"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 18
“Aku tidak menuduhmu tanpa alasan! Aku punya bukti, dan saksi!” seru Yoga dengan suara lantang. Tatapannya sengaja dipertajam, penuh tekanan—trik lama untuk mengintimidasi orang kampung.
Tapi sayang, yang dia hadapi bukan orang sembarangan.
Rojali hanya menatap tenang, matanya datar. Seolah sedang mendengar ocehan anak kecil.
“Oke,” ucap Rojali datar. “Apa buktinya?”
Yoga menarik napas, lalu menyodorkan daftar absen. “Kamu semalam tidak masuk kerja. Ada catatannya. Itu bukti pertama.”
Rojali mengangguk pelan. “Lalu?”
Yoga tersenyum licik. “Aku juga punya saksi! Kamu tadi malam terlihat di rumah Harsono. Dan aku tahu kamu orangnya Harsono! Kamu menjual baja itu ke dia, bukan?”
Beberapa orang mulai saling pandang. Tuduhan itu terlalu langsung. Terlalu dibuat-buat.
Rojali mengangkat alis. “Kalau begitu, saya juga bisa menuduh Bapak… dengan logika yang sama.”
“Apa maksud kamu?” suara Yoga mulai meninggi, tak sabar.
“Saya juga punya saksi. Katanya semalam Bapak tidak ada di proyek… dan terlihat di rumah Ibu Yohana.”
“Jadi kalau pakai logika Bapak, artinya Bapaklah yang menjual baja ke Ibu Yohana.”
Rojali memang pandai menarik sesuatu bisa saja Rojali membawa nama orang lain, tapi Rojali membawa nama Yohana, mungkin Yohana hanya akan menganggap masalah ini sepele, kehilangan beberapa baja beton baginya tidak masalah tapi kehilangan integritas itu adalah hal yang penting.
Sikapnya sudah mulai berubah matanya mulai menatap dua orang yang saling tuduh.
“Kurang ajar kamu! Jangan bawa-bawa nama Ibu Yohana!” bentak Yoga, panik.
Tapi Rojali tetap kalem. Tangannya bersedekap. “Loh, bukankah tadi Bapak yang mulai menuduh saya hanya karena saya tidak ada di lokasi dan terlihat di tempat lain? Kalau logika itu berlaku untuk saya… kenapa tidak untuk Bapak juga?”
Yohana menoleh pelan, wajahnya tidak menunjukkan emosi—tapi matanya berbinar penuh minat.
“Cukup!” Yoga mencoba mengambil alih situasi, tapi kalimat berikutnya membuat ruangan makin panas.
“Aku punya saksi!” suara Bagas tiba-tiba terdengar dari pintu.
Seorang pria berbadan besar masuk. Seragam pekerja proyek masih melekat di tubuhnya. Wajahnya penuh percaya diri seolah telah menyiapkan pidato semalaman.
"Kemarin malam, dia ada di rumah Harsono," ucap pria itu—Andika—dengan nada tenang, namun penuh tuduhan.
"Kita semua tahu Harsono adalah penguasa desa ini. Dia tidak suka dengan proyek ini, makanya selalu berusaha mengacau. Dan sekarang, dia berhasil menyusupkan Rojali ke dalam proyek kita."
Yoga langsung menyambar. "Ternyata kamu bukan hanya mencuri, tapi juga bersekongkol dengan Harsono untuk menggagalkan proyek ini!"
Suasana tegang. Tatapan semua orang tertuju pada Rojali.
Tapi Rojali? Dia hanya tersenyum tipis, manis… santai.
Senyuman itu membuat Yoga semakin terbakar amarah. Wajahnya memerah.
"Permainan Anda terlalu murahan, Bos," ucap Rojali kalem.
"Dan sayangnya… saya tahu siapa dalang semua kekacauan ini."
Yoga melotot. "Apa maksudmu?"
Rojali melangkah pelan, tetap tenang. Suaranya kini lebih rendah, tapi jelas—dan tajam.
"Mulai dari isu hantu jadi-jadian… hilangnya material baja… sampai gangguan misterius lainnya. Saya tahu semua itu bukan kebetulan."
"Saya tahu, kamu dalangnya."
"Kurang ajar!" bentak Yoga.
"Kamu sadar nggak kamu sedang berhadapan dengan siapa?! Aku ini keponakan Pak Hermawan, pemilik proyek ini!"
Rojali mendekat. Tatapannya dingin.
"Kalau begitu, aku bantu lengkapi skenario kamu. Dengar baik-baik..."
Yoga terdiam. Semua orang pun ikut diam. Entah kenapa, tiba-tiba mereka lebih tertarik mendengar Rojali daripada Yoga.
"Pertama, kamu buat situasi proyek ini terasa tidak aman. Kamu sebarkan cerita hantu, gangguan mistis, lalu selingi dengan kehilangan barang. Tujuannya, menciptakan tekanan dan kepanikan."
"Kedua, setelah proyek kacau balau, kamu arahkan semua kesalahan ke Bu Yohana. Kamu bilang dia gagal memimpin."
"Ketiga, kamu munculkan diri sebagai penyelamat. Kamu 'menangkap' pencuri yang kamu tuduh-tuduh sejak awal—yaitu saya."
"Lalu kamu naik jabatan, jadi kepala proyek. Nama kamu bersih, saya masuk penjara, dan Bu Yohana terlempar dari jabatan. Skenario yang licik... tapi payah."
"Tuduhanmu terlalu mengada-ada, Rojali!" bentak Yoga, suaranya meninggi, mencoba mempertahankan wibawa. Tapi dalam hati, ia mulai panik—karena skenario yang disusun rapi, satu per satu mulai dibongkar.
Namun Rojali tetap tenang. "Menuduh saya mencuri hanya karena saya terlihat di rumah Harsono… itu alasan yang terlalu lemah, Pak."
Yoga berpaling ke Yohana, berharap dukungan. "Yohana, kamu jangan percaya omongannya. Dia cuma cari-cari celah."
Yohana menatap Yoga datar. "Kamu saudaraku, tentu saja aku percaya padamu…" katanya pelan, tapi penuh tekanan. "Makanya aku akan membuktikan kalau kamu benar."
Tatapannya lalu beralih pada Andika. "Dika, semalam kamu ada di mana?"
Andika agak gugup, tapi menjawab cepat. "Saya di proyek, Bu. Jaga malam."
Yohana mengangguk. Lalu pertanyaannya berubah, aneh dan mengejutkan:
"Ruang penyimpanan barang ada di mana?"
Andika sempat heran. Setiap hari Yohana datang dan memeriksa sendiri gudang, kenapa hari ini tanya hal sepele? Tapi ia pikir Yohana hanya sedang menguji.
"Di sebelah barat, Bu. Ujung proyek, dekat pagar timur," jawabnya mantap.
Yohana mengangguk pelan.
"Sekarang… stok baja beton ada berapa?"
"Dua ratus lembar, Bu."
"Yang hilang berapa?"
"Dua puluh lembar."
"Ok terimakasih"
Yohana berbalik menghadap Rojali, matanya tajam, penuh penilaian.
“Kamu tahu di mana letak gudang penyimpanan barang?” tanyanya tenang.
Rojali menjawab jujur, tanpa ragu. “Ini hari pertama saya kerja. Saya ditugaskan di pintu gerbang, jadi saya belum dikasih tahu letak gudang.”
Yohana mengangguk pelan, lalu lanjut bertanya, “Kamu tahu ada berapa baja beton kita di proyek ini?”
Rojali menggeleng. “Bentuknya aja saya belum tahu, Bu. Apalagi jumlahnya.”
Jawaban itu membuat Yoga mendengus kesal. “Pertanyaan macam apa itu, Yohana?! Buang-buang waktu!”
Yohana tetap tenang. Ia memainkan pensil di tangannya, seperti menunggu sesuatu.
“Aku juga bingung,” katanya santai, tapi nadanya menyimpan makna. “Padahal CCTV yang aku pasang semalam tidak aktif. Aneh sekali. Padahal yang tahu kode akses cuma aku… dan kamu, Yoga.”
Yoga menegang. Ekspresinya berubah sesaat, tapi cepat dikendalikannya.
“Itu tidak ada hubungannya dengan masalah ini,” elaknya cepat. “Sekarang fokus saja ke pencurinya!”
Ruangan menjadi sunyi. Semua orang menahan napas.
Andika menyeringai tipis. Ia yakin Rojali akan dipecat, dan dirinya akan naik jabatan jadi kepala gudang. Semua tinggal menunggu perintah Yoga.
Lalu, Yoga bersuara lantang. “Sudah cukup, Yohana! Kita harus ambil keputusan. Rojali ini biang masalah. Dia harus dipecat sekarang juga!”
Tapi Yohana hanya menatapnya datar. “Memecat seseorang tidak bisa sembarangan. Ayahku, pemilik proyek ini, paling tidak suka aku berlaku tidak adil.”
Yoga menggertakkan gigi, menahan emosi. Dalam hati, ia mendesis:
"Ular betina ini… ternyata tidak sepolos yang kukira. Tapi kamu tidak akan lolos dari jebakanku. Semua sudah kusiapkan."
Sementara itu, Andika masih tersenyum. Dalam pikirannya, sebentar lagi uang dari Yoga akan cair. Dan dirinya akan mendapatkan posisi penting yang selama ini hanya bisa ia impikan.
"Yohana, cepat putuskan! Jangan berlarut-larut!" desak Yoga, nadanya mendesak seperti jerat yang perlahan mengunci.
Keputusan apapun akan menguntungkan Yoga.
Jika Yohana memecat Rojali karena pencurian, maka nama Harsono otomatis terseret. Dan jika itu terjadi, Harsono pasti akan membalas—mengguncang proyek ini dengan kekuatan dan koneksi yang dimilikinya.
Namun jika Yohana tak memecat Rojali, Yoga tinggal melaporkan ke Hermawan bahwa Yohana tidak kompeten. Hasilnya? Posisi Yohana akan digoyang.
Perang tak terlihat sedang berlangsung di balik meja rapat.
"Aku putuskan… akan mengambil jalur hukum. Semua bentuk pencurian harus dilaporkan ke polisi… untuk memberi efek jera," ucap Yohana, tenang namun menggetarkan.
Ia berhenti sejenak, menatap satu per satu wajah yang mulai tegang.
Yoga menahan senyum. Dalam hati, ia bersorak. Ini sesuai rencananya—masuk jalur hukum berarti proyek akan tertahan. Harsono, dengan bekingan pemerintah, akan jadi badai besar yang menghantam semua.
Namun kalimat Yohana berikutnya menghentikan semua napas di ruangan itu.
"Dan aku putuskan… pencurinya adalah kamu, Dika."
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu