Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Dua Cincin, Satu Kehilangan
...“Ada orang yang kembali ke sebuah tempat,...
...tapi tidak pernah benar-benar pulang.”...
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Akademi Militer, Raska belum pernah benar-benar keluar. Bukan karena tidak boleh. Melainkan karena ia memilih tinggal.
Saat taruna lain pulang saat cuti, ia tetap di barak. Saat nama-nama disebut untuk izin keluar, ia mengajukan diri sebagai yang berjaga.
Bukan karena tak punya rumah. Melainkan karena ia tak lagi tahu ke mana kata pulang harus diarahkan.
Maka ketika akhir tingkat empat tiba, ketika izin keluar bukan lagi kemewahan, melainkan hak, Raska tidak menuju rumah lamanya. Tidak ke apartemen kosongnya. Dan tidak pula ke rumah Nata.
Ia memilih satu tempat yang masih terasa netral.
Sebuah restoran.
Restoran itu berdiri anggun di sudut jalan utama. Lampu temaram, jendela kaca besar, dan aroma masakan yang menguar bahkan sebelum pintu dibuka.
Begitu pintu di dorong, bel berdenting pelan. Dan untuk sepersekian detik, waktu seperti tersendat.
Seorang pria bertubuh tegap masuk dengan kemeja polos warna gelap. Lengannya digulung rapi hingga siku. Jam tangan sederhana melingkar di pergelangan. Rambutnya rapi, rahangnya tegas, posturnya lurus tanpa perlu dibuat-buat.
Tak berseragam. Namun aura militernya melekat tanpa izin.
Raska.
Beberapa pengunjung menoleh. Seorang pelayan berhenti melangkah.
Dua karyawan lama saling berpandangan, ragu, menahan napas.
“Eh…” salah satu dari mereka berbisik. “Itu…?”
“Kayaknya…”
“Gila. Beda banget.”
Empat tahun cukup untuk mengubah seorang anak muda menjadi pria yang nyaris tak bisa dikenali.
Raska tidak memperhatikan tatapan-tatapan itu. Langkahnya mantap, terarah. Seolah ia tahu betul ke mana harus pergi. Dan memang tahu.
Begitu melewati meja resepsionis, seorang manajer baru hendak menyapa.
“Maaf, Pak—”
“Saya ke private room,” kata Raska singkat, suaranya rendah tapi jelas.
Manajer itu terdiam. Ada sesuatu dalam nada itu yang membuatnya otomatis mengangguk.
“Iya, Pak. Silakan.”
Raska melangkah pergi. Dan di belakangnya, bisik-bisik mulai bergulir pelan.
“Pemiliknya ya?”
“Yang katanya masuk militer itu?”
“Empat tahun nggak kelihatan…”
Di balik pintu private room, tawa bahagia terdengar.
“Gila, gue masih nggak percaya,” Asep terkekeh sambil mengangkat ponsel, layar menampilkan foto wisudanya. “Gue, Asep! Anak juragan empang yang dulu cuma ngerti omzet sama target, sekarang resmi S1.”
Ia menepuk dadanya sendiri. “Kuliah sambil ngurus usaha yang awalnya gue bahkan nggak paham? Ini pencapaian besar, sumpah.”
Vicky menyeringai sambil menyandarkan tubuh di kursi. “Yaelah. Jangan lebay. Kita emang kerja keras, Sep. Kalau hasilnya nggak ada, justru aneh.”
Ia menyesap minumnya. “Lagipula, gelar doang mah nggak bikin lo langsung pinter. Yang bikin lo pinter itu jatuh-bangun di lapangan.”
Gayus membetulkan kacamatanya, suaranya lebih tenang. “Secara teoritis, itu ada benarnya.”
Ia menautkan jari. “Belajar sambil praktik langsung justru mempercepat pematangan konsep. Apa yang kita dapat di kelas, langsung diuji di dunia nyata. Itu kenapa usaha kita bisa bertahan.”
Pintu terbuka.
Dan obrolan mereka langsung terhenti.
Vicky yang paling dekat dengan pintu refleks berdiri. Matanya membesar.
“Raska?”
Gayus ikut bangkit tanpa sadar, napasnya tertahan.
“…Serius?”
Asep menoleh, butuh satu detik penuh sebelum berdiri.
“Buset…”
Ia menunjuk Raska. “Ras? Ini… ini beneran lo?”
Raska berdiri di ambang pintu. Kemeja lengan digulung rapi, bahu tegap, tatapan tenang. Wajah yang sama, tapi dengan aura yang benar-benar berbeda.
Ia mengangguk kecil. “Selamat,” katanya singkat. “Kalian lulus.”
Hening satu detik.
Lalu—
“ANJ*NG!”
Asep langsung menerjang, menarik Raska ke pelukan keras tanpa basa-basi. “Empat tahun, Ras! Empat tahun lo gak pulang!”
Vicky menyusul, menepuk bahu Raska dengan senyum setengah tak percaya.
“Gue kira lo beneran nggak bakal keluar dari sarang elang itu.” Ia melirik dari ujung rambut sampai sepatu. “Dan… sial. Lo makin jadi.”
Gayus tersenyum lebar, lebih tertahan tapi tulus. “Secara statistik, peluang lo muncul hari ini tuh kecil.”
Ia menggeleng pelan. “Tapi ternyata kejutan memang nggak bisa dihitung.”
Raska duduk.
Dan entah kenapa, ruangan terasa langsung penuh hanya oleh keberadaannya.
Pelayan masuk dan mendekat dengan ragu. “Minumnya, Pak…?”
Raska menoleh singkat. “Air putih.”
Nada suaranya tenang, datar. Tapi saat ia mengangkat wajah, pelayan itu sempat terpaku sepersekian detik terlalu lama.
Rahang tegas, bahu bidang di balik kemeja yang lengannya tergulung rapi. Bukan tipe tampan yang dibuat-buat, lebih ke sosok pria yang membuat orang otomatis merapikan sikap.
“Oh—i-iya, Pak,” katanya cepat, sedikit gugup, lalu berbalik dengan langkah terburu.
Asep menyandarkan diri di kursi, menatap Raska dari ujung kepala sampai kaki, terkekeh kecil.
“Lo berubah, Ras.”
Ia lalu menoleh ke arah pelayan yang hampir keluar.
“Mbak! Sekalian jus jeruk dingin satu ya. Yang gede.”
Pelayan mengangguk cepat dari balik pintu.
Raska hanya melirik Asep sekilas. Tak menyangkal. Tak membenarkan.
Vicky menimpali ringan, tapi tajam, “Bukan berubah doang. Lo kelihatan kayak orang yang udah nemuin sesuatu… atau kehilangan sesuatu.”
Gayus tak ikut bercanda. Ia menatap Raska lebih lama, lalu berkata pelan, “Empat tahun tanpa pulang, tanpa jeda, tanpa distraksi… itu bukan hal kecil.”
Raska menatap meja sebentar. Lalu mengangguk.
“Iya.”
Tak ada penjelasan lanjutan. Dan mereka tak bertanya. Karena beberapa hal memang tak perlu diucapkan.
Di luar private room, para karyawan lama akhirnya saling berbisik dengan napas tertahan.
“Itu… dia, 'kan?”
“Pemilik restoran ini?”
“Yang dulu masih SMA itu…”
Kini, pria itu telah kembali.
Bukan sebagai pewaris. Bukan sebagai anak siapa pun. Tapi sebagai seseorang yang akhirnya berani melangkah keluar,
untuk pertama kalinya.
Pintu ruangan privat kembali terbuka.
Pelayan muncul dengan nampan di kedua tangan, air mineral dan segelas jus jeruk. Langkahnya ragu sejak awal. Tatapannya beberapa kali meleset ke arah Raska, terlalu lama untuk disebut profesional, terlalu singkat untuk disembunyikan. Rahang tegas, bahu bidang yang tertutup kemeja gelap, aura tenang yang membuat ruang terasa menyempit di sekelilingnya.
Dan kemudian—
Kakinya terantuk sudut sofa.
“Akh—!”
Nampan oleng. Gelas melayang.
Refleks Raska bekerja lebih cepat dari pikiran. Satu tangan menangkap gelas air sebelum jatuh, tangan lainnya menahan tubuh pelayan yang terhuyung ke arahnya. Namun satu gelas tak sempat terselamatkan.
Plak.
Jus jeruk tumpah, membentur dada Raska, merembes di kemejanya.
Ruangan membeku.
“Ya Allah... maaf, Pak! Maaf banget!” Pelayan panik, wajahnya pucat, tangan gemetar.
“Gak apa-apa,” kata Raska tenang. Ia memastikan pelayan berdiri stabil sebelum melepasnya. “Hati-hati.”
Asep melongo setengah detik, lalu tertawa kecil. “Refleks lo makin edan, Ras. Kayak bodyguard presiden.”
Vicky mengangkat alis, menyeringai tipis. “Atau mantan atlet yang sadar kamera.”
Gayus menyesuaikan kacamatanya. “Respons motorik cepat seperti itu biasanya hasil dari latihan berulang dan kontrol stres yang baik.”
Pelayan menunduk berulang kali, hampir menangis. “Maaf, Pak. Saya… saya ambilkan lap—”
“Gak usah,” potong Raska lembut. “Saya bereskan sendiri.”
Pelayan mundur cepat, masih mencuri satu pandang terakhir sebelum keluar.
Raska berdiri. Tangannya membuka kancing kemeja yang basah.
Satu.
Dua.
Tiga.
Asep berhenti bernapas. “Anj— Ras…” suaranya turun. “Gue resmi minder.”
Perut Raska terbuka, tegas, berlekuk jelas, bukan pamer, tapi hasil latihan yang panjang.
Vicky mendecak pelan. “Oke. Gue cabut status playboy sok laku gue. Gak ada apa-apanya.”
Gayus mengangguk serius. “Itu bukan sekadar estetika. Komposisi otot dan lemaknya seimbang. Tubuh yang terawat dengan konsisten.”
Namun komentar mereka terhenti perlahan. Mata mereka bertiga tertuju pada satu hal lain.
Kalung di leher Raska.
Bandul kecil. Dua cincin yang saling terkait.
Hening kembali turun.
Dan kali ini, lebih berat.
...🔸🔸🔸...
...“Yang paling berat bukan kehilangan,...
...tapi bertahan pada sesuatu yang tak pernah pergi.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏