Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Iya, Mba! Bentar lagi aku keluar! Sudah dibikinkan minum kan mba?" tanyaku.
"Sudah Neng! Saya kebelakang lagi!" pamit Mba Sinta.
Aku mengambil tas selempang, lalu memasukan ponsel ke dalamnya.
"Bismillah, hanya datang ke seminar bukan untuk di introgasi, Alisha!" ucapku pada diri sendiri.
Entahlah itu sudah menjadi kebiasaanku, berbicara pada diri sendiri untuk mencari keyakinan. Azam pernah menegurku untuk tidak membiasakan itu. Tetapi bagaimana lagi, sudah menjadi kebiasaanku jauh sebelum mengenal dia.
"Mau kemana kak?" aku menoleh ke arah sumber suara.
"Ikut seminar kepenulisan, sha!" jawabku sambil mengunci pintu kamar.
"Sama siapa, Kak?" tanyanya lagi.
"Kak Adam!"
Tepat di akhir aku mengucap KaK Adam, Azam keluar dari kamar. Sekilas aku memandang, mengapa lingkar mata dia begitu terlihat jelas? Susah tidur kah?
Segera aku tepis pikiran yang tak seharusnya ada dipikiranku.
"Kakak pergi dulu, Sha! Sudah di tunggu Kak Adam,"ucapku lalu bergegas pergi.
Darahku berdesir kala berpapasan dengan Azam. Mata itu menatap tajam aku, ada banyak tanya yang diungkapkan dimata itu. Peduli apa lagi aku, sudah cukup membuat kepala ini meledak dengan segala kecamuk yang merajai dada.
"Tante Alisha..." Sila berlari ke arahku memeluk erat kakiku.
"Sila salim dulu, Nak! Biarkan tante Alisha duduk dulu!" tegur kak Adam pada putrinya. Bukannya melepaskan pelukan, Sila semakin mengeratkan pelukannya.
"Nggak apa, Kak! Kita langsung saja. Yah, Alisha pamit dulu, ya!" ucapku pada Ayah.
"Hati-hati, Nak! Jangan lama-lama ada yang mau dibahas nanti sore!" pesan Ayah sebelum aku dan Kak Adam pergi. Sedangkan aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
Mobil Kak Adam melaju dengan lancar, terpaksa aku duduk di depan karena Sila yang meminta. Bocah dua tahun ini entah mengapa malah tertidur.
Berdekatan begini membuat jantungku berdetak tak menentu. Takut jika yang semalam akan menjadi nyata. Berulang kali aku mengucap istigfar untuk meredam gemuruh di dalam dada.
"Kenapa tegang, Alisha?" tanya Kak Adam. Apa wajahku terlihat begitu tegang?
"Nggak apa, Kak!"jawabku singkat.
Aku memilih untuk membuang pandangan ke arah jalanan. Tak bisa aku pungkiri, jika Kak Adam memiliki pesona yang bisa memabukan wanita manapun.
Dering ponsel Kak Adam memecah keheningan diantara kami. Kak Adam mengangkat panggilan tersebut, terlibat obrolan sebentar.
"Acaranya nggak jadi, Alisha! Mendadak ada rapat di sekolah Rizki!" ucap Kak Adam setelah selesai menerima telepon.
"Berarti kita pulang kak!" tanyaku. Mungkin ini lebih baik Allah tidak ridho jika aku pergi dengan Kak Adam hari ini.
"Gimana kalau ke The Great Playgroup, aku udah janji untuk mengajak Sila ke sana! Mau kan, Aisha?"
Deg, hanya kebetulan atau apa Kak Adam mengajak aku ke sana? Tempat itu sama persis di mimpi semalam.
"Kenapa nggak sama mamahnya aja, Kak?" jawabku. Hatiku mengatakan akan terjadi hal buruk, mimpi semalam kenapa jadi momok untukku. Allah, apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?
Kak Adam mempercepat laju mobilnya, ucapannya terdengar ambigu. Entahlah ingin aku mengajukan protes tapi lidahku terlalu kelu untuk mengucapkannya.
"Kakak nggak akan introgasi aku kan?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku.
Kepalaku nyaris kebentur dashboard mobil jika tidak pakai seatbelt karena Kak Adam nge-rem mendadak.
"Kok, pelan! Untuk Sila!"tegurku.
"Introgasi apa Alisha? Bikin kaget saja kamu!"ucap Kak Adam.
Mati kamu Alisha, tak seharusnya keluar pertanyaan itu. Allah, hilangkan aku dari bumi saat ini juga.
Aku tak tahu apa yang ada di skenario, Allah. Saat ini, kakiku berpijak di tempat yang sama dengan orang yang sama. Seperti di dalam mimpi.
Semilir angin memainkan jilbabku. Mataku terpejam meredam gemuruh di dada, Kak Adam entah lelaki itu terdiam sejak tadi. Sila di titipkan pada penjaga wahana permainan. Bocah itu, ah entah aku nggak bisa menuduh dia sekongkol dengan ayahnya.
"Alisha.." ucap Kak Adam lirih.
Aku membuka mataku, dari atas balkon ini di suguhi pemandangan gedung yang berserakan. Membuat kota Cirebon semakin padat.
"Iya kak, ada apa?" tanyaku tak kalah lirih. Jika di mimpi di selimuti ketegangan. Beda saat ini lebih pada keheningan, larut dalam pikiran-pikiran masing-masing baik aku atau Kak Adam.
"Apa yang membuatmu bisa bertahan sampai saat ini, Alisha? Tidak mudah jadi kamu harus serumah dengan mantan orang terdekat yang kini jadi adik ipar?"
Deg, sepeti dejavu. Pertanyaan Kak Adam tak beda dari yang di mimpi. Yang berbeda hanya nada bicara, lebih lembut dan hati-hati saat ini.
"Kenapa kakak tanya itu? Penting bagi kakak?" aku balik bertanya.
Kak Adam mendesah lirih, tatapan dia beralih padaku. Sorot matanya seolah menyampaikan luka yang dalam.
"Aku ingin dengar langsung dari mulutmu, Alisha! Aku tak kaget dengan Azam yang jadi iparmu! Aku sudah tahu lama."
Ucapan Kak Adam sukses membuat aku ternganga. Sudah tahu lama tapi masih bertanya? Mataku menatap tajam Kak Adam, rasa sakit menyelusup ke dalam hatiku.
Sikap aneh Kak Adam saat ini, membuat aku takut jika yang semalam itu memang benar.
"Jika sudah tahu kenapa pura-pura seolah tidak tahu, kak? Apa yang ingin kakak dapat dari penjelasanku?" ucapku setelah lama diam.
"Ketenangan, Alisha! Lima tahun aku diam menahan sendiri rasaku!" ucap Kak Adam.
Aku tak paham dengan yang di ucapkannya. Mimpi semalam memenuhi pikiranku.
"Aku tahu kamu terluka dalam, Alisha! Aku tahu kamu menangis tanpa suara. Butuh dua tahun untuk aku muncul di hadapanmu! Aku kira kamu sudah bahagia. Ternyata aku salah."
Deg, sejauh itu kah Kak Adam tahu tentang aku. Bukankah dia di Amerika lima tahun ini?
"Sania yang memberi tahu aku,"ucap Kak Adam lagi.
Kepalaku terasa berat, tidak mungkin Kak Adam mencintai aku seperti yang di ucapkannya semalam di dalam mimpi.
"Untuk apa kakak kepo di dalam hidup aku?" tanyaku penasaran.
Kak Adam memandang lekat aku mata itu memerah.
"Karena hatiku juga hancur!"jawab Kak Adam dengan suara serak.
Aku kehabisan kata-kata, Kak Adam mengunci mataku dengan pandangan matanya yang sayu. Allah, apa mimpi semalam benar adanya?
"Hancur kenapa, Kak? Kak Adam kan nggak di sini?"tanyaku.
Kak Adam mengambil napas dalam-dalam.
"Hancur karena dalam sehari aku kehilangan dua orang yang aku cinta. Istri juga gadis yang aku cinta."
Deg, tak salah lagi, ucapan Kak Adam percis seperti di mimpi. Tenggorokanku tercekat, susah payah aku menelan saliva.
"Cinta itu terkadang bisa buta, kita hanya memikirkan orang yang kita cinta. Mengapa keputusan yang kita ambil sudah benar dan tepat. Nyatanya tidak, hanya membuat hati kita sakit dan keadaan semakin rumit."