Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Pertemuan murid Rasi dan Putra penguasa Lakantara
Raka mendengar suara harimau membuat jantungnya berdegup kencang, langkahnya terhenti dengan kewaspadaan tinggi.
Namun tak lama kemudian, suara itu berubah menjadi erangan berat seperti hewan yang sedang kesakitan.
Didorong rasa penasaran, Raka perlahan menyusuri arah suara.
Di balik semak dan kabut tipis, ia tertegun.
Seekor harimau besar terbaring lemah, dadanya naik turun tersengal, dan di dekatnya berdiri seorang pemuda asing.
Pemuda itu mengenakan pakaian dari serat berwarna hijau tua, tampak ringan tapi kuat menempel di tubuhnya.
Di tubuhnya, terpasang jirah berkilau coklat, memantulkan cahaya.
Jirah itu melindungi tangan, bahu, badan, lutut sampai kaki, disusun rapat seperti kulit kumbang namun halus permukaannya bukan batu, bukan pula kulit binatang.
Yang lebih membuat Raka terperangah, pemuda itu memakai penutup kepala seperti topeng hampir menutup kepala dan ada celah sempit di wajahnya.
Di tangannya tergenggam sebilah senjata pipih memanjang, hampir sepanjang lengannya sendiri.
Bentuknya seperti daun pandan dan sedikit melengkung, permukaannya licin bagai kayu basah tapi jelas bukan kayu.
Dari ujung bilah itu masih menetes darah segar harimau.
Raka menatap senjata itu dengan ngeri dan takjub sekaligus.
Raka teringat perkataan Kakek Gajo dan Tetua Aru dengan ciri yang sama yang di pegang oleh pria itu.
Kini, semua kata itu terasa nyata di hadapannya.
Pemuda itu mengangkat wajahnya sedikit, menatap Raka dari balik celah helm.
“Kau siapa?” suara beratnya keluar pelan tapi tegas.
Raka membeku.
Nafasnya tertahan di tenggorokan, keringat dingin membasahi tengkuknya.
Ia tahu tak ada gunanya melawan.
Perlahan, ia menurunkan tombak batu rijang dan meletakkannya di tanah tanda menyerah.
Senjata di tangan pemuda itu jelas bukan tandingan batu mana pun.
Jika mampu menumbangkan seekor harimau, maka tubuh manusia hanyalah daun kering di hadapannya.
Pemuda itu tak berkata apa-apa.
Ia hanya mengusap bilah senjatanya ke bulu harimau, membersihkan sisa darah yang menetes, lalu menyarungkan kembali senjata itu ke wadah berwarna coklat di pinggangnya.
Setelah itu, ia melepaskan helmnya perlahan.
Wajah muda tampak di baliknya tatapannya tenang, bukan seperti pemburu haus darah, melainkan seorang pengamat yang penuh perhitungan.
Langkahnya pelan ketika mendekati Raka.
“Aku bukan musuh,” katanya lembut. “Tenanglah.”
Ia memungut tombak Raka yang tergeletak di tanah, lalu mengembalikannya.
Setelah itu, dengan nada datar namun berwibawa, ia bertanya,
“Harimau akan agresif berburu dan kawin di musim kemarau, tepat di musim ke tujuh dan ke delapan. Lalu… mengapa kau berkelana sejauh ini, di tempat seberbahaya ini?”
Pemuda itu menatap Raka dari ujung kaki hingga kepala, seolah menilai siapa sebenarnya orang di depannya.
Lalu suaranya terdengar lagi, tenang tapi mengandung nada heran.
“Apakah kau mengerti perkataanku, atau kau berasal dari suku pedalaman?”
Raka terdiam sesaat, pikirannya melayang antara kagum dan waspada. Ia sempat menatap senjata yang disarungkan di pinggang pemuda itu cahaya dari bilahnya masih terpantul di ingatan.
Dengan napas yang perlahan, ia menunduk hormat.
“Tentu aku mengerti, Tuan,” ucapnya sopan.
Kedua telapak tangannya ia satukan di depan dada, salam yang biasa dilakukan pada para tetua dan tamu kehormatan.
Pemuda itu duduk di atas batang pohon tumbang, menaruh helm di sampingnya.
Ia menyandarkan siku di lutut, jari-jarinya menahan dagu, memandangi Raka dengan tatapan tenang tatapan seseorang yang tampak berpendidikan dan beradab.
Suasana di antara mereka hening, hanya suara serangga dan hembusan angin yang terdengar di sela pepohonan.
Akhirnya pemuda itu bicara.
“Namaku Yarun’ru Beta dari Lakantara. Dan kau sendiri, siapa namamu?”
Raka sontak membeku.
Kata “ru” menggema di pikirannya gelar untuk putra seorang Ama, penguasa besar dari Kerajaan Lakantara.
Darah di wajahnya seakan surut.
Ia teringat tragedi Api Hijau, tentang pasukan Lakantara yang membantai bayi-bayi di barat.
Kini, salah satu keturunan mereka berdiri di depannya.
Raka terdiam cukup lama seolah mulutnya dibekap oleh sesuatu yang tak terlihat.
Lidahnya kelu, pikirannya penuh oleh bayangan kelam tragedi Api Hijau.
Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun harus berhati-hati.
Di hadapan putra Lakantara, setiap kata bisa berarti ancaman.
Siapa tahu di balik pepohonan, ada mata-mata kerajaan yang sedang mengawasinya.
Yarun’ru Beta masih duduk tenang di atas batang pohon tumbang. Tatapannya lembut, namun seolah mampu menembus hati.
Ia berkata dengan nada datar tapi menenangkan,
“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tentang Api Hijau...
seolah-olah aku bagian dari pembantai bayi itu.”
Ia menarik napas perlahan, lalu menatap langit di sela pepohonan.
“Tenanglah. Aku tidak termasuk di antara mereka. Saat peristiwa itu terjadi, aku bahkan belum ada. Aku baru lahir di musim terik kedelapan, siklus ke-15.”
Yarun’ru Beta perlahan berdiri.
Tangannya melepas satu per satu jirah dari bahu dan dadanya, hingga hanya tersisa pakaian serat hijau yang menempel di tubuh.
Kemudian, dengan satu tarikan lembut, pakaian itu pun ia lepaskan.
Raka menahan napas.
Di hadapannya, tubuh Yarun’ru Beta tampak penuh luka bekas cambuk yang menorehkan garis-garis pahit di punggung dan dadanya.
Luka lama yang sudah mengering, tapi masih menyimpan rasa sakit.
Dengan suara serak namun tenang, Yarun’ru berkata,
“Aku juga marah... kepada ayahku sendiri.”
Ia menunduk, jemarinya menggenggam jirah yang kini tergeletak di tanah.
“Dulu aku percaya, ia adalah raja yang adil. Sosok yang membawa kesejahteraan dan keamanan bagi rakyat Lakantara.”
“Namun setelah mendengar obrolan para Sura, Rana, dan para prajurit… aku tahu, semua itu semu.”
Ia menatap ke arah Raka, matanya bergetar menahan amarah.
“Di balik segala pujian dan upacara persembahan, ayahku menyimpan kegelapan. Rakyat memujanya seperti Tuhan, padahal di bawah cahaya Lakantara… banyak darah yang ditutupi bayangan.”
Raka menunduk dalam, lalu berkata dengan nada penuh hormat,
“Maafkan aku, Tuan Yarun’ru… aku terlambat memperkenalkan diri.”
Ia menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada lagi.
“Namaku Raka. Aku tinggal di barat, di kaki Gunung Salak. Usia kehidupanku musim tunas, siklus ke lima belas.”
Yarun’ru Beta menatapnya lama, seolah menilai tiap kata yang diucapkan Raka.
Namun kemudian, wajahnya melunak.
“Barat Gunung Salak… tempat yang katanya masih dijaga hutan, pohon dan sungai yang berbisik.”
Raka mengangguk pelan.
“Benar. Dan di sanalah aku belajar mendengar bumi, agar tak buta oleh kekuasaan.”
Yarun’ru terdiam, matanya perlahan menatap tanah.
Angin bergerak di antara mereka, membawa aroma tanah dan logam.
Dua jalan yang berbeda kini bersinggungan satu dari bumi, satu dari logam dan dunia seakan menahan napas menunggu apa yang akan terjadi setelah pertemuan itu.
Yarun’ru Beta menatap Raka dengan mata tajam, namun nada suaranya tenang,
“Apa yang membawamu kemari, Raka?
Perjalanan dari Gunung Salak hingga ke Gunung Asalga bukanlah jarak yang dekat.
Bukankah wilayah barat tempatmu berasal adalah tanah Suralah negeri yang katanya telah lama musnah?”
Raka menunduk hormat, lalu menjawab dengan jujur,
“Aku sedang menempuh ujian Prahya sebelum layak disebut seorang Rasi.
Salah satu tugas yang kupikul adalah menuju tanah suku Yaka
untuk mengingatkan mereka agar tak lagi merusak bumi dengan menebang pohon secara paksa.
Sebab hutan adalah nafas bagi semua makhluk,
dan bila nafas itu hilang, maka hilang pula kehidupan di bumi.”
Raka mengangkat wajahnya perlahan, menatap Yarun’ru Beta.
“Itulah sebabnya aku berjalan sejauh ini, meski mungkin belum layak disebut bijak.”
Yarun’ru Beta tertawa kecil, namun matanya menyimpan nada sinis.
“Rasi, katamu? Di sekitar daratan wilayah Lakantara sudah banyak yang mengaku Rasi bahkan di luar wilayah.
Mereka datang dengan jubah, membawa kata-kata manis, lalu membuat rakyat menunduk di depan patung batu.”
Yarun'ru Beta menunjuk ke tanah dengan ujung jarinya.
“Patung yang mereka buat menyerupai manusia berwajah tenang konon katanya wajah seorang Rasi sejati.
Orang-orang memberi sesajen, memohon hujan, kemakmuran, dan keselamatan.
Tapi yang mereka sembah hanyalah batu bisu, bukan kebenaran.”
Yarun’ru Beta mendengus pelan, menatap Raka seolah menguji.
“Jangan bercanda tentang gelar Rasi.
Jangan-jangan gurumu pun sama seperti mereka mengajarkan kebijaksanaan hanya untuk mendapat sesajen agar tak perlu susah payah mencari isi perut.”
Raka mengepalkan tangan.
Amarah yang ia tahan sejak tadi kini naik ke tenggorokan.
Wajahnya menegang, tapi suaranya tetap bergetar menahan hormat.
“Jangan samakan guruku dengan mereka, Tuan Yarun’ru.”
Langkahnya maju satu tapak, menatap lurus pada pemuda Lakantara itu.
“Aku bukan pengikut sesajen. Aku calon Rasi yang ke enam belas dari garis ajaran yang masih suci.”
Yarun’ru Beta terdiam, matanya menyipit.
Namun Raka melanjutkan, napasnya teratur tapi setiap kata seperti mengalir dari keyakinan yang dalam.
“Guruku, Rasi Laka, adalah pewaris ajaran Rasi P’rana Rasi ke empat belas.
Dan Rasi P’rana belajar dari gur.....”
Belum sempat Raka melanjutkan nama-nama berikutnya, Yarun’ru Beta tiba-tiba berdiri tegak.
Matanya melebar, wajahnya berubah pucat.
“Apa yang kau katakan barusan… Rasi P’rana?” katanya pelan tapi penuh tekanan.
Raka mengangguk perlahan.
“Benar. Beliau guru dari guruku.”
Yarun’ru Beta melangkah mendekat, napasnya memburu.
“Itu… tidak mungkin. Nama itu… adalah guru ayahku sendiri.”
Suasana mendadak hening.
Daun-daun di atas mereka seolah berhenti bergoyang.
Yarun’ru menatap tanah, suaranya merendah, hampir seperti bergumam.
“Rasi P’rana… masih hidup? Tidak… ia telah dipasung… di bawah istana timur, karena dianggap pengkhianat ajaran Lakantara.”
Raka terpaku.
Nama besar gurunya ternyata bukan sekadar legenda, melainkan saksi kebenaran yang masih hidup namun terpenjara.
Yarun’ru Beta menarik napas panjang, suaranya berat dan bergetar menahan kenangan yang pahit.
“Sejak kecil… aku sering diam-diam turun ke ruang bawah tanah istana. Di sanalah Rasi P’rana dikurung.”
Ia menatap jauh, seolah bayangan masa lalu muncul kembali di matanya.
“Aku bersembunyi di balik jeruji, mendengarkan kata-katanya tentang keseimbangan dan cahaya yang ada di setiap diri manusia.
Kadang ia berbicara seperti sedang berdialog dengan langit, dan aku mencatat setiap katanya di dalam ingatan.”
Yarun’ru tersenyum getir.
“Aku tak tahu apakah yang ia ucapkan itu pelajaran, doa, atau wahyu… tapi aku tahu, semuanya benar.”
Yarun'ru menunduk.
“Namun setiap kali aku ketahuan mengunjunginya, tubuhku dicambuk.
Pertama kali di bahu, lalu di dada. Tapi aku tetap kembali, hingga akhirnya ketahuan lagi dan lagi… sampai cambuk itu menjadi bagian dari kulitku.”
Yarun’ru mengangkat kepalanya, menatap Raka dengan mata yang nyala oleh keyakinan.
“Itulah sebabnya aku meninggalkan istana. Aku tak sanggup hidup di bawah bayang ayahku yang menyebut kebenaran sebagai pengkhianatan.”