Leticia Nathania yang sering di panggil Cia adalah gadis yang sangat cantik dan selalu ceria. Cia selalu di kelilingi oleh orang-orang baik yang sangat menyayanginya. Namun semuanya berubah ketika Cia terpaksa menikahi Carlo karena di jodohkan oleh almarhum kakeknya.
Awalnya Cia ragu menikah dengan Carlo karena melihat sikap pria itu yang terlihat sombong. Tapi akhirnya Cia bersedia juga menikah dengan pria itu karena orang tuanya berusaha dengan keras meyakinkannya. Orang tuanya mengatakan kalau cinta itu akan tumbuh setelah menikah.
Setelah menikah, Cia tinggal satu atap dengan mertuanya. Dan itu bukanlah hal yang mudah, terlebih mertuanya tidak menyukai kehadiaran Cia sebagai menantu.
"Cia, kamu bersenang-senang seharian di kamar dan membiarkan Ibu dan adik bekerja, maksud kamu apa?" tegas Carlo membuat Cia sangat kaget.
Pasalnya Cia yang mengerjakan semua pekerjaan rumah seharian.
Tiba-tiba saja air mata Cia menetes tanpa di minta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MartiniKeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di rumah orang tua
Saat ini Cia sedang berada di rumah kedua orang tuanya. Dia sedang makan bersama Yudi, Nisa, dan Nico adik laki-lakinya.
"Cia, kenapa suamimu nggak pernah ikut kesini? Jangan-jangan kamu nggak pernah izin kalau datang kesini?"tanya Nisa sembari menatap putrinya.
"Dia sangat sibuk, Ma."
"Kebetulan besok kan hari libur, bagaimana kalau besok kamu bawa Carlo kemari. Kalau perlu ajak dia nginep di sini."
Cia hanya menganggukkan kepala saja.
"Jangan hanya menggangguk loh Cia, harus pokoknya." Kata Nisa karena ingin sekali bertemu menantunya, terakhir bertemu dengan Carlo saat mereka menikah.
"Aku usahain ya mah, soalnya kak Carlo sangat sibuk dan sering lembur akhir-akhir ini, bahkan beberapa hari ini dia jarang pulang ke rumah. Katanya sih lagi banyak banget kerjaannya."
"Selingkuh kali dia, bukan lembur." Nico tiba-tiba berceletuk membuat Yudi dan Nisa mendelik horor menatap anak bujangnya itu.
"Nico, kenapa ngomong begitu sih? Ucapan itu doa loh." Yudi memperingati anaknya itu, menatap tidak enak pada Cia yang masih asik makanannya.
"Kakak aja nggak protes apa-apa tuh. Bisa aja bener kan?"
Cia langsung mengangkat pandangannya menatap ke arah Nico.
"K_kakak nggak tau, semoga saja enggak." Ucap Cia sedikit gugup. Selama ini Cia belum menceritakan bagaimana keadaan rumah tangganya pada mereka.
Sayangnya ketiga orang di sana menatap fokus pada Cia yang telihat aneh setiap di tanya suaminya.
"Nggak boleh berpikir aneh-aneh. Papa percaya sama suamimu kalau dia nggak akan macam-macam, apalagi kakek kalian dan kakek Santoso berteman baik."
Cia mengganggu, "Semoga ya, Pa. Tapi ingat jangan pernah terlalu berekspektasi pada sesuatu yang belum pasti. Karena nggak semua yang kita lihat selama ini sesuai dengan kenyataan di dalamnya."
Kembali Nisa dan Yudi saling melirik, kecuali Nico yang masih menatap lekat kakak perempuannya itu.
Setelah acara makan malam selesai, sebelum pulang ke rumah, Cia menyempatkan duduk di Gazebo samping rumahnya. Tempat favoritnya, apalagi saat sedang ingin menyendiri.
"Pernikahan kakak pasti nggak baik-baik saja kan?" Nico tiba-tiba udah duduk di samping Cia, entah sejak kapan tapi Cia sampai tidak menyadarinya.
"Pernikahan yang baik-baik itu seperti apa sih Nico? Kakak tahu kamu belum punya pengalaman itu, tapi kamu pasti akan mengambil contoh dari mama dan papa kan?" tanya Cia seraya menatap sang adik.
"Iya, kakak juga kan? Tapi sayangnya nggak sesuai sama yang kakak bayangkan selama ini kan?"
Cia merangkul adik kesayangannya itu,
"Pinter banget sih adik kakak ini. Makin dewasa, makin ganteng dan ini makin banyak ototnya. Sering nge-GYM yah? Biar bisa tebar pesona sama cewek."
"Bisa banget sih mengalihkan pembicaraan." Melepaskan rangkulan di pundaknya dan merangkul balik dan menyandarkan kepala kakaknya di pundaknya, "Sejak kapan kakak merasa rumah tangga kakak nggak baik-baik saja?"
"Kalau kakak bilang sejak kakak menginjakkan kaki di rumah itu, apa kamu percaya?"
"Percaya kok,"jawab Nico dengan cepat. "Sangat percaya malah, tapi kalau ditanya kenapa, aku juga nggak tahu mau jawab apa. Semacam insting mungkin?" Nico terkekeh diikuti oleh Cia.
"Hum,,, kakak akui insting kamu lebih kuat dibanding kakak. Hebat juga kamu bisa menyaingi kakak." Cia kembali tertawa, tapi kali ini Nico tidak.
"Kak?"
"Kenapa? Mau nebak apa lagi?"
"Aku pernah lihat suami kakak sama perempuan lain beberapa hari lalu." Ucap Nico dengan cepat, membuat Cia bungkam beberapa saat.
Hening...
"Tapi mungkin aku salah lihat a___"
"Kamu nggak salah lihat kok, kak Carlo memang punya perempuan lain."
Sekarang giliran ucapan Nico yang terpotong, lalu mengangkat kepala kakaknya.
"Kakak pernah lihat suami kakak sama perempuan lain?" tanya Nico dengan mata membulat.
Cia menganggukan kepalanya dan kembali menyandarkan kepalanya.
"Apa kakak masih mau bertahan dengan pria seperti itu? Aku bukan mau memprovokasi, tapi kalau kakak tidak bahagia kakak boleh kok menyerah, nggak ada salahnya juga keluar dari hubungan yang toxic dan nggak sehat."
"Kakak bahkan sudah menyerah di hari pertama, tapi kakak tidak bisa pergi dari sana. Katanya kakek punya hutang banyak pada kakek Santoso, makanya kakak di jodohkan sama kak Carlo."
"Berarti kakak akan diam saja melihat suami kakak begitu? Kakak nggak pantes dengan pria seperti itu. Aku ingin kakak bahagia."
"Enggak apa-apa, siapa tahu aja suami kakak bisa berubah." Cia kembali tersenyum, mendongak sekilas menatap adiknya.
"Sifat lain memang bisa saja berubah kak, tapi untuk selingkuh, aku rasa itu kecil kemungkinannya. Mungkin bisa untuk beberapa saat, tapi dia sudah tahu bagaimana rasanya, dan nggak menutup kemungkinan dia akan kembali mengulang perselingkuhan itu kan?"
Cia juga tidak mengharapkan apapun lagi dengan pernikahan ini, tapi untuk berpisah pun bagi Cia itu sangat sulit.
Sampai kapan? Entahlah, mungkin sampai suaminya menceraikannya terlebih dahulu. Yang jelas Cia harus menunggu.
Keheningan di sana terpecah dengan suara dering ponsel Cia. Sudah bisa ditebak kan siapa yang menghubungi Cia?
"Iya kak?"
"Ticia, kenapa belum pulang? Katanya tadi nggak bakal nginep?"
"Sebentar lagi pulang kok kak. Kenapa kakak belum tidur?"
"Kan nungguin Ticia pulang. Jangan terlalu malam bahaya di jalan."
"Iya kak, aku langsung pulang sekarang."
"Hati-hati, jangan lupa kabarin kakak kalau ada apa-apa."
"Siap kak, kalau gitu aku tutup yah."
Setelah mendapatkan jawaban dari seberang sana, Cia memutuskan panggilan dan menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah adiknya yang...
"Itu kenapa mata kamu sampai begitu liatin kakak?" tanya Cia menaikkan sebelah alisnya.
"Kenapa aku merasa kalau Kak Damian suka sama kakak yah?"tebak Nico
"Ya kali, kamu ini aneh-aneh aja."
"Ingat, insting aku selama ini bagus loh. Lagian kalian kayaknya deket banget sampai nanyain belum pulang segala."
"Ya karena emang udah malem Nic, nggak lihat ini jam berapa? Apalagi aku pamitnya tadi cuma sebentar." Semakin memicing lah mata Nico.
'Ini yang jadi suaminya kak Cia itu kak Carlo atau kak Damian sih.' Batin Nico.
"Ya udah, yuk anterin kakak pulang." Kata Cia. Tadi dia diantar sama Pak Udin saat kesini, tapi setelah itu dia menyuruh pulang Pak Udin.
"Baiklah, kak."
Nico lalu mengantar kakaknya pulang.
"Kalau suami kakak nyakitin kakak, hubungi saja aku. Nanti aku akan langsung datang ke sini buat jemput kakak. Kalau masalah hutang kakek, kita cari solusinya sama-sama nanti." Kata Nico setelah sampai di depan rumah kakek Santoso.
"Iya, sudah sana pulang. Jangan ngebut!" Usir Cia
"Iya, kak."
Setelah Nico pergi, Cia baru masuk ke dalam rumah, tapi dia tidak langsung masuk ke kamarnya. Dia pergi ke kamar Damian terlebih dahulu, dia ingin melihat apakah Damian sudah tidur atau masih menunggunya.
Terima kasih ya krn sudah mampir, jangan lupa like dan komentarnya ya kakak2, biar author tambah semangat nulisnya😊