Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Yuigahama menghela napas panjang. “Kamu memang selalu berpikir dengan cara yang berbeda, ya…”
Naruto tertawa kecil. “Aku hanya percaya bahwa tidak semua masalah harus diselesaikan dengan satu solusi yang sama. Setiap orang punya jalan mereka sendiri.”
Yuigahama menatapnya, lalu tersenyum. “Aku rasa… aku mengerti sekarang.”
Mereka pun duduk dalam diam, menikmati angin yang berhembus pelan. Sesekali, suara tawa siswa lain terdengar di kejauhan, tapi bagi mereka berdua, saat ini cukup tenang.
Part 9-2
Naruto memperhatikan Yuigahama lebih seksama. Biasanya, gadis itu selalu membawa suasana ceria ke mana pun dia pergi, senyumannya menular, dan sorot matanya selalu penuh cahaya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Mata itu—yang seharusnya bersinar dengan aura positif seperti biasa—tampak redup. Hampir kosong.
Naruto sedikit menyipitkan matanya, mencoba membaca ekspresinya lebih dalam. "Yui, ada sesuatu yang mengganggumu?" tanyanya, suaranya tetap santai, tetapi memiliki nada keprihatinan yang samar.
Yuigahama terkejut sesaat sebelum buru-buru tersenyum, seolah menutupi sesuatu. "Eh? Enggak kok! Aku cuma... ya, sedikit capek aja."
Naruto tidak langsung menanggapi. Dia tahu bagaimana seseorang bisa berpura-pura baik-baik saja, meskipun di dalamnya tidak demikian. Dia telah melihat banyak orang yang melakukan itu—termasuk dirinya sendiri di masa lalu.
"Capek karena apa?" tanyanya lagi, nada suaranya tetap ringan, tapi kini ada tekanan halus di dalamnya.
Yuigahama tertawa kecil, tetapi terdengar sedikit dipaksakan. "Kamu ini kayak detektif aja, sih. Aku bilang capek ya capek aja~" Dia mencoba bercanda, tapi Naruto tidak melewatkan bagaimana suaranya sedikit bergetar.
"Yui," Naruto menyebut namanya dengan nada lebih serius, membuat gadis itu berhenti tertawa. "Kamu enggak perlu bohong kalau memang ada yang salah."
Untuk sesaat, ada keheningan di antara mereka. Yuigahama menunduk, tangannya meremas ujung roknya dengan gelisah.
"Naruto..." suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Menurutmu... kalau seseorang selalu ada di sisi orang lain, tapi dia merasa dirinya bukan yang utama... apa yang sebaiknya dia lakukan?"
Naruto tidak langsung menjawab. Dia bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini, tapi dia ingin Yui sendiri yang mengatakannya.
"Apa kamu merasa seperti itu?" tanyanya hati-hati.
Yuigahama tidak langsung menjawab, hanya menghela napas panjang. "Aku enggak tahu..." Dia tersenyum kecil, tapi kali ini senyum itu terasa rapuh. "Mungkin aku cuma terlalu banyak berpikir, ya?"
Naruto menatapnya dengan serius. "Kadang, berpikir itu perlu. Tapi kalau itu menyakitimu, mungkin sudah saatnya kamu berhenti berpura-pura."
Yuigahama terdiam, seolah kata-kata Naruto baru saja menamparnya lembut. Untuk pertama kalinya dalam percakapan ini, dia terlihat benar-benar jujur pada dirinya sendiri.
Naruto tidak memaksanya untuk bicara lebih jauh. Dia hanya menunggu, membiarkan Yui memutuskan sendiri apakah dia ingin berbagi lebih banyak... atau tetap menyimpan semuanya dalam hatinya.
Namun Yuigahama kembali bertanya, "tapi jika tiada solusi atau kepastian mau sampai kapan ini akan berlangsung."
Naruto menghela napas pelan. Dia bisa merasakan beban yang ada di benak Yuigahama, sesuatu yang selama ini mungkin tidak pernah ia ungkapkan secara langsung.
"Kalau tidak ada solusi atau kepastian..." Naruto mengulang pertanyaannya perlahan, seolah menimbang kata-kata yang tepat. "Mungkin kamu harus menciptakan kepastian itu sendiri."
Yuigahama mengangkat wajahnya, sedikit terkejut dengan jawaban Naruto. "Maksudnya?"
Naruto bersandar sedikit ke belakang, menatap langit biru yang terbentang di luar jendela. "Kadang, kalau kita terus menunggu sesuatu berubah dengan sendirinya, kita akan terjebak di tempat yang sama selamanya. Kita berharap keadaan membaik, berharap seseorang akhirnya memahami perasaan kita... tapi kalau kita tidak pernah mengambil langkah pertama, itu hanya akan jadi harapan kosong."
Yuigahama terdiam. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya.
"Jadi... maksudmu aku harus mengambil langkah pertama?" tanyanya dengan suara pelan.
Naruto menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. "Aku hanya menawarkan solusi, bukan memaksamu." Dia kemudian menyilangkan tangan di belakang kepalanya dengan santai. "Tapi kalau kamu merasa tidak bahagia dengan situasi sekarang, setidaknya pikirkan untuk melakukan sesuatu. Jangan biarkan dirimu terus terjebak tanpa arah."
Yuigahama menggigit bibirnya pelan. Ada banyak emosi yang berkecamuk dalam dirinya—keraguan, ketakutan, dan keinginan untuk tetap mempertahankan keadaan seperti sekarang. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lain: dorongan untuk tidak lagi hanya menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.
"Aku akan memikirkannya," ujarnya akhirnya, meski nada suaranya masih ragu.
Naruto mengangguk, tidak berusaha memaksa lebih jauh. "Itu sudah cukup untuk sekarang."
Dan untuk pertama kalinya dalam percakapan ini, Yuigahama mengangkat wajahnya dan tersenyum, meskipun masih ada sedikit kebingungan di baliknya. Tapi setidaknya, sekarang dia tahu bahwa dia tidak harus diam saja—bahwa dia punya pilihan.
Naruto berjalan santai menuju meja Hiratsuka-sensei, menyerahkan lembar tugasnya dengan ekspresi santai seperti biasa. Sensei menerimanya, melirik sekilas isi kertas itu sebelum menyeringai kecil.
"Kau menyelesaikannya lebih cepat dari yang kuduga," katanya, menyandarkan diri di kursinya.
Naruto mengangkat bahu. "Tidak sulit. Aku hanya menuliskan apa yang aku pikirkan."
Hiratsuka mengangguk, lalu menaruh kertas itu di meja. Namun, ketika Naruto hendak berbalik untuk kembali ke kelas, sensei tiba-tiba berbicara.
"Tunggu sebentar."
Naruto berhenti, menoleh dengan sedikit rasa ingin tahu.
Hiratsuka menatapnya dengan mata tajam, tetapi ada sedikit kilatan ketertarikan dalam tatapannya. "Aku mendengar dari Yukinoshita tentang bagaimana klub menangani masalah Hayama."
Naruto tidak segera menanggapi, hanya menunggu apa yang akan dikatakan oleh sensei.
"Menurutmu, apakah solusi Hikigaya itu baik atau buruk?" Hiratsuka bertanya dengan nada serius.
Naruto terdiam sejenak, mengingat kembali kejadian kemarin. Keputusan Hachiman memang menyelesaikan masalah secara efektif—membiarkan Hayama menarik diri dari kelompok, sehingga ketiga temannya tidak lagi harus saling menjatuhkan. Tapi...
"Solusinya efektif," Naruto akhirnya berkata. "Tapi itu bukan solusi yang menyelesaikan akar masalahnya."
Hiratsuka menaikkan alisnya, tertarik. "Oh? Jelaskan."
Naruto menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke meja. "Apa yang Hachiman lakukan memang berhasil dalam jangka pendek. Dia menghilangkan sumber konflik dengan cara yang paling logis—membiarkan mereka tetap berteman tanpa perlu bersaing. Tapi itu bukan solusi yang benar-benar menyelesaikan masalah mereka."
"Kenapa?"
"Karena masalah mereka bukan tentang aturan kelompok tiga orang," Naruto menjawab dengan tenang. "Masalahnya adalah mereka hanya berteman karena Hayama. Tanpa dia, mereka tidak punya alasan untuk tetap bersama. Itu bukan persahabatan sejati, melainkan hubungan yang terbentuk karena eksistensi Hayama di tengah mereka."
Hiratsuka terdiam sejenak, tampaknya mempertimbangkan kata-kata Naruto.
"Dan menurutmu, bagaimana seharusnya masalah itu diselesaikan?" tanyanya.
Naruto berpikir sebentar sebelum menjawab. "Aku tidak bisa memberikan jawaban pasti, karena hubungan manusia tidak sesederhana itu. Tapi jika aku yang menghadapinya, aku akan mencoba membuat mereka menyadari bahwa mereka harus melihat satu sama lain sebagai individu, bukan hanya sebagai bagian dari lingkaran Hayama. Jika mereka tidak bisa berteman tanpa Hayama, maka hubungan mereka memang hanya setipis kertas."
Hiratsuka mendengus kecil, seulas senyum muncul di sudut bibirnya. "Menarik. Jadi menurutmu, Hikigaya hanya mengambil jalan pintas?"
Naruto menggeleng. "Aku tidak menyalahkan Hachiman. Dia memilih cara tercepat untuk menyelesaikan masalah, dan itu berhasil. Tapi apakah itu solusi terbaik? Aku tidak yakin."
Hiratsuka menatapnya dengan mata penuh evaluasi, lalu mengangguk. "Kau punya cara berpikir yang menarik, Naruto. Dan aku suka itu."
Naruto hanya tersenyum kecil.
Sensei lalu bersandar di kursinya dan menyilangkan tangan. "Tapi kau tahu, tidak semua orang ingin mencari solusi ideal. Beberapa orang hanya ingin masalahnya selesai secepat mungkin."
Naruto mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi jika aku bisa memilih, aku ingin mencari solusi yang lebih dari sekadar menyelesaikan masalah di permukaan."
Hiratsuka terdiam beberapa saat, lalu tertawa kecil. "Kau ini... menarik. Baiklah, kembali ke kelas sana. Aku akan menilai tugasmu nanti."
Naruto memberi salam kecil sebelum melangkah keluar, tapi dalam pikirannya, pertanyaan sensei tadi terus bergema. Apakah solusi terbaik selalu yang tercepat dan paling efektif? Ataukah ada nilai lebih dalam mencari jawaban yang lebih dalam, meskipun itu butuh waktu lebih lama?