Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Hanya Perduli Kamu
"Kita jadi menemui adik-adikku Tuan?" tanyaku memastikan, setelah melihat waktu sudah menunjukan pukul 22:10 di ponselku.
"Sesuai janjiku," singkat tuan Bimo tanpa menoleh padaku. Pria itu menjalankan mobilnya perlahan meninggalkan basement hotel, beberapa security yang mengenali mobilnya memberi sikap hormat saat kami melewati pos jaga.
"Tapi ini sudah larut Tuan, mereka pasti sudah tertidur," aku masih menatap padanya, hapal jadwal tidur adik-adikku.
"Terserah kamu saja Baby. Aku bukan type orang yang suka menunda. Dan aku tidak janji kalau besok, lusa, atau seterusnya kamu bisa bertemu adikmu."
Aku mendengus, tiga hari bersamanya sudah membuatku cukup hapal sikap pemaksaannya.
"Apa yang kamu lakukan?" tuan Bimo menoleh sekilas padaku, saat melihat pergerakanku yang akan melepas pengunci kalung berlian dari leherku.
"Saya tidak bisa berpenampilan seperti ini, orang-orang disana pasti akan berpikir aneh tentang saya Tuan," sahutku, berusaha melepas pengunci yang terasa sulit dibuka.
Ciiiit!
Aku terkaget, tubuhku sempat maju beberapa senti kedepan, lalu kembali terhempas pada sandaran kabin dibelakangku dengan bantuan sabuk pengaman yang menahan tubuhku.
Bukan hanya decitan ban mobil tuan Bimo yang membuat ngilu indera pendengaranku, tapi ramainya bunyi klakson para pengendara lain karena tuan Bimo yang berhenti tiba-tiba ditengah keramian lalu lintas kota.
"Sekalian saja lepas gaunmu didepanku, aku tidak keberatan jadi penontonmu," sarkasnya, menatap tajam padaku.
"Tuan, sebaiknya kita jalan sekarang," cemasku, suara klakson diluar sana makin intens dan tidak terkendali, para pengendara mengumpat kasar.
"Aku tidak perduli! Aku hanya perduli pada apa yang akan kamu lakukan!" pekik tuan Bimo.
Cemas, panik, malu, tegang, bercampur jadi satu dalam diriku. Bagaimana tidak? Manusia antik disampingku ini sama sekali tidak memperdulikan situasi diluar yang sudah tidak kondusif, sampai polisi lalu lintas menghampiri kami dan mengetok kaca jendela mobil.
"Selamat malam tuan Bimo, ada masalah dengan mobil anda?" tanya pak polisi sopan, melirik sebentar kearahku dari balik kaca mobil yang hanya beberapa senti diturunkan.
Ingin aku berteriak meminta tolong, tapi cepat ku urungkan niatku itu. Hukum itu tajam kebawah tapi tumpul keatas, ancaman tuan Bimo itu terngiang dalam ingatanku, apalagi aku melihat betapa hormatnya petugas itu. Dan aku tidak yakin, setelah melawannya lagi, aku dan adik-adikku akan selamat.
"Maafkan saya Pak, sedikit lagi saya bisa mengatasinya. Bila berkenan, tolong Bapak arahkan lalu lintasnya ke jalur alternatif untuk sementara."
"Baiklah Tuan."
Kulihat petugas itu menjauh dan berdiri dibelakang mobil tuan Bimo, memberi isyarat dengan bantuan tongkat sorot reflektor pada para pengendara yang mandek dibelakang kami, setelah memastikan kendaraan-kendaraan yang lain beralu dengan aman.
"Masih mau melepas perhiasan yang aku berikan?" tuan Bimo membuyarkan atensiku pada pak polisi.
"Maafkan saya Tuan, saya tidak akan melepasnya tanpa seizin Tuan," ucapku pelan, menahan kedongkolan dalam dadaku.
"Bagus, aku anggap kamu sudah mengerti posisimu sekarang," ungkapnya.
"Dan panggil aku Daddy, bukan Tuan," tegasnya lagi.
Setelah membunyikan klakson dan mengeluarkan lambaian tangan pada petugas lalu lintas itu, tuan Bimo langsung melajukan kendaraannya.
Aku tidak berucap sepatah katapun lagi, demikian pula dengannya, sampai kami memasuki pemukiman bersih dan asri, dan aku sudah menduganya, tuan Bimo tahu tempat tinggalku, berhenti tepat didepan gang kecil walau aku tidak memberitahunya.
Waktu sudah menunjukan pukul 23:04. Suasana nampak lengang, aku keluar dari mobil setelah tuan Bimo membuka pintu untukku.
Aku panik saat melihat bangsalan sewaanku gelap gulita. Segera aku membuka gembok dengan anak kunci cadanganku yang selalu aku bawa kemana saja.
"Vino! Vaniza! Kakak datang!" Aku gegas masuk setelah menekan stop kontak disebelah pintu masuk.
Tidak ada sahutan, sampai aku mendorong pintu kamar. Aku mulai menangis melihat kamar yang tertata rapi, tapi tidak ada siapa-siapa didalamnya.
"Kalau mereka tidak ada disini, itu artinya mereka mengungsi di rumah bude Romlah," ucap tuan Bimo berdiri didepan pintu, setelah memperhatikan seluruh sudut ruang bangsalan sewaanku yang sempit.
Aku menatapnya sebentar, lalu bergegas keluar rumah.
"Kamu tidak mengunci pintu? Nanti ada orang yang mencuri barang berhargamu didalam," peringat tuan Bimo. Kali ini aku tidak mendengar nada ejekan darinya, walau aku tahu persis, didalam bangsalan sewaanku ini tidak ada benda berharaga seperti katanya tadi.
"Kearah mana?" tanyanya setelah kami kembali didalam mobilnya.
"Lurus saja kedepan, kurang lebih dua ratus meter dari sini, ada pohon mangga madu dengan cat pagar biru, disitu rumah bude Romlah," jawabku, sebenarnya aku tidak percaya kalau pria ini tidak tahu.
Begitu tiba, aku buru-buru masuk kedalam pagar yang memang tidak dikunci. Cukup lama setelah menekan bel barulah kudengar suara pergerakan anak kunci, pertanda pemilik rumah siap membuka pintu.
"Vi-Vina?"
Seperti yang aku duga, bude Romlah kaget melihatku, menatap gaun indahku, anting-anting, dan kalung berlianku yang berkilau diterpa sinar lampu teras. Dia juga memandang tuan Bimo yang berdiri dibelakangku dengan pancaran curiga.
"Bude, maafkan aku, bertamu tidak kenal waktu, sudah selarut ini," ucapku hati-hati, merasa tak enak.
Bude tersadar.
"Oh, iya. Masuklah Nduk, kamu pasti mencari kedua adikmu kan? Mereka memang ada disini tapi sudah tidur," bude Romlah mundur beberapa langkah kedalam rumahnya, memberi kami ruang untuk ikut masuk.
"Beliau... Tuan Bimo," aku memperkenalkan pria yang bersamaku, menyadari perhatian bude Romlah lebih sering melihat kearah belakangku.
"Silahkan masuk, Tuan. Rumah saya sederhana, harap maklum," bude Romlah tersenyum ramah, namun nada suaranya penuh ketegasan yang tidak tersembunyi.
"Terima kasih, saya pamit sebentar, ada sedikit buah tangan yang akan saya ambil di mobil," selesai mengatakan itu, aku melihat tuan Bimo berbalik, akupun tidak tahu buah tangan seperti apa yang ia bawa.
Aku masuk ditemani bude Romlah yang menunjukan kamar dimana Vino dan Vaniza berada.
Air mataku tumpah ruah, memeluk penuh kerinduan dua adikku yang sedang terlelap dengan wajah polos mereka diranjang empuk.
Bude Romlah pamit, memberi ruang padaku menikmati kebersamaan bersama dua adikku. Sekilas aku melihat tuan Bimo melintas didepan kamar dengan beban dua box di satu pundaknya, sebelum bude Romlah menutup rapat pintu kamar.
...***...
"Letakan saja disini Tuan," Romlah mengarahkan Bimo meletakan dua box yang pria itu bawa dipundaknya pada satu meja disebelah meja makan yang sudah ia pindahkan barang-barang dari atasnya.
"Bolehkah kita bicara Tuan?" tanyanya kemudian setelah pria itu meletakan bebannya.
"Tentu saja Bude. Mohon tunggu sebentar, izinkan saya mengambil dua box lagi yang tersisa di mobil," Bimo tersenyum dengan sikap sopannya.
Romlah mengangguk, menatap pria besar itu berlalu. Ia mendesah pelan, memikirkan beban moral yang harus ditanggung Vina, bila apa yang ia cemaskan memang benar.
Bersambung...✍️
Pesan Moral : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (khusus yang punya kuasa). By : Author : Tenth_ Soldier.
🤣