Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Di dalam kamarnya yang remang-remang, Cheng Xiao tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat pada perutnya. Rasa sakit itu berkali-kali lipat lebih dahsyat dari sebelumnya, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. "Argh!..." erang Cheng Xiao kesakitan, tubuhnya menegang dan bergetar hebat.
"Nona!..." teriak Lian'er panik, matanya membulat saat melihat darah segar mengalir deras dari kaki Cheng Xiao, membasahi lantai kamarnya. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat buruk sedang terjadi pada nona-nya.
"Pengawal!" teriak Lian'er histeris, memanggil para pengawal yang berjaga di depan kamar. Suaranya bergetar dan penuh ketakutan, berharap ada seseorang yang bisa membantu menyelamatkan nona-nya dan calon bayinya.
"Panggilkan tabib cepat! Cepat!" teriak Lian'er lagi dengan nada panik, air mata sudah membasahi wajahnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, selain berteriak meminta pertolongan.
Cheng Xiao sudah tidak berdaya, tubuhnya lemas dan tidak mampu bergerak. Wanita itu terus memegangi perutnya yang sangat-sangat sakit, bahkan lebih sakit dari yang tadi dia rasakan. "Akh!... Lian'er... Ini sangat sakit!..." keluh Cheng Xiao dengan suara terbata-bata, air mata terus mengalir deras membasahi pipinya. Ia merasa seolah-olah nyawanya akan segera dicabut dari tubuhnya.
Tak lama kemudian, beberapa tabib istana datang dengan terburu-buru, wajah mereka tampak panik dan khawatir saat melihat keadaan Cheng Xiao yang sudah sangat buruk. Mereka segera menghampiri Cheng Xiao dan mulai memeriksanya dengan cermat.
"Yang Mulia Putri akan melahirkan prematur," ujar salah seorang tabib istana dengan nada cemas, setelah memeriksa kondisi Cheng Xiao. Kata-kata itu bagaikan petir yang menyambar, membuat semua orang yang ada di dalam kamar itu terkejut dan panik.
Suasana di dalam kamar Cheng Xiao menjadi semakin tegang dan kacau. Para tabib istana dengan sigap mulai menyiapkan segala peralatan yang dibutuhkan untuk membantu proses persalinan prematur. Lian'er terus menggenggam tangan Cheng Xiao erat, mencoba memberikan semangat dan kekuatan.
"Nona, bertahanlah. Nona pasti bisa," bisik Lian'er dengan suara bergetar, air mata terus mengalir deras membasahi pipinya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu yang buruk menimpa Cheng Xiao dan bayinya.
Cheng Xiao hanya bisa merintih kesakitan, tubuhnya terus bergetar hebat. Ia merasa seolah-olah seluruh tulangnya remuk dan hancur. Namun, di tengah rasa sakit yang tak tertahankan itu, ia masih berusaha untuk tetap sadar dan kuat demi bayinya.
"Lian'er... aku takut..." bisik Cheng Xiao dengan suara lemah, matanya menatap Lian'er dengan penuh ketakutan.
"Jangan takut, Nona. Saya akan selalu berada di sisi Nona," jawab Lian'er dengan nada meyakinkan, meskipun hatinya sendiri dipenuhi dengan kecemasan.
Proses persalinan prematur itu berlangsung sangat sulit dan menyakitkan. Cheng Xiao harus berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan bayinya. Para tabib wanita bekerja keras untuk membantu Cheng Xiao, namun mereka tidak bisa menjamin keselamatan Cheng Xiao dan bayinya.
Di luar kamar, Wang Yuwen dan Jenderal Tang berdiri dengan wajah cemas dan khawatir. Mereka berdua merasa bersalah atas apa yang telah terjadi pada Cheng Xiao. Mereka tahu, semua ini adalah akibat dari perbuatan mereka.
"Aku harus masuk," ujar Wang Yuwen dengan nada cemas, berniat untuk melihat keadaan Cheng Xiao.
Namun, Jenderal Tang menahannya. "Jangan, Yang Mulia. Biarkan para tabib melakukan tugas mereka. Kehadiran Anda hanya akan membuat Cheng Xiao semakin tertekan," ujar Jenderal Tang dengan nada tegas.
Wang Yuwen terdiam, ia tahu Jenderal Tang benar. Kehadirannya saat ini hanya akan memperburuk situasi. Ia hanya bisa menunggu dan berdoa agar Cheng Xiao dan bayinya selamat.
Waktu berlalu terasa sangat lambat. Suara rintihan Cheng Xiao dan perintah para tabib istana terus terdengar dari dalam kamar, membuat Wang Yuwen dan Jenderal Tang semakin cemas dan khawatir. Mereka berdua tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana, tetapi mereka bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat penting sedang berlangsung.
Tiba-tiba, suara tangisan bayi memecah kesunyian malam. Tangisan itu terdengar lemah, namun cukup untuk membuat Wang Yuwen dan Jenderal Tang menghela napas lega.
"Bayinya sudah lahir," ujar salah seorang tabib istana dengan nada lega, sembari hendak melangkah keluar dari dalam kamar untuk memberitahukan kabar kelahiran seorang putra yang dilahirkan Cheng Xiao kepada Putra Mahkota yang tengah menunggu dengan cemas di luar.
Namun, dengan sisa tenaga yang ada, Cheng Xiao menahan tangan tabib wanita itu dengan lemah. Wajahnya pucat pasi, dan matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Cheng Xiao menggeleng pelan, air mata mengalir deras membasahi pipinya. "Jangan..." gumamnya lemah, suaranya hampir tak terdengar.
Lian'er, yang mengerti maksud nona-nya, segera mengambil alih bayi laki-laki yang baru lahir itu dari tangan tabib. Dengan hati-hati, ia mendekatkan bayi itu ke wajah Cheng Xiao. "Nona, tuan muda sangat tampan. Wajahnya sangat mirip dengan anda," ujar Lian'er dengan suara bergetar, air mata kembali membasahi wajah pelayan setia itu. Ia tidak bisa membendung kesedihannya melihat nona-nya yang harus menanggung begitu banyak penderitaan.
Wajah bayi laki-laki itu benar-benar mirip dengan Cheng Xiao, seolah-olah ia adalah versi laki-laki dan mini dari wanita itu. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis seperti milik Cheng Xiao. Tiba-tiba, Bibi Li, pelayan setia dari kediaman Adipati Cheng, datang dengan tergesa-gesa. Saat itu, Cheng Xiao sudah tidak sadarkan diri karena kelelahan yang luar biasa setelah melahirkan.
Bibi Li menangis tersedu-sedu, melihat bayi nona mudanya yang telah lahir dengan selamat. Namun, tangisan wanita tua itu juga merupakan tangisan kesedihan, karena dia adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui kenyataan pahit tentang Cheng Xiao dan asal-usul bayi laki-laki itu.
"Bibi Li..." panggil Lian'er dengan nada pelan, mencoba menenangkan wanita tua itu.
"Adipati jatuh sakit setelah mendengar kabar mengenai nona muda," ujar Bibi Li dengan suara bergetar, air mata terus mengalir deras membasahi pipinya. Ia sangat khawatir dengan kondisi Adipati Cheng yang sangat menyayangi Cheng Xiao.
Lian'er terkejut mendengar kabar tersebut. "Apa?! Bagaimana bisa?" tanyanya panik.
Bibi Li menggelengkan kepalanya lemah. "Tuan Adipati sangat terpukul mendengar keadaan putri nya. Beliau tidak menyangka nona muda harus mengalami semua ini," jawabnya dengan nada sedih.
Lian'er terdiam. Ia tahu betapa sayangnya Adipati Cheng kepada Cheng Xiao. Adipati Cheng selalu berusaha untuk melindungi dan membahagiakan putri nya itu.
Bibi Li keluar dari dalam kamar, langkahnya pelan namun tegas. Ia menghampiri Wang Yuwen dan Jenderal Tang yang masih menunggu dengan wajah penuh kekhawatiran. "Maafkan saya, Yang Mulia, Tuan Jenderal. Nona sedang beristirahat, kalian bisa menjenguknya nanti," ujar Bibi Li dengan nada penuh hormat namun tetap menjaga jarak.
"Bagaimana dengan bayiku?" tanya Wang Yuwen dengan nada cemas, menanyakan kondisi bayi yang dilahirkan Cheng Xiao. Ia tidak sabar ingin melihat putranya.
Bibi Li menunduk sejenak, menyembunyikan kesedihan dan kemarahannya. "Tuan Muda lahir dengan selamat dan sehat," jawabnya singkat, tanpa memberikan detail lebih lanjut.
"Aku ingin melihatnya," ujar Wang Yuwen dengan nada memaksa, berniat untuk segera masuk ke dalam kamar dan melihat putranya.
"Maafkan saya, Yang Mulia," ujar Bibi Li dengan nada tegas, menghalangi langkah Wang Yuwen. "Nona tidak ingin dikunjungi oleh siapapun saat ini."
"Tapi aku suaminya!" ujar Wang Yuwen dengan nada meninggi, merasa berhak untuk melihat istri dan anaknya.
Bibi Li hanya menunduk dalam, tidak berani menatap mata Wang Yuwen. Ia tahu bahwa ia tidak memiliki hak untuk menentang perintah Putra Mahkota, namun ia juga harus melindungi Cheng Xiao dan bayinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Bibi Li berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu dengan rapat, meninggalkan Wang Yuwen dan Jenderal Tang dengan perasaan frustrasi dan bersalah.
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪