Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.
Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.
Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.
Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.
Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20: di lembah kematian
Langkah.
Langkah.
Langkah-langkah kaki Anggota Nol mengguncang tanah.
Mereka berlari cepat, melintasi hutan yang mulai terbuka. Rimbunnya pepohonan semakin jarang, dan udara mulai terasa lebih basah, lebih berat, penuh dengan energi aneh—campuran antara kekuatan buas dan tekanan sihir tingkat tinggi.
Di depan mereka terbentang sebuah danau luas, dikelilingi oleh tebing curam dan kabut tipis. Cahaya dari langit redup tertutup awan gelap, dan suara gelegar terdengar dari tengah danau. Ombak besar menghantam daratan di pinggir.
Arx menghentikan langkah.
Mata tajamnya menatap ke tengah danau.
“Betul kan… ada yang ganjil di sini.”
Mereka semua mematung, berdiri berbaris seperti barisan eksekutor. Aura dari ketujuhnya begitu pekat hingga udara seakan berhenti mengalir.
Di tengah danau, terjadi pertempuran besar.
Seekor Leviathan raksasa—berbentuk seperti naga laut purba, tubuhnya panjang berlapis sisik biru kehitaman, memiliki sayap air yang terus mengalir dari punggungnya—sedang bertarung melawan ular raksasa yang keluar dari darat.
Ular itu memiliki mata merah menyala, tubuh gelap dengan kulit kasar berlapis duri. Gerakannya cepat, meski sebesar gunung kecil. Ia terus mencoba menggigit tubuh Leviathan dari samping.
“Keduanya makhluk kelas bencana… tapi yang satu ini, Leviathan, adalah target kita,” ucap Neira, mata fokus meneliti pergerakan.
Suara ledakan air terdengar keras.
Leviathan menghantam air dengan ekornya. Air menyembur ke langit, menciptakan gelombang tekanan yang terasa bahkan hingga ke posisi mereka.
Zeth membuka gulungan kecil dari jubahnya.
“Energi Leviathan tak stabil. Dia belum sepenuhnya bangun… mungkin sedang mempertahankan wilayahnya dari ular itu.”
Ivar mencengkeram kapaknya kuat.
“Kalau kita tunggu, mereka saling bunuh. Tapi kalau kita intervensi sekarang—kita bisa menjinakkannya lebih cepat.”
Lia melangkah maju, siaga.
“Kalau ular itu membunuh Leviathan, kita kehilangan target. Jangan biarkan itu terjadi.”
Mereka berdiri berbaris.
Diam, namun tekanan dari masing-masing tubuh mereka seperti badai yang dikurung. Suara detakan jantung pun hampir tak terdengar karena derasnya suara pertempuran di depan.
...
Pertempuran Hebat di Danau Leviathan
Leviathan menyembur air dari mulutnya, berubah jadi tombak air raksasa yang menembus tubuh ular, membuat luka lebar. Tapi ular itu malah marah, berputar cepat lalu membelit tubuh Leviathan, mencoba menenggelamkannya.
Kedua monster itu seperti dewa dan iblis kuno yang sedang menghancurkan langit dan bumi.
Lia memejamkan mata, lalu berkata:
“Kita butuh dua menit. Biarkan aku siapkan segel pengikat mental. Tapi aku butuh gangguan untuk musuhnya.”
Neira melirik ke Ivar.
“Ivar, Arx, kalian ganggu ular itu. Jangan bunuh—cukup alihkan.”
“Tch. Gampang.”
Ivar tersenyum, lalu melompat ke depan bersama Arx, seperti peluru melesat.
Tanpa aba-aba, tanah di bawah kaki mereka retak karena tekanan.
Ivar melompat tinggi, lalu menghantam udara dengan kapaknya. Gelombang tekanan membelah udara dan menghantam sisi kepala ular, membuatnya meraung keras.
“GRAAAAAH!!!”
Arx menjejakkan kaki di permukaan air, meluncur cepat di atasnya seperti berjalan di darat. Tangannya memegang dua bilah pedang pendek—lalu ia mulai menyayat tubuh ular di sisi perutnya, menciptakan luka demi luka yang memerah di antara sisik-sisik tebalnya.
Ular raksasa itu melepaskan cengkeramannya dari Leviathan dan mengalihkan perhatian ke kedua manusia kecil yang menyakitinya.
Leviathan bebas.
Namun tak bergerak. Ia menatap ke arah kelompok Anggota Nol… matanya seperti mencoba mengingat sesuatu.
Lia berdiri di tengah formasi.
Ia mengangkat tangannya, membentuk lingkaran cahaya biru yang mengelilingi tubuhnya. Suaranya bergetar lembut, namun penuh kekuatan.
“O Leviathan, jiwa alam terdalam…
Dengan ikatan ini, biarlah kekacauanmu tertidur…
Biarlah amarahmu mereda…
Biarlah kamu mengenal siapa majikanmu…”
Gulungan cahaya mulai terjalin di udara.
Sementara itu, Zeth membaca mantra kuno dari kitabnya.
Energi menyatu di udara, membentuk lingkaran sihir besar di atas danau.
Neira bersiap dengan busur hitamnya, membidik ular yang mulai menyerang balik Ivar.
“Terlalu agresif…”
ZWHUT!
Anak panah sihir melesat, mengenai mata ular, membuatnya mengamuk tak karuan.
Ivar tertawa lepas sambil berputar dan menghantam perut ular dengan kapak bercahaya.
“Hahaha! Satu lawan satu dong! Jangan panggil Leviathan-nya!”
Arx bergerak cepat di antara air, menciptakan kilatan cahaya tiap kali ia bergerak.
Serangan cepatnya membuat ular itu terus kehilangan keseimbangan.
Mata Leviathan bersinar.
Ia mengangkat tubuhnya perlahan, lalu menatap Lia yang tengah menyelesaikan segel terakhir.
Lia membuka mata.
“Sekarang.”
Cahaya biru dari sihirnya menyelimuti tubuh Leviathan.
Makhluk itu menggeram, namun tubuhnya mulai tenang. Sisik-sisiknya tak lagi bersinar liar, dan air di danau mulai mereda.
Leviathan mulai membungkuk perlahan—sebuah bentuk penundukan.
“Segel selesai,” kata Lia, kelelahan namun puas.
Ular raksasa mencoba menyerang lagi, tapi Ivar menahannya dengan satu tebasan energi penuh sihir, menghancurkan bagian kepala ular hingga tubuhnya runtuh ke air, mati.
Suasana menjadi sunyi.
Anggota Nol berdiri di tepian danau, menatap Leviathan yang kini diam, jinak, dan tak lagi mengamuk.
Neira melangkah ke depan.
“Misi berhasil. Leviathan sudah bisa dibawa.”
Zeth menutup kitabnya.
“Masih butuh perintah dari Tuan Zastro. Tapi setidaknya… tahap pertama selesai.”
Mereka semua menatap makhluk besar yang kini diam di tengah danau...
Portal besar bercahaya biru terbuka di depan Arx...
Tangan kanannya menjulur ke depan, telapak menghadap ke udara. Riak energi membentuk pusaran, lalu berkembang menjadi gerbang besar berbentuk oval yang menyala.
“Kita kembali,” ucap Arx dingin.
Satu per satu, Anggota Nol melangkah masuk ke dalamnya.
Ivar masih mengunyah sesuatu sambil masuk ke dalam portal.
“Kapan kita bisa bunuh monster lain kayak tadi lagi?”
Lia menoleh sebelum masuk, menatap Danau Leviathan untuk terakhir kali. Leviathan kini diam, kembali ke dalam air, tidak menunjukkan niat permusuhan.
“Tugas awal selesai… tinggal tunggu perintah baru dari Tuan Zastro.”
Portal menghisap mereka masuk. Dalam sekejap, semua Anggota Nol lenyap.
Gerbang biru perlahan menyusut, menghilang tanpa suara, menyisakan udara tenang dan danau sunyi.
Di sisi lain…
Jauh dari tempat itu, di balik hutan rimbun dan semak belukar,
Oiko masih tertidur di atas rumput hijau.
Posisinya terlentang, satu tangan di dada, wajahnya tenang seolah tak ada kekacauan di dunia.
Di sampingnya, Rinya mungil masih tertidur, meringkuk seperti anak kucing.
Mikami duduk tidak jauh dari mereka, sambil menusuk daging di atas api kecil. Asap tipis mengepul, aroma daging panggang menyebar menggoda.
Sizu lahap memakan potongan daging tusuk.
Mulutnya belepotan, tangan kanan masih memegang tusukan berikutnya.
“Sizu... bisa pelan-pelan nggak?” Mikami melirik heran.
Sizu hanya mengangguk ringan tanpa berhenti mengunyah.
“Laper. Dagingnya enak.”
Mikami menoleh ke arah Oiko.
“Oiko… bangun! Udah matang ini!”
Oiko tetap diam. Sedikit gerakan hanya terjadi pada alisnya yang berkedut.
“Oiko!!”
Mikami mengguncang tubuhnya. Oiko akhirnya membuka matanya perlahan, menatap langit yang sedikit redup di antara celah daun pohon.
“Hmm… eh? Udah siang?”
Matanya masih berat, suaranya serak karena baru bangun.
Mikami menunjuk ke arah api unggun.
“Tuh, makanan udah jadi. Kau kira kami masak buat siapa?”
Oiko bangun setengah duduk, mengucek mata. Lalu matanya menangkap Sizu yang masih menikmati tusukan daging, ekspresi puas.
“Kau sejak kapan memanggang itu…?” tanya Oiko heran.
Mikami tertawa pelan.
“Bukan aku. Itu si Sizu. Dia tadi nangkap sendiri banteng humanoid di balik semak.”
Oiko memalingkan wajah ke arah yang ditunjuk Mikami.
Di kejauhan, tampak bangkai banteng humanoid besar terbelah dua—separuh tubuh bagian atas tercerai dari bagian bawah. Masih ada darah menetes dari rerumputan sekitarnya.
Mata Oiko menyipit.
Ia mendesah panjang.
“Ah… wajar. Dia naga.”
Ia lalu rebah kembali, menutup matanya dengan punggung tangan.
Namun belum sampai satu menit, Mikami mengguncang bahunya lagi.
“Oiko! Bangun, jangan tidur lagi!”
“Aduh, iya iya…” Oiko duduk tegak, menguap panjang.
Lalu berdiri, menepuk pakaiannya dari debu dan daun kering.
Ia melangkah ke samping, lalu berlutut di dekat Rinya, yang masih tidur dengan tenang. Posisi tubuhnya menggulung, kuping mungilnya sedikit berkedut karena tiupan angin.
“Rinya,” bisik Oiko pelan.
Rinya tak bergerak.
“Rinyaa…” Oiko menyentuh bahunya lembut.
Akhirnya mata Rinya bergerak sedikit. Perlahan terbuka… kemudian dia menatap wajah Oiko dengan pandangan kosong.
“Uhh… pagi?” gumam Rinya sambil duduk perlahan.
Kepalanya sedikit miring, matanya masih setengah mengantuk.
Oiko tersenyum ringan.
“Udah siang. Mau makan?”
Rinya menatap sekeliling, lalu mencium aroma daging.
Perutnya bunyi pelan.
“...Iya.”
Ia mengangguk sambil mengusap matanya dengan punggung tangan.
Mikami menyerahkan tusukan daging pada Oiko, lalu Oiko memberikannya pada Rinya. Rinya memegangnya dengan dua tangan, lalu menggigit pelan.
“Enak,” ucapnya pelan.
Sizu mendekat, membawa tusukan berikutnya.
“Ini juga. Bagian paha belakang, lembut.”
Rinya menerima dengan tatapan polos, lalu makan pelan-pelan.
Oiko duduk bersila, mengamati mereka sambil menghela napas.
“Ini aneh… kita seperti sedang piknik… padahal barusan kita hampir mati beberapa kali.”
Mikami duduk di sebelahnya.
“Kadang, waktu damai itu datang tanpa permisi. Nikmatin aja.”
Angin sepoi-sepoi bertiup dari arah utara.
Suara burung terdengar samar dari balik dedaunan. Cahaya matahari menembus di antara celah pepohonan, menciptakan garis-garis cahaya hangat yang menari-nari di permukaan tanah.
Oiko menatap ke arah langit.
“Tapi aku ngerasa… sesuatu sedang terjadi. Jauh dari sini…”
Mikami ikut memandang ke atas.
“Kau juga ngerasa?”
Sizu berhenti makan sesaat.
“Angin berubah. Udara terasa… aneh.”
Rinya menatap mereka satu per satu, lalu melanjutkan makannya dengan wajah bingung.
Oiko berdiri perlahan.
Ia memandangi arah timur, jauh ke balik pegunungan.
“Entah kenapa… aku yakin… kita akan segera bertemu dengan mereka yang jauh lebih kuat dari apapun yang kita lawan selama ini.”
Mikami ikut berdiri.
“Dan kali ini… gak ada tempat buat kabur.”
Angin berhenti sejenak...