NovelToon NovelToon
MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

MENJADI PILIHAN KEDUA SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ibu Cantik

Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.

Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.

Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bagian 7

Lampu ballroom kembali meredup. Musik percakapan para tamu perlahan mengecil, digantikan dentingan piano yang lembut namun penuh penekanan. MC melangkah ke tengah panggung dengan senyum profesional yang terlatih.

“Hadirin yang berbahagia,” suaranya menggema hangat, “selanjutnya kami persilakan kedua mempelai untuk berdansa pertama sebagai pasangan suami istri.”

Sorak sorai langsung pecah. Tepuk tangan bergemuruh. Beberapa tamu bahkan berdiri, mengangkat ponsel, siap mengabadikan momen yang di mata mereka sempurna.

Bianca tertegun.

Tangannya yang sedari tadi terlipat di depan tubuhnya perlahan mengencang. Jantungnya berdetak terlalu cepat, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia menoleh ke Sadewa dengan tatapan ragu mencari petunjuk, atau sekadar kepastian bahwa ini benar-benar terjadi.

Sadewa menatap lurus ke depan. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi. Ia mengulurkan tangan, bukan dengan kelembutan, melainkan dengan gerak formal sebuah kewajiban yang harus dipenuhi.

“Ayo,” katanya singkat.

Bianca menelan ludah. Ia menerima uluran tangan itu. Telapak Sadewa dingin, genggamannya tidak menguat, tidak pula melemah. Mereka berjalan ke tengah lantai dansa, langkah Bianca sedikit tertahan oleh gaun panjang yang berat dan oleh perasaan yang jauh lebih berat.

Musik mulai mengalun.

Bianca berdiri kaku, tubuhnya menegang. Ia tidak punya persiapan. Tidak ada latihan. Tidak ada kesepakatan. Yang ia miliki hanya ingatan samar tentang tarian-tarian sederhana di acara kampus itu pun sudah lama berlalu.

Sadewa menarik pinggangnya pelan, menempatkan posisi mereka. Gerakannya presisi, tenang, seolah ia sudah menghafal ritme lagu ini sejak lama.

“Kamu bisa ikuti,” katanya datar, nyaris berbisik. “Jangan lihat ke bawah.”

Bianca mengangguk kecil. Nafasnya terasa pendek. Ia menaruh tangannya di bahu Sadewa, jari-jarinya gemetar. Ketika musik mengalun lebih penuh, Sadewa mulai memimpin langkah ke kiri, putaran kecil, lalu mendekatkan kembali jarak di antara mereka.

Sorakan tamu kembali terdengar.

“Serasi banget!”

“Visualnya luar biasa!”

“Seperti pasangan majalah!”

Lampu-lampu menyorot mereka. Gaun Bianca berkilau, wajahnya tampak lembut dengan senyum tipis yang dipaksakan. Sadewa berdiri tegap, tampan, aura pengantin pria terpancar kuat. Dari luar, mereka terlihat sempurna dua anak pengusaha besar, cantik dan tampan, berdansa di hari pernikahan.

Namun hanya Bianca yang tahu, betapa kaku punggung Sadewa.

Hanya Bianca yang merasakan, betapa kosong pelukan itu.

“Kamu gugup,” ucap Sadewa pelan, nyaris tak terdengar.

Bianca tersenyum kecil. “Sedikit.”

“Tidak apa-apa,” katanya, tetap datar. “Semua orang melihat kita, bukan detailnya.”

Kalimat itu menusuk. Bukan kita, tapi yang terlihat.

Bianca mengangguk. Ia mengikuti gerakan Sadewa, membiarkan tubuhnya dibawa alur musik. Sekali waktu, mata mereka bertemu. Bianca berharap entah kenapa ada satu detik saja kehangatan di sana.

Tidak ada.

Sorotan kamera kilat menyala berkali-kali. Tepuk tangan kembali menggema saat Sadewa memutar Bianca dengan gerakan rapi. Gaunnya mengembang indah. Bianca nyaris lupa bernapas, bukan karena tarian, melainkan karena ia merasa sedang dipertontonkan bukan dirayakan.

Di sisi ruangan, Hanum berdiri mematung.

Tangannya terkatup di depan dada, jemarinya saling menekan. Matanya menatap dua sosok di tengah lantai dansa putra semata wayangnya dan perempuan yang selama ini ia sayangi seperti anak sendiri.

Bianca.

Hatinya terasa diremas.

Ia melihat senyum Bianca yang terlalu rapi, terlalu terkendali. Ia melihat Sadewa yang bergerak tanpa emosi. Dan tiba-tiba, rasa bersalah menyeruak begitu kuat hingga Hanum harus menarik napas panjang agar tidak menangis.

“Harusnya tidak begini…” bisiknya.

Yudistira berdiri di sampingnya, wajahnya tegang. Pria itu menghela napas berat, pandangannya tak lepas dari Sadewa. Ada kebanggaan di sana anaknya tampan, terhormat namun tertutup oleh luka yang sulit ia jelaskan.

“Kita yang memaksa,” ucap Yudistira lirih. “Sekeras apa pun kita berdalih demi nama baik, tetap saja… ini salah.”

Hanum menoleh, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya ingin dia bahagia. Aku ingin Bianca bahagia. Tapi lihat mereka…”

Di tengah lantai, Bianca tertawa kecil tawa yang tepat waktunya, tepat volumenya. Para tamu bertepuk tangan lagi. Beberapa mengangguk puas.

Hanum menggigit bibirnya. Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.

“Bianca itu seperti putri kita,” katanya terisak. “Dan hari ini… aku menyeretnya ke pernikahan yang dingin.”

Yudistira memejamkan mata sesaat. “Kita sudah terlalu jauh.”

Musik mencapai klimaks. Sadewa menarik Bianca mendekat untuk pose akhir. Tepuk tangan membahana. Sorak sorai memenuhi ruangan. MC tersenyum lebar, memuji keindahan pasangan pengantin.

Bianca menunduk sopan, lalu mendongak dengan senyum yang masih bertahan. Tangannya terlepas dari Sadewa. Jarak kembali tercipta kecil, namun terasa.

Saat mereka berjalan kembali ke pelaminan, Bianca merasakan satu hal yang pahit namun jelas di tengah sorakan dan gemerlap, ada hati-hati yang hancur diam-diam.

Dan di antara semua yang terluka, yang paling sunyi adalah hati orang tua Sadewa yang menyadari, kebahagiaan tidak bisa dipaksa, bahkan dengan niat paling baik sekalipun.

1
Dewi Susanti
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!