Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keyakinan Sekaligus Keraguan
"Saya bisa aja masukin kalian ke daftar blacklist biar kalian nggak bisa masuk lagi ke mall ini" Security yang sedang menghadap kedua laki-laki yang duduk di depannya itu terlihat kesal.
Mereka berdua kini kompak menutup mulut, menolak menjawab apapun yang di tanyakan oleh petugas keamanan mall tersebut.
"Ini gimana?! Mau beneran di masukin blacklist?!" Geramnya sembari memukul meja. Namun mereka tetap bergeming.
Yang satu hanya menatap tembok di sampingnya, sedangkan yang satu lebih memilih melipat tangan sembari melayangkan pandangan menantang kepada security.
Tentu bisa di bayangkan bukan siapa yang bertindak arogan di tengah situasi ini?
"Kamu nantangin saya?!" Petugas itu membentak.
"Gak ada takut-takutnya!" Saut petugas yang lain ikut kesal.
"Sombong banget jadi orang" Yang lain pun ikut menambahi.
Dari jauh suara mereka yang sedang menegur keras terdengar. Kantor security yang terletak di lantai basement itu tentu saja sepi, dan membuat suaranya semakin menggema.
Hara tidak henti-hentinya menghela napas kasar, dan semakin sering saat mendengar suara bentakan petugas tersebut.
Menilik dari kekesalan mereka, dia tau siapa penyebabnya. Itu pasti Kama.
Nael seperti dirinya, tidak ingin menjadi pusat perhatian dan lebih memilih menjauhi masalah. Jadi Hara tau, pasti saat ini Nael lebih memilih bungkam dan membiarkan masalah ini hingga akhirnya petugas-petugas tersebut menyuruhnya pergi.
Sedangkan Kama? Menurut pengamatan Hara yang baru sebentar mengenalnya. Dia adalah tipe spontan dalam berbuat apapun. Dan sangat meledak-ledak.
"Mimpi apa gue harus berurusan sama orang seperti itu" Gerutu Hara yang kesulitan membawa dua tas ransel di pundaknya. Miliknya dan milik Nael.
"Liat aja mereka berdua!" Geramnya kesal, langkahnya semakin cepat menuju kantor security yang ada di pojok tempat parkir.
"Maaf pak" Hara yang baru saja masuk langsung menyambar. Dengan kesal dia menghampiri meja petugas.
"Kami damai, kalau mau di blacklist silahkan saja, tapi urusan kami sudah selesai sampai disini, kami tidak ingin memperpanjang lagi" Jelas Hara dengan tegas.
"Bukan begitu mbak" Pak security dengan kumis tebal berwajah sangat itu sedikit melunak.
Bagaimana pun itu hanya gertak sambal belaka, mana mungkin dia memasukkan mereka bertiga ke daftar blacklist hanya karena saling melayangkan hantaman sekali saja.
Butuh masalah yang lebih berat lagi, misal mencuri, menipu atau meneror yang bisa mengancam keselamatan seluruh pengunjung mall barulah pihak mall akan mengeluarkan acc itu memasukkan wajah mereka ke daftar blacklist.
"Nggak pak!" Hara memungkasi omongan petugas tersebut.
"Blacklist kita dari mall ini, kalau bisa selamanya" Lanjutnya tegas.
Lalu dengan kasar menyodorkan tas ransel milik Nael.
"Udah selesai berarti kan pak? Saya mau pamit dulu, terima kasih" Tanpa ampun Hara terus saja melayangkan kekesalannya.
"Ra"
"Bae"
Hara masih bisa mendengar suara-suara yang memanggilnya, dengan kursi berderak yang kasar mereka segera melompat untuk kemudian berlari kecil menyusul langkah Hara. Keluar dari kantor security.
"Bae"
"Ra"
Mereka berdua sama-sama meraih pergelangan tangan Hara membuat Hara menghentikan langkahnya.
"Bae jangan pergi"
"Ra kita perlu ngomong" Suara mereka saling saut menyaut, sama-sama tak ingin mengalah.
Hara menghela napas kasarnya lagi, saat ini tubuhnya sedang di tarik dari kedua sisi.
"Bae" Kama memasang wajah melas andalannya, kini dia tau cara menghadapi Hara adalah dengan wajah memelas.
"Kita perlu ngomong" Sedangkan Nael lebih memilih menghadapi Hara dengan suara tegas memerintah. Untuknya, yang sudah-sudah Hara pasti akan takluk.
Karena menurutnya Hara adalah tipe orang yang suka mengalah dan tak ingin meributkan masalah-masalah kecil. Menunjukkan sisi dominan akan lebih menguntungkan jika berhadapan dengan orang seperti itu.
"Lepas" Suara Hara lebih ke mendecih malas.
"Bae..." Kama masih konsisten memelas dan merengek, tapi semakin mengeratkan pegangannya pada pergelangan tangan Hara.
"Nggak!" Nada suara Nael naik satu oktaf, dia juga semakin mengeratkan genggamannya.
"Kamu pilih aku atau dia?" Nael menantang.
Hara yang sudah sangat jengah dengan keadaannya ini hanya diam saja, tak ingin menguras energinya lebih banyak lagi.
Dia memejamkan matanya, otaknya sudah tidak ingin lagi memikirkan solusi apa yang terbaik untuk mereka bertiga, tapi lebih ke bagaimana caranya dirinya pergi meninggalkan mereka berdua.
"Nael tolong lepas" Hara memohon dengan lirih kepada Nael.
"Nggak sebelum dia pergi" Nael kembali menunjukkan dominannya, sorot matanya mengatakan bahwa dia sama sekali tidak berniat mundur apapun yang terjadi.
"Pak tolong..." Hara juga memohon kepada Kama. Tapi Kama tidak menjawab, hanya diam menatap wajah Hara yang jengah. Tapi Hara bisa melihat persamaan mereka berdua.
Mereka jelas tidak mau mengalah saat ini.
Hara kembali menoleh ke arah Nael, dengannya Hara sudah tidak punya apa-apa lagi untuk di bahas, hubungan mereka telah berakhir.
Dia menoleh ke arah Kama, dengannya malah lebih tidak ada lagi yang untuk di bahas, hubungan mereka bahkan telah di ikrarkan sebagai no drama.
"Nael kita bicara sepuluh menit" Hara akhirnya memutuskan.
"Bae?" Kama melayangkan protes tak terimanya.
"Pak Kama kita bicara nanti-
"Lima menit atau nggak sama sekali" Potong Kama tegas, tidak ingin tawar menawar.
"Oke" Hara menghela napas pasrah. Yang terpenting adalah mereka semua berpisah dari keadaan tak menyenangkan ini.
Kama melepas genggaman tangannya dan pergi menjauh, memberikan ruang pada Nael dan Hara untuk berbicara.
"Kamu ada apa sama dia?!" Tuntut Nael begitu Kama sudah tidak terlihat lagi.
"Nggak ada apa-apa" Jawab Hara datar. Semua emosi yang sedang membuncah di dadanya saat ini lebih baik tidak dia ungkapkan atau akan berakhir buruk.
"Lo kira gue buta-"
Ini dia puncak masalahnya, saat Nael sudah tidak ber-aku kamu lagi, di situlah mereka akan saling adu argumen, saling tuduh dengan suara melengking.
"-Mana ada cewek cowok nggak ada apa-apa main peluk-peluk begitu?!"
"Deng-"
"Lo tuh bener-bener udah keganjenan!"
"Ak-"
"Apa?! Lo mau pamer kalau sekarang lo udah jadi kayak cewek-cewek kota besar gitu?!"
"..."
"Mentang-mentang udah sukses, udah jadi assmen, jadi sok sekarang gitu?!"
"...."
"Inceran lo sekarang jadi bos-bos gitu, udah keliatan sifat asli lo sekarang, cewek matre, pantes aja gue mohon-mohon buat lo pindah agama nggak mau, ternyata masalahnya bukan agama, tapi duit!"
Hara menghela napas jengah, seperti inilah love hate relationship mereka. Saat mereka bertengkar, Nael akan melemparkan sejuta tuduhan kejam padanya, mau itu masuk akal atau tidak, Nael sama sekali tidak peduli, yang dia pedulikan adalah egonya yang menang dalam pertengkaran mereka.
Hara masih berusaha menahan sabarnya, menunggu Nael memuntahkan semua rasa dongkol di hatinya.
Bukannya tidak pernah terbersit dalam pikirannya untuk balik menyangkal kata-kata Nael, tapi itu hanya akan membuang-buang tenaga saja. Nael tidak menerima kekalahan dan tidak bisa di salahkan. Bukan tanpa alasan Hara selalu mengalah, semua itu dia lakukan karena dia terlalu cinta pada Nael.
Setelah lima menit mengoceh tentang ini itu, akhirnya Nael berhenti, dengan napas yang pendek-pendek dia menatap Hara yang kini sedang menatapnya balik sembari menyilangkan kedua tangannya.
"Udah?" Tanyanya datar.
"Fuck!" Nael membuang muka.
"Pertama, aku dan dia cuma teman. Kedua, bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu malu ngenalin aku ke temen-temen kamu karena aku dari kampung, kamu bilang meskipun aku udah lama di kota besar, tapi sikap ku masih kampungan. Jadi sekarang aku berubah, seperti cewek-cewek kota besar yang kata kamu sekedar pelukan ciuman itu hal yang lumrah, terus kenapa sekarang kamu marah? Ketiga, aku bukan cewek matre dan masalah pindah agama, kenapa nggak kamu aja yang pindah agama? Kenapa harus aku?"
Nael sudah membuka mulutnya, siap untuk kembali bertempur kata-kata dengan Hara, tapi kesabaran Hara sudah habis, dia tidak ingin memperpanjang masalah ini lagi.
"Gue belum selesai ngomong!" Sentak Hara.
Hal itu sukses membuat Nael terdiam syok dengan mata terbelalak. Selama dua tahun mengenal Hara, baru kali ini Hara marah sampai seperti ini.
"Lo sendiri yang bilang kita udah putus, jadi ya udah putus. Kalau lo mau balik lagi, lawan Tuhan lo, pindah agama, baru gue pikir-pikir ulang buat hubungan kita lagi" Ucapnya dengan tegas tanpa memberikan Nael kesempatan untuk menyela.
Hara melihat jam tangannya, "Udah lima menit, gue pergi" Hara berbalik badan dan pergi meninggalkan Nael tanpa menoleh sedikit pun.
Urusan mereka akan kembali bertemu soal pekerjaan di pikir nanti, yang terpenting sekarang mereka berpisah dulu.
"Apa dia seiman sama lo?" Suara Nael membuat Hara menghentikan langkahnya. Sedikit berpikir.
Tapi kemudian Hara memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan Nael dan kembali berjalan menuju Kama.
"Ra jawab!" Nael berteriak karena Hara sudah terlalu jauh darinya.
"Ayo" Hara yang melihat Kama senyum senyum sendiri saat menunggunya itu terus berjalan melewatinya.
"Bae wait me" Suara Kama terdengar riang, merasa dia telah menang setelah mendengar pertengkaran Nael dan Hara tadi.
"Pak Kama-" Tiba-tiba Hara berhenti, membuat Kama yang tidak siap langsung menabrak punggungnya.
"A-apa?" Geragap Kama ragu-ragu, takut kalau ekspresi girangnya tadi juga berimbas dan membuat Hara marah padanya.
"Bapak islam kan?" Tanya Hara dengan tegas.
"T-tiba-tiba?" Kama semakin geragapan, kenapa jadi mendadak membahas agama.
"Iya atau nggak?" Suara Hara yang menuntut semakin tegas.
"T-terakhir lihat KTP sih k-kayaknya i-iya" Kama menggaruk belakang kepalanya, tidak yakin dengan jawaban yang di berikan, apakah sesuai dengan keinginan Hara atau tidak.
"Ya udah" Suara Hara terdengar lega dan kembali berjalan lagi.
"Bae tunggu" Kama mengejar Hara dan langsung melingkarkan lengannya di pundak Hara.
Menilik dari sikap Hara saat ini, sepertinya dia tidak akan marah dengannya. Dan ekspresi Hara sudah kembali normal.
Kenapa jadi tanya soal agama?
Pikiran itu masih mengusik Kama, tapi dia tidak ingin memikirkannya lebih jauh lagi. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana menghabiskan waktu bersama Hara dan membuat mood mereka kembali baik setelah insiden tadi.
...****************...
"Sial, sial, sial!!" Nael mengumpat tak henti-hentinya sembari memukul setir mobilnya.
Bukan ini yang dia harapkan dari hubungannya dengan Hara.
Hanya saja Nael tidak menyangka jika Hara pada akhirnya akan melawan balik seperti tadi.
Nael menyandarkan punggung dan memejamkan mata, menyesal sedalam-dalamnya karena telah memperlakukan Hara seperti itu.
"Maafin aku Ra, maaf" Isaknya lirih.
Perang batinnya berkecamuk, dia sangat mencintai Hara tapi juga tak bisa melawan Tuhannya. Sungguh dilema yang menyesakkan dada.
Mau di lihat dari segi apapun, sudut manapun, Nael merasa tidak akan lagi mendapatkan wanita seperti Hara, yang sangat sesuai dengan kriterianya.
"Ra kamu pengennya hubungan kita di bawa kemana?" Tanya Nael kala itu saat sedang kencan makan malam.
"Hmm" Hara mengunyah makanannya sambil berfikir, "lihat besok aja" Jawabnya kemudian sembari tersenyum.
Tapi jawaban Hara yang terkesan santai itu justru menancapkan belati di jantung Nael. Karena sesungguhnya dia telah merancang masa depan bersama Hara, bagaimana mereka menikah, lalu punya anak dan hidup menua bersama.
Tapi rupanya Hara sama sekali tidak memikirkan hal itu.
"Mau ikut ke gereja nggak?" Nael mencoba membujuk Hara secara halus, berharap Hara akan mengubah keyakinannya dan mereka bisa memiliki akhir kisah cinta yang bahagia.
"Banyak kok temen-temen ku yang punya pacar beda agama, tapi akhirnya ceweknya ngalah terus-"
"Nael aku kenyang banget, gak muat lagi perutku" Ucap Hara sembari mendorong piringnya maju.
"O-oh g-gitu? Mau pergi kemana lagi?" Tanya Nael gelagapan, sadar jika topik masalah keyakinan di antara mereka sangat sangat sensitif. Dia bukannya tidak menyadari bahwa Hara jelas menolak ide gilanya untuk pindah keyakinan, tapi tetap saja dia tidak ingin menyerah.
Berharap suatu saat keajaiban datang menghampirinya.
Lalu di saat yang lain, saat Nael beralasan dia masih ada urusan di gereja dan meminta Hara untuk menjemputnya di sana.
"Nggak papa kamu selesain aja urusan kamu di situ, aku bisa nunggu kok" Terlihat jelas bahwa Hara menolak semua yang berhubungan dengan masalah perbedaan keyakinan mereka.
Dan saat merayakan natal, Nael memintanya untuk meluangkan waktunya sebentar saja untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Maaf ya El, aku bener-bener nggak bisa, ini hari pertama aku period. Sakit punggungnya ampun-ampunan deh" Tolaknya lagi kala itu. Memang Hara menolak semua ajakan Nael secara halus dan sopan, tapi tetap saja itu membuatnya sakit hati.
Dia merasa bahwa selama ini hanya dirinya yang selalu berusaha berjuang demi hubungan mereka, selalu berusaha mencari cara agar mereka bisa selamanya. Tapi Hara malah sebaliknya, dia secara tegas membangun batas yang tidak bisa mereka lewati.
Pun saat Nael berusaha mencari tau perasaan Hara dan membuatnya cemburu, Hara tetap bergeming.
"Di gereja aku ada jemaat baru Ra, katanya dia baru aja pindah agama. Anaknya cantik, baik, sopan, temen-temen aku banyak yang berebut buat bisa kenalan sama dia"
"Oh gitu?" Di luar prediksi Hara malah hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan cerita Nael, tidak terlihat sedikitpun ekspresi cemburu atau waspada di wajahnya.
"Tapi dia malah ngajakin aku kenalan lebih dulu" Nael sedikit membumbui ceritanya lebih jauh.
"Terus?" Hara tetap saja terlihat santai.
"Ya gimana masak aku tolak, cuma mau kenalan doang, kesannya aku sombong banget kan kalau nolak"
"Iya jangan" Hara juga mengangguk santai menanggapi.
"Jangan apa?" Nael mengerutkan keningnya.
"Jangan nolak, ntar di kira sombong. Banyak temen itu bagus, nambah koneksi" Hara malah memberikan saran yang membuat Nael tersenyum kecut.
Nael tau bahwa Hara pasti akan melepaskannya secara sukarela jika suatu saat Nael bilang telah menemukan gadis baik-baik yang seiman. Dan pasti Hara akan mendoakan kebahagiaan untuknya, tapi bukan itu yang dia harapkan.
Masalah perhatian layaknya pasangan, Nael tidak pernah kekurangan itu, masalah kencan, Hara tidak pernah menolak meskipun dia sendiri tau bahwa Hara sangat sibuk.
Namun tetap saja, setelah semua pengorbanan Hara, rasa sakitnya membayangkan akhir dari hubungan mereka tetap membuatnya tercekik.
Hingga akhirnya dia sering hilang kendali dan mudah marah, dan saat ini malah membuat hubungan mereka kandas.
"Gue harus gimana Ra, harus gimana?" Raungnya di sela isak tangisnya.
"Gue nggak bisa tanpa lo, gue nggak mau kalau bukan lo"
Cukup lama Nael mengatur emosinya di dalam mobil, menenangkan diri dari himpitan-himpitan kenangannya bersama Hara.
"Tuhan, kenapa kau jahat banget! Kenapa kirim malaikat buat aku, yang jelas-jelas nggak akan bisa aku raih" Rintihnya pelan.
Hatinya di penuhi dengan keyakinan sekaligus keraguan.
Aku kira terpuji lah apa,ada" aja si pak Kama 😁😁😁
Hari ini adem ayem pak Kama nya
pindah kos aja deh, biar nggak ngabisin tenaga ketemu org seperti Edward dan bapak kos,sok ngatur
oh,Nisa naksir sama Nael ya🤔🤔🤔
nggak sabar nih nungguin kelanjutan mereka di pos security 😁😁😁😁😁
Sudah ku duga olahraga malam, olahraga yang sesungguhnya 🤣🤣🤣🤣...
puas banget lihat pak Kama di kerjain Hara😂😂😂😂
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁