunggu setelah ini.”

Suasana sempat hening. Para tamu menatapnya penuh rasa hormat sekaligus rasa penasaran. Di antara mereka, Mark memperhatikan setiap gerak-gerik pria itu dari kejauhan. Dalam hati ia bergumam,

'Jadi ini… Vincent Lucashe Verhaag. Aura pria ini… begitu kuat. Tatapan matanya menyimpan terlalu banyak rahasia.'

Meski perusahaan mereka pernah bekerja sama, ini kali pertama Mark melihat Vincent secara langsung. Tak heran, karena selama ini semua urusan selalu ditangani oleh Louis.

Ketika santapan malam hampir usai, Tuan Joni bangkit sambil menuangkan wine ke dalam gelas Vincent. Senyumnya lebar, suaranya lantang.

“Tuan tuan sekalian, mari kita berikan ucapan selamat kepada Tuan Vincent atas kemenangan tender besarnya, dan juga atas pertunangannya yang baru saja diumumkan!”

Suara tepuk tangan dan tawa menggema.

“Selamat, Tuan Vincent!”

“Semoga pernikahan Anda abadi!”

Cheers!

Cheers!

Semua gelas terangkat, cahaya lampu kristal memantul di permukaan wine yang berkilau.

Namun Vincent hanya menatap gelasnya tanpa mengangkatnya. Wajahnya tetap datar, dingin seperti biasa. Dia hanya mengangguk tipis sebagai bentuk penghargaan, lalu kembali menatap ke depan seolah tak terpengaruh oleh euforia di sekelilingnya.

Sementara semua orang bersorak, hanya satu orang yang diam Mark. Dia mengangkat gelasnya perlahan, namun matanya tidak lepas dari Vincent.

Dan Vincent, meskipun tampak tak peduli, dia tahu persis siapa yang sedang mengamatinya dari seberang meja. Dia membiarkan dirinya diam, seolah tidak menyadari… padahal dalam pikirannya, permainan sudah dimulai.

1
Murni Dewita
gantung thor
Murni Dewita
double up thor
Rizky Handayani Sr.: ok kak, padahal uda double² up ni 🫠
total 1 replies
Murni Dewita
jodoh mu
Murni Dewita
👣👣👣
partini
wah kakek pintar juga yah
partini
menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!