Hidup Naura sudah berantakan, semakin berantakan lagi ketika ia diperkosa dan diharuskan menikah dengan brandalan bernama Regan Januar. Kejadian mengerikan itu terpaksa membuat Naura mengundurkan diri dari pekerjaannya, berhenti kuliah, dan berbohong kepada ibu dan sahabatnya. Tidak ada ekspektasi berlebih dengan pernikahan yang didasari dengan alasan menyedihkan seperti itu. Namun, apakah pernikahan mereka akan berjalan baik-baik saja? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon macarhd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maafkan Naura, Bu
Regan sudah turun, dan mau tidak mau Naura juga harus ikut menurunkan dirinya dari mobil itu. dengan perasaan resah, dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, dengan kaki yang juga ikut gemetar, Naura berusaha menguatkan dirinya untuk menghadapi sesuatu yang sebentar lagi akan terjadi.
Naura masih belum menemukan kata-kata yang tepat untuk dibicarakan kepada ibunya. Jangankan menceritakan kejadian mengerikan yang telah menimpa hidupnya, bahkan sampai detik ini Naura belum menghubungi ibunya kembali setelah menghilang tiga hari waktu lalu. Iya, Naura tidak sanggup mendengar suara cemas ibunya.
Setelah turun dari mobil, Naura menatap Regan sebentar yang juga tengah melakukan hal yang sama. Laki-laki itu menatapnya entah dengan tatapan apa, terlihat seperti orang yang tengah kebingungan, sama seperti dirinya.
Tidak mau membuang-buang waktu-karena Naura sadar-meski menghindar sekalipun ia tetap akan melewati momen menyedihkan itu. dengan sekali tarikan napas, ia berjalan menuju pintu dan berhenti tepat di depannya. Diikuti Regan juga dari belakang. Dengan penuh keraguan, Naura juga mulai mengetuk pintu dengan jari tangannya, sampai tiga kali ketukan, tapi belum juga ada jawaban di sana.
Ke mana ibunya?
Apakah masih mengerjakan pekerjaannya?
Naura kembali mengangkat tangan, namun belum sampai ia mengetuk pintu itu, pintunya sudah terbuka dari dalam, dan Naura melihat seorang perempuan yang kini tengah tersenyum kepadanya. Ibunya. Wanita yang sudah melahirkannya ke dunia. Berdiri sembari melihatnya dengan tatapan penuh dengan kerinduan. Sedangkan untuk melihat itu, mata Naura sudah mulai memanas di tempatnya.
Tidak, bahkan Naura tidak kuat melihat raut wajah ibunya sekarang.
"Naura, Sayang? Kamu kenapa nggak bilang kalau mau pulang?"
Naura menyambut pelukan hangat ibunya yang baru saja bersuara itu. Menenggelamkan kepalanya di bahu, dengan tangan yang memeluknya dengan erat. Tanpa bisa ditahan lagi, buliran air mata berjatuhan dari pelupuk matanya. Naura menggigit bibir bawahnya ketika merasa suara isakkan akan terdengar dari mulutnya. Tidak, ibunya tidak boleh melihatnya seperti ini.
Naura segera menghapus air matanya ketika merasa pelukan itu akan segera berakhir. Dengan penuh percaya diri ia menarik kedua sudut bibirnya, menatap ibunya yang tengah melakukan hal yang sama. Bahkan, senyum tulusnya terlihat lebih lebar dari senyumnya.
"Kamu dengan siapa?" tanya Mayang- wanita berumur lima puluh dua-yang tidak lain merupakan ibu dari Naura Calista.
Naura menoleh menatap Regan kemudian kembali menatap ibunya. "Dia... Regan, Bu. Nanti Naura jelaskan."
Mayang menoleh menatap Regan yang juga tengah menatapnya. Ia tersenyum ketika laki-laki itu melemparkan senyum kepadanya.
"Saya Regan, Tante," ucap Regan seraya mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Mayang.
Mayang mengangguk seraya tersenyum. Setelahnya dia mempersilakan Naura dan Regan untuk masuk dan duduk di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar saja.
"Aduh, maaf, ya, Nak Regan, harus duduk di bawah," tutur Mayang dengan wajah sungkan.
Regan yang merasa tidak enak, tersenyum kecil seraya mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Tante," balasnya.
Naura dan Regan sudah mendudukkan tubuhnya di sana, dengan posisi saling berdekatan. Sedangkan Mayang pamit ke belakang sebentar, akan menyiapkan minuman katanya.
Demi apa pun, Naura benar-benar gugup sekarang. Lebih gugup ketika berbicara di depan Tessa, mamanya Regan. Ia bingung harus mulai dari mana ketika ibunya bertanya nanti. Datang membawa seorang laki-laki seperti ini, tentu akan membuat ibunya bertanya-tanya, bukan? Terlebih, ini yang pertama kali.
Naura tidak tahu ia tidak sempat bertanya juga mengenai siapa yang akan menjelaskan kepada ibunya nanti. Namun, sudah pasti dirinya, bukan? Tidak mungkin kalau Regan yang akan melakukan hal itu. Meski berpikir demikian, dalam lubuk hati Naura yang paling dalam, ia sangat berharap kalau laki-laki yang tengah duduk di sampingnya itu akan membantu dirinya untuk menjelaskan kepada ibunya nanti. Syukur-syukur kalau dia yang mengambil alih semuanya.
Selama beberapa menit, tidak ada perbincangan di antara dua manusia itu. Sampai Mayang kembali datang dengan nampan yang berisikan dua gelas minuman di sana. Minuman yang dilihat dari kejauhan saja sudah bisa ditebak jenisnya. Teh Manis, minuman sederhana yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Sebenarnya Naura ingin meminta jenis lain, mengingat tamu yang ia bawa mungkin tidak suka dengan jenis minuman itu. Namun, tidak ia lakukan lantaran bibirnya yang terasa kaku untuk mengucapkan sesuatu.
"Silakan diminum, Nak Regan," ucap Mayang seraya men-letakan dua gelas the manis di hadapan Regan dan Naura, anaknya. Setelah itu, ia ikut mendudukkan tubuhnya di sana, dengan senyum yang masih menghiasi bibir, menunggu sesuatu yang katanya akan dijelaskan oleh anaknya.
"Kalau kamu kasih kabar dulu, mungkin Ibu bisa siapin yang lebih daripada ini, Naura."
Mendengar ucapan ibunya barusan, Naura tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Nggak usah repot-repot, Bu. Ini mendadak, Naura juga nggak ada niatan pulang tadinya." 66
Melihat ada yang aneh dalam perbincangan juga sikap dari ibu dan anak itu? Iya, Naura dan ibunya memang tidak sedekat ibu dan anak yang lainnya. Bahkan dalam cara bicaranya saja seperti bukan seorang anak dan ibu. Terkesan seperti orang asing yang baru bertemu setelah berpisah dalam waktu yang cukup lama. Entah karena apa, mungkin karena jarang bertemu, atau ada alasan lain kenapa keduanya bisa seperti itu.
"Terus, ada apa sampai kamu pulang jauh-jauh ke sini? Padahal sepertinya kamu tengah sibuk-sibuknya dengan urusan kuliah sampai telepon dari Ibu aja tidak kamu angkat."
Akhirnya, Naura mendengar pertanyaan itu juga. Ia belum memberikan tanda-tanda untuk menjawab, kepalanya masih berpikir keras mencari kata-kata yang paling tepat. Terlebih, di sini ia harus menjelaskan dua perkara. Alasan kenapa ia tidak mengangkat telepon ibunya, dan alasan kenapa ia bisa pulang dan datang bersama seorang laki-laki ke hadapan ibunya.
Siapapun... tolong bantu Naura sekarang. Ia benar-benar kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa.
Hingga ketika kepalanya sudah menemukan kata-kata yang semoga saja tepat, Naura mulai menarik napas panjang sebagai persiapan. Namun, belum sempat ia mengeluarkan suaranya, suara Regan sudah lebih dulu terdengar di sini.
"Jadi gini, Tante, sebelumnya saya mau minta maaf karena datang dengan Naura tanpa kabar seperti ini. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan kepada, Tante, dan... sebelum mengatakannya, saya juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya meski kemungkinan maaf itu tidak akan saya dapatkan."
Satu sisi, Naura merasa lega karena ternyata Regan telah berbaik hati untuk ikut menjelaskan kepada ibunya, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa duduk dengan tenang. Jantungnya berdegup cepat, deg-degan dengan tanggapan ibunya. Kira-kira, setelah mendengar semuanya, ibunya akan bagaimana?
Terlepas dari itu, hati Naura sedikit terenyuh dengan permintaan maaf yang Regan ucapkan kepada ibunya. Meski ia belum mendengar laki-laki itu meminta maaf kepada dirinya secara langsung, Naura tetap salut untuk itu.
Benar kata orang, sebenci apa pun, hati perempuan memang gampang luluhnya.
Berbeda dengan Naura yang hanya menunduk, Mayang tersenyum ragu di tempatnya. Bingung dengan apa yang diucapkan oleh Regan barusan. "Ini kenapa, ya, kok, Ibu jadi bingung?" tanyanya.
"Tante, sebentar lagi saya akan menikahi Naura, anak tante."
Ucapan spontan yang terdengar lancang bagi Mayang, tapi bagi Naura justru terdengar penuh dengan keberanian. Naura yang menunduk, mencoba mendongakkan kepalanya, melihat ekspresi wajah ibunya dan ingin mendengar bagaimana respons wanita itu. Sedangkan Regan hanya diam saja dengan raut wajah yang entah apa artinya.
Dia ... seperti tidak merasa ragu, gugup, apalagi takut. Tidak terlihat sama sekali. Membuat Naura merasa aneh sekaligus kagum di waktu yang bersamaan.
Naura dengan wajah penasaran, Regan dengan wajah penuh keberanian, dan Mayang dengan wajah terkejutnya. Dia mengerutkan kening dengan bola mata yang melihat Naura dan Regan secara bergantian. "Kalian serius?"
Hanya Regan yang bersuara di sana, tapi Mayang ikut memastikannya kepada Naura.
"Serius, Tante," jawab Regan.
"Tapi, kan, Naura masih kuliah. Terlebih, apakah kalian sudah saling mengenal satu sama lain sebelumnya? Menikah bukan perkara yang mudah, harus sama-sama siap."
Sepertinya, ibunya salah paham. Dia mengira kalau pernikahan itu akan dilakukan atas kemauan dan ketersediaan satu sama lain. Padahal, kenyataannya bukan seperti itu. Kalau bukan karena hamil, Naura dan Regan juga tidak akan menikah dalam waktu dekat, apalagi dadakan seperti ini.
Naura menoleh menatap Regan yang terlihat bingung dengan balasan dari ibunya. Laki-laki itu memang belum selesai bicara, tapi ibunya sudah memberi respons yang tak terduga.
"Kalian sudah berapa lama pacaran?" tanya Mayang, membuat dua manusia yang ada di hadapannya saling melempar tatapan satu sama lain. "Apakah kalian sudah memikirkannya dengan matang?"
"Bu," sambung Naura. Tidak mau kalau ibunya harus salah paham dengan apa yang diucapkan oleh Regan sebelumnya.
Sebenarnya ini bisa saja menjadi kesempatan Naura untuk membohongi ibunya. Di mana ia akan mengatakan kalau mereka-ia dan Regan- sudah lama berpacaran dan sudah mantap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Ibunya tidak akan tahu kalau alasan kenapa ia akan menikah dalam waktu dekat adalah karena dirinya yang sudah terlanjur mengandung anak dari seorang Regan. Selama ia tutup mulut, ibunya akan tetap menyangka hal-hal baik kepadanya.
Namun, apakah Naura harus sejahat itu?
Apakah itu akan baik ke depannya?
Serapat apa pun ia menyembunyikan kebohongan, sudah pasti akan terbongkar di kemudian hari, bukan? Yang mana itu malah akan membuat semuanya semakin runyam.
"Kenapa, Naura?" balas Mayang.
"Sebenarnya... bukan itu alasan kami menikah. Aku sama Regan belum saling mengenal dengan dekat, apalagi pacaran." Naura melanjutkan ucapannya. Meski memiliki kesempatan, ia tidak mau kalau harus kembali membohongi ibunya. Meski menyakitkan, lebih baik tetap jujur, bukan?
"Lalu apa?" raut wajah Mayang mulai berubah. Menatap Naura dengan wajah serius, berbeda dengan sebelumnya yang terlihat lebih santai.
Mendengar ucapan ibunya yang sudah dengan nada bicara yang beda, Naura menelan ludah susah payah. Ia berdeham panjang, merasa takut untuk mengucapkan kata-kata selanjutnya.
"Alasan kenapa kami akan menikah dalam waktu dekat adalah karena Naura yang sudah hamil mengandung anak saya, Tante."
Naura belum siap, tapi Regan sudah mengatakannya. Karena sudah terlanjur terucap, naura memberanikan diri untuk mendongak dan melihat bagaimana tanggapan dari ibunya.
Dan bisa Naura lihat bagaimana ibunya sekarang. Menatapnya dengan tatapan yang sudah bukan terkejut lagi, tapi tatapan yang menandakan kekecewaan yang mendalam. Kepalanya menggeleng kecil, mungkin tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Tidak hanya itu, bahkan pelupuk matanya sudah tergenang air mata yang siap berjatuhan kapan saja.
Ibu... maafkan Naura.
lebih milih orang lain dari pada anak keluarga nya