Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Dilema Penyelamat
Angin Terra bertiup membawa aroma karat dan debu kristal yang menyesakkan paru-paru. Di bawah remang fajar yang masih malu-malu, Kaelan berdiri di puncak bukit batu yang menghadap langsung ke Altar Tertinggi. Tulang-tulang di dalam tubuhnya tidak lagi berderit lemah seperti dulu; setiap gerakan kecil kini menghasilkan getaran tenaga yang solid, hasil dari evolusi sumsum tulang perak yang telah menyatu sempurna dengan jiwanya.
Di sampingnya, Mina sedang memeriksa sisa perbekalan medis dengan tangan yang sedikit gemetar. Di kejauhan, bayangan Altar Tertinggi berdiri angkuh, dikelilingi oleh ratusan prajurit kasta menengah dari Benua Langit yang mengenakan zirah putih berkilau.
"Mereka sudah memulai ritual pemicunya, Kaelan," bisik Mina, suaranya nyaris hilang ditelan deru angin. "Bara tidak punya banyak waktu. Rantai obsidian itu akan menghisap sisa hidupnya dalam satu jam ke depan."
Kaelan tidak menjawab. Matanya yang kini memiliki kilat perak samar menatap tajam ke arah sosok bertubuh raksasa yang terikat di tengah Altar. Itu Bara. Sahabatnya yang selalu menjadi perisai bagi para budak kini terlihat seperti rongsokan manusia yang dihancurkan oleh arogansi para Elf.
"Ambil ini," Kaelan menyodorkan sebuah botol kulit kecil berisi air gunung yang masih dingin. "Bagikan kepada anak-anak di barisan belakang. Pastikan mereka tidak berteriak apa pun yang terjadi."
Mina menerima botol itu, jemarinya menyentuh tangan Kaelan yang terasa sepanas bara api. "Suhu tubuhmu... Kaelan, kau sedang mengalami overheat. Jangan paksa dirimu jika belum stabil."
"Aku sudah stabil, Mina. Ini bukan panas karena demam, ini adalah kemarahan yang akhirnya memiliki tempat untuk berlabuh," Kaelan memegang kapak milik Bara yang ia bawa. Logamnya yang retak seolah bergetar, menantikan saat untuk kembali ke tangan pemiliknya.
Di Benua Langit, di balkon tinggi yang menghadap ke hamparan awan, Lyra Elviana mencengkeram pagar kristal hingga jemarinya memutih. Rasa perih yang tiba-tiba menusuk bahu kirinya membuatnya terkesiap. Ia tahu itu bukan lukanya. Itu adalah sensasi dari panah pengintai yang nyaris menyerempet Kaelan di bawah sana.
"Kau terlihat pucat, Putriku," suara dingin High Lord Valerius terdengar dari balik pintu kaca. "Apakah pemandangan eksekusi seorang budak begitu mengganggu seleramu?"
Lyra membalikkan badan, mencoba menyembunyikan tangannya yang gemetar. "Aku hanya tidak mengerti mengapa Council harus membuang begitu banyak energi Mana hanya untuk satu nyawa rendah, Ayah."
Valerius berjalan mendekat, jubah kebesarannya menyapu lantai dengan suara yang mengancam. "Ini bukan soal nyawa rendah itu. Ini soal martabat. Siapa pun yang berani menyentuh harta milik Elviana, harus dibersihkan hingga ke akarnya. Termasuk tikus yang saat ini sedang bersembunyi di balik bukit batu itu."
Lyra merasakan dadanya sesak. Melalui ikatan resonansi, ia bisa merasakan detak jantung Kaelan yang melambat—tanda bahwa pria itu sedang memasuki mode tempur yang sangat fokus. "Ayah, jika dia datang... apa kau benar-benar akan meledakkan Altar itu?"
Valerius tersenyum tipis, sebuah senyuman yang membuat bulu kuduk Lyra berdiri. "Pangeran Alaric telah menyiapkan perayaan yang meriah. Altar itu bukan hanya tempat eksekusi, tapi jebakan mana terbesar yang pernah dibuat di Terra. Jika Kaelan melangkah masuk, radius satu kilometer akan menjadi abu. Termasuk seluruh budak yang menonton."
"Itu pembantaian!" teriak Lyra, martabatnya sebagai bangsawan Elf seolah runtuh oleh rasa ngeri.
"Itu adalah pembersihan, Lyra. Belajarlah membedakannya."
Kembali ke Terra, Kaelan mulai menuruni lereng dengan langkah yang sangat ringan. Di kepalanya, suara-suara bisikan dari Celah Void mulai terdengar, menawarkan kekuatan instan untuk menghancurkan segalanya. Namun, Kaelan mencengkeram sapu tangan Azure di saku dadanya. Tekstur kain yang kasar dan bau sisa melati dari Lyra menjadi jangkarnya agar tidak menjadi monster.
"Komandan, penjaga di sektor kiri mulai bergerak," lapor salah satu anggota Legiun Karang yang merayap di antara celah batu.
"Tetap di posisi. Jangan gunakan senjata energi. Gunakan kekuatan fisik murni. Kita harus mematikan pemicu ledakan itu sebelum fajar menyingsing sepenuhnya," perintah Kaelan.
Tiba-tiba, suara tawa yang sangat dikenal bergema melalui pengeras suara sihir dari arah Altar. Pangeran Alaric berdiri di sana, dengan pedang cahaya suci yang terhunus di atas leher Bara.
"Kaelan! Aku tahu kau ada di sana, mencium bau tanah dan kotoran seperti biasanya!" seru Alaric. suaranya memantul di dinding-dinding lembah. "Kau punya dua pilihan. Maju sekarang dan lihat sahabatmu meledak bersama ribuan kaummu, atau tetap bersembunyi dan saksikan kepalanya jatuh ke tanah!"
Kaelan berhenti di bayang-bayang pilar besar. Ia melihat ribuan mata budak yang ketakutan menatap ke arahnya. Mereka berharap pada penyelamatan, namun mereka juga takut akan kematian. Inilah dilema yang dirancang Alaric; menghancurkan martabat Kaelan di depan orang-orang yang ia lindungi.
"Bara..." bisik Kaelan lirih.
Melalui jarak yang cukup jauh, Bara yang kepalanya terkulai perlahan mengangkat wajahnya. Matanya yang bengkak mencari sosok Kaelan. Ketika mata mereka bertemu, Bara tidak meminta tolong. Ia hanya menggelengkan kepalanya perlahan, memberikan isyarat agar Kaelan pergi dan tidak terjebak dalam perangkap ini.
"Maaf, kawan," gumam Kaelan dengan rahang mengeras hingga urat-urat di lehernya menonjol. "Aku tidak pernah suka pilihan yang diberikan orang lain."
Kaelan menutup matanya sejenak. Ia merasakan resonansi dari Lyra menguat. Gadis itu mengirimkan memori tentang air gunung yang sejuk melalui jalur batin mereka. Kaelan memanfaatkannya untuk mendinginkan sumsum tulangnya yang mulai membara. Ia mulai memetakan aliran mana di bawah tanah Altar. Ada jalur ketiga. Jalur yang tidak terlihat oleh mata biasa, namun terasa oleh tulang yang telah berevolusi.
"Mina, siapkan ramuan pengikat kelembaban. Aku akan menyerap paksa pemicu ledakan itu ke dalam tubuhku sendiri," kata Kaelan melalui alat komunikasi kecil.
"Kau gila? Itu energi mana mentah! Tulangmu bisa hancur berkeping-keping!"
"Tulangku sudah pernah hancur sekali, Mina. Dan kali ini, mereka sudah menjadi jauh lebih kuat," balas Kaelan dengan nada dingin yang mematikan.
Ia melesat keluar dari bayang-bayang. Bukan menuju Alaric, melainkan menghantamkan tangannya langsung ke tanah di titik pusat sirkuit pemicu. Brak! Tanah di sekitar Altar retak, dan cahaya merah pemicu ledakan mulai tersedot masuk ke dalam lengan Kaelan, merambat naik menuju tulang bahunya.
"Apa yang dia lakukan?!" teriak Alaric, wajahnya yang tampan berubah menjadi kedok penuh kebencian. "Panah sihir! Tembak dia sekarang!"
Hujan panah cahaya meluncur dari langit-langit Altar. Di Benua Langit, Lyra menjerit tertahan saat ia merasakan sensasi tertusuk ribuan jarum panas di sekujur tubuhnya. Ia jatuh berlutut, memuntahkan sedikit darah di lantai marmer ayahnya.
"Kaelan... bertahanlah..." bisik Lyra, air matanya jatuh menghantam lantai, menciptakan percikan energi ungu kecil—tanda bahwa Mata Void-nya mulai bereaksi terhadap penderitaan kekasihnya.
Kaelan meraung saat energi ledakan itu mulai membakar jalur energinya. Kulit lengannya pecah-pecah, mengeluarkan uap panas, namun ia tetap tidak melepaskan genggamannya pada tanah. Ia menatap Alaric dengan mata yang kini sepenuhnya berwarna perak menyala.
"Hanya segini... kekuatan pangeranmu?" tanya Kaelan di sela-sela napasnya yang berat.
Lantai Altar Tertinggi bergetar hebat saat sirkuit mana yang tertanam di bawahnya mulai dipaksa berbelok arah. Kaelan menjadi pusat badai energi; kulit lengannya melepuh, mengeluarkan uap panas yang berbau ozon, namun ia tidak bergeming. Setiap inci tulang di tubuhnya, dari ujung jari hingga tulang belakang, kini berfungsi sebagai kapasitor raksasa yang menampung daya ledak penghancur tersebut.
"Hentikan dia! Sialan, kenapa kalian hanya diam?!" raung Pangeran Alaric. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi urat-urat kemarahan. Ia mengayunkan pedang cahaya sucinya, mengirimkan gelombang tebasan vertikal yang membelah udara.
Kaelan tidak menghindar. Dengan tangan kirinya yang masih terhujam ke tanah, ia mengangkat kapak retak milik Bara dengan tangan kanan. Pang! Benturan antara energi cahaya Alaric dan logam mentah Kaelan menciptakan gelombang kejut yang menghempaskan para ksatria sihir di barisan depan. Kapak itu tidak hancur; sebaliknya, retakan di permukaannya justru menyerap sisa energi panas dari tubuh Kaelan, membuatnya bersinar dengan rona kemerahan yang garang.
"Bara! Sekarang!" teriak Kaelan, suaranya parau karena menahan beban energi di tenggorokannya.
Di atas panggung, Bara yang menyadari celah tersebut menggunakan sisa tenaganya. Rantai obsidian yang mengikatnya telah melemah karena pasokan mana dari Altar sedang disedot habis oleh Kaelan. Dengan raungan yang menggetarkan pilar eksekusi, Bara menyentakkan kedua lengannya. Logam hitam itu pecah menjadi serpihan, menghujam lantai batu dengan denting yang nyaring.
"Martabat kami... tidak untuk kau injak, Pangeran!" Bara menerjang Komandan Theron yang berada paling dekat dengannya, menggunakan tubuh raksasanya sebagai peluru hidup.
Kaelan merasakan titik jenuh di sumsum tulangnya. Suhu tubuhnya mencapai batas kritis. Di Benua Langit, Lyra Elviana mencengkeram dadanya, merasa seolah jantungnya sedang digenggam oleh kepalan tangan besi. Ia bisa mendengar detak jantung Kaelan yang berpacu melalui resonansi jiwanya.
"Ayah, lihatlah," bisik Lyra dengan suara gemetar, matanya yang mulai memancarkan cahaya ungu redup menatap tajam ke arah Valerius. "Kau membangun kekuatanmu di atas rasa takut, tapi dia... dia membangun kekuatannya di atas nyawa yang kau anggap sampah."
Valerius hanya terdiam, rahangnya mengeras saat melihat proyeksi sihir Altar mulai retak dan buram. Kekuatan Kaelan secara tidak sengaja mengganggu frekuensi sihir pemantau milik Council.
Di Terra, fajar akhirnya pecah. Cahaya matahari pertama menyentuh permukaan Altar yang hancur. Kaelan menarik tangannya dari tanah tepat saat sirkuit peledak itu padam sepenuhnya. Energi yang ia serap tidak hilang; itu tersimpan, memadatkan struktur tulangnya menjadi lebih rapat dari sebelumnya. Inilah puncak sejati dari Spark 6 (Iron Bone Marrow)—kemampuan untuk mengasimilasi energi eksternal menjadi massa tulang.
"Mina! Bawa semua orang keluar dari sini!" perintah Kaelan sembari berdiri tegak, meski napasnya mengeluarkan asap tipis.
"Kaelan, kau harus ikut! Pasukan cadangan Alaric akan segera tiba!" teriak Mina yang sudah berhasil membebaskan sebagian besar budak di sektor penonton.
"Aku akan memberikan kalian waktu," Kaelan menatap Alaric yang kini bersiap melakukan serangan susulan. "Komandan Theron, Pangeran Alaric... hari ini kalian tidak hanya kehilangan umpan. Kalian kehilangan rasa takut para budak ini."
Alaric melesat maju, pedangnya memancarkan cahaya membutakan. "Mati kau, sampah!"
Kaelan menyambut serangan itu dengan hantaman kapak Bara. Logam beradu dengan cahaya, menciptakan ledakan statis yang menghancurkan pilar-pilar batu di sekitar mereka. Di tengah kekacauan itu, Kaelan melihat Kaelis—letnan Alaric—berdiri di sudut jauh. Mata mereka bertemu sejenak. Kaelis, yang masih menyimpan beban karena diampuni Kaelan di hutan sebelumnya, tidak melepaskan panahnya. Ia justru menurunkan busurnya, membiarkan kabut tebal yang diciptakan oleh ramuan Mina menyelimuti area tersebut.
Dalam hitungan detik, kabut alkimia yang dingin dan pekat menutup pandangan semua orang. Saat kabut itu tertiup angin beberapa saat kemudian, Altar Tertinggi telah kosong. Bara, Mina, dan seluruh budak telah menghilang ke dalam labirin gua di bawah lembah.
Hanya tersisa Kaelan yang berdiri di kejauhan, di atas tebing yang menghadap ke arah pilar perbatasan. Ia menoleh ke arah langit, seolah tahu bahwa Lyra sedang menatapnya dari atas sana. Ia mengangkat sapu tangan Azure yang kini sedikit menghitam karena panas tubuhnya, lalu menyimpannya kembali di dekat jantungnya.
Beberapa jam kemudian, di sebuah aliran sungai kecil yang tersembunyi, Kaelan mencelupkan lengannya yang melepuh ke dalam air gunung yang sangat dingin. Suara desis air yang bertemu dengan kulit panasnya menjadi satu-satunya bunyi di keheningan itu.
"Bagaimana keadaan Bara?" tanya Kaelan tanpa menoleh saat Mina mendekat.
"Dia selamat. Luka-lukanya dalam, tapi dia akan pulih. Dia terus memanggil namamu, ingin memastikan kau tidak meledak," jawab Mina sembari mulai mengoleskan ramuan herbal ke bahu Kaelan.
Kaelan menghela napas panjang, menatap pantulan dirinya di air sungai. Wajahnya terlihat lebih dewasa, matanya lebih dingin. "Dilema ini hanya permulaan, Mina. Alaric tidak akan berhenti. Dan Benua Langit... mereka akan mengirimkan sesuatu yang lebih buruk dari sekadar pangeran manja."
Mina mengangguk pelan. "Setidaknya hari ini, martabat kita kembali. Mereka tahu manusia bisa melawan."
Kaelan memejamkan mata, merasakan denyut di bahunya mereda saat resonansi dari Lyra berubah menjadi hangat yang menenangkan. Jauh di atas sana, Lyra juga merasakan dinginnya air sungai itu di kulitnya sendiri, sebuah pelukan tanpa sentuhan yang memberikan kekuatan baginya untuk menghadapi murka ayahnya yang sudah menunggu di balik pintu kamar.
Malam itu di Terra, api unggun kecil menyala di tempat persembunyian mereka. Bukan api ketakutan, melainkan api janji bahwa pendakian menuju pilar langit bukan lagi sekadar mimpi buruk, melainkan sebuah rencana yang sudah mulai berjalan.