Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Amukan Naga Merah
Di balik pintu besi yang terkunci, Zilong berdiri tegak di tengah kepungan. Namun, aura biru yang biasanya menenangkan kini mulai bergejolak hebat. Udara di sekelilingnya mendadak terasa panas dan berbau karat—bau darah yang pekat.
Zilong menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya, lalu menatap Pria Topeng Emas dengan tatapan yang tidak lagi manusiawi.
"Ha... sebenarnya aku tidak ingin menggunakan kekuatan terlarang ini karena bisa merusak tubuhku dan membuat sifatku berubah." ucap Zilong dengan suara yang terdengar seperti geraman dua suara yang tumpang tindih. "Tapi tidak apa... aku akan mengalahkanmu dalam beberapa menit."
Tiba-tiba, energi biru keemasan dari esensi jiwanya perlahan berubah warna. Merah pekat, sehitam darah yang mengental, mulai menyelimuti seluruh tubuh dan Tombak Naga Langitnya. Wajah Zilong yang biasanya tenang kini berubah; otot-otot di pelipisnya menonjol, dan sebuah seringai mengerikan muncul di bibirnya.
"Hahaha! Waktunya kau mati!"
Zilong tertawa lepas—sebuah tawa yang membuat para penjaga bertopeng perunggu gemetar ketakutan. Dalam satu hentakan kaki, lantai obsidian di bawahnya hancur berkeping-keping.
SWOOSH!
Zilong menghilang. Detik berikutnya, ia sudah berada di tengah barisan musuh. Gerakannya bukan lagi tarian yang anggun, melainkan terjangan binatang buas yang haus darah.
CRASH! SPLAT!
Tombaknya menebas dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Anggota tubuh para penjaga beterbangan ke udara seperti sampah yang terhempas badai. Zilong tidak lagi hanya menusuk titik saraf; ia menghancurkan apa pun yang dilewatinya. Setiap tebasan meninggalkan jejak uap merah yang membakar udara.
"Monster! Dia monster!" teriak salah satu penjaga sebelum kepalanya terpisah dari bahunya oleh putaran gagang tombak Zilong.
Pria Topeng Emas terbelalak. Ia mencoba menembakkan jarum-jarum beracunnya, namun Zilong hanya mengibaskan tangannya, menciptakan badai Qi merah yang menghancurkan jarum-jarum itu menjadi debu sebelum menyentuhnya.
"Hanya segini?" Zilong sudah berada tepat di depan Pria Topeng Emas. Matanya yang merah menatap tajam ke balik lubang topeng itu. "Kau sombong sekali untuk ukuran seekor ulat!"
Zilong menghantamkan tombaknya dengan kekuatan penuh. Pria Topeng Emas mencoba menangkis dengan belati besarnya, namun senjata itu hancur seketika. Hantaman itu menciptakan ledakan energi merah yang meruntuhkan sebagian langit-langit ruangan bawah tanah tersebut.
Namun, kekuatan itu ada harganya.
Waktu berlalu terlalu cepat. Zilong sudah melampaui batas lima menit yang bisa ditanggung tubuhnya. Energi merah itu mulai memakan balik nadinya.
"Uhuk!"
Zilong mendadak berlutut. Darah segar menyembur dari mulutnya, membasahi lantai. Seringai mengerikannya memudar, digantikan oleh gurat rasa sakit yang luar biasa. Warna merah di tubuhnya perlahan meredup, menyisakan Zilong yang pucat pasi dan sangat rapuh.
"Sial... tubuhku..." bisik Zilong. Pandangannya mulai kabur. Suara teriakan para penjaga yang masih tersisa terdengar jauh, seolah ia berada di bawah air.
Pria Topeng Emas, yang terluka parah akibat ledakan tadi, merangkak bangkit dengan sisa kekuatannya. "Kau... kau hampir membunuhku... tapi sekarang, kau akan mati perlahan!"
Zilong mencoba mengangkat tombaknya, namun tangannya tidak lagi memiliki tenaga. Dunia di sekelilingnya berputar. Detak jantungnya melambat, dan akhirnya, tubuh pendekar tombak itu ambruk sepenuhnya di atas lantai yang dingin. Ia pingsan dalam genangan darahnya sendiri, tepat saat Pria Topeng Emas mengangkat belati cadangannya untuk memberikan serangan terakhir.