bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di bully
Miranda memasuki Universitas Cahaya Bangsa, tampilannya yang sederhana tidak menarik perhatian siapa pun. Dia akan menuju ke ruang akademik, akan menanyakan jadwal perkuliahan dan melaporkan diri kalau dia mahasiswa baru. Belum sampai ke ruangan, Miranda dihadang oleh seorang pria.
“Hai anak pembawa sial berani juga lu masuk sini,” ucap Leo.
Miranda mengernyitkan dahi. Anak pembawa sial biasanya diucapkan oleh kakak-kakaknya, tetapi ini orang yang belum dia kenal.
“Hai Miranda apa kabar dengan sugar dady kamu,” ucap Vina.
Miranda tahu kalau Vina adalah sepupunya dari pihak Miranti, ibu tirinya.
“Aku mau kuliah di sini,” ucap Miranda datar.
“Gue tahu sekarang lu kaya karena sugar dady kamu, tapi lu ga cocok kuliah di sini,” ucap Rivan dengan tatapan penuh ejekan.
Miranda mengenal Rivan sebagai pendukung Lena fanatik, dulu waktu SMP dia yang paling keras ikut menghujat dirinya, ikut memfitnah dirinya tidak empati sama anak yatim piatu.
“Aku bayar ko sudah lunas lagi jadi kenapa aku ga boleh kuliah di sini.”
Leo maju ke depan Miranda. “Karena lo anak pembawa sial. Lo yang menyebabkan ibu lo meninggal dan asal lu tahu orang yang suka nyolong jawaban orang lain ga pantas kuliah di sini,” ucap Leo dengan nada tajam. Miranda terus mundur tidak mau terlalu dekat.
“Lu bakal membuat kakak-kakak dan saudara lu ga nyaman di sini,” lanjut Leo. “Jadi lebih lu pergi.”
Miranda menghela napas berat. Belum juga mulai kuliah dia sudah mengalami hal seperti ini.
“Baiklah kalau itu mau kalian,” ucap Miranda. “Aku mau pulang.”
Miranda berbalik badan, tetapi bajunya ditarik oleh Riana sampai Miranda terjatuh.
“Sebelum lu pulang lu harus terima ini,” ucap Riana sambil melemparkan telur busuk pada Miranda.
Telur busuk pecah di dada Miranda. Cipratan lengket dan bau menyengat meresap ke bajunya. Satu lagi menghantam lengannya, lalu pecah di lantai, menyebarkan aroma anyir yang menusuk hidung.
Tawa mereka meledak keras. Tidak ada satu pun mahasiswa yang berani mendekat. Leo berdiri paling depan dengan wajah puas. Rivan menyilangkan tangan seperti penonton yang menikmati tontonan murah. Anak jenderal itu hanya tersenyum miring, menikmati kekacauan seolah itu hiburan pagi. Hanya Leo yang menerima bayaran dari Lena. Yang lain melakukannya karena mereka menikmati merendahkan seseorang.
Miranda tetap diam. Tidak ada tangisan. Tidak ada teriakan. Hanya napasnya yang tegang. Sikap diam itu justru membuat mereka semakin liar. Telur berikutnya melesat. Satu mengenai bahunya, satu lagi pecah di rambutnya. Sampai akhirnya tidak ada telur tersisa dan Miranda berdiri di tengah bau busuk dengan tubuh lengket, sementara tawa mereka masih menggema di lorong kampus
Miranda bangkit perlahan. Tatapannya menyapu sekitar dengan dingin sebelum ia berbalik dan melangkah pergi. Bau telur masih melekat, tetapi langkahnya tetap mantap. Ia menyeberang menuju sebuah butik mewah tanpa menoleh ke belakang.
Di depan pintu, seorang pegawai mencoba menahan. Miranda mengangkat black card tanpa bicara. Pramuniaga itu langsung menunduk. “Silakan masuk, Nona,” ujarnya gugup. Walaupun tercium bau telur, mereka tidak berani mengabaikan kartu itu.
“Ambilkan baju terbaik dan aku mau menumpang mandi,” perintah Miranda. Pramuniaga mengangguk cepat dan mengantar Miranda ke kamar mandi. “Pastikan baju dan parfum mahal sudah siap sebelum aku selesai,” lanjut Miranda dengan tegas.
Air hangat mengalir ketika Miranda memejamkan mata. Ia mengingat hinaan, tawa, dan telur busuk yang mengenai tubuhnya. Bukannya sedih, dia justru menyeringai. Ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya, sesuatu yang dulu terkubur oleh rasa rendah diri.
Sepuluh menit kemudian Miranda keluar. Baju mahal dan parfum sudah disiapkan rapi. Seorang pramuniaga membantu memakaikan gaun dan mengeringkan rambutnya hingga kembali elegan. Miranda menatap bayangannya dengan puas.
“Terima kasih,” ujarnya tenang. Ia berjalan ke kasir. “Berapa semuanya?” tanyanya.
“Tiga puluh juta,” jawab kasir pelan.
“Buat jadi lima puluh juta. Tiga puluh untuk baju dan parfum, sisanya untuk kamu dan pegawai yang melayaniku,” tutur Miranda santai.
Kasir terkejut. “Te… terima kasih, Nona,” ucapnya dengan suara bergetar.
“Dan tolong laundry bajuku. Nanti aku bayar sepuluh juta. Antarkan ke alamat yang akan aku kirim,” lanjut Miranda.
“Baik, Nona,” jawab kasir penuh hormat. Mereka bersyukur sudah bersikap sopan. Andaikan tidak, nasib mereka mungkin sangat berbeda.
Miranda meraih ponselnya lalu menekan nomor Yudi. “Jemput aku di butik Titik Salju. Nanti aku kirim lokasi,” ujar Miranda tenang.
“Baik, Nyonya,” jawab Yudi singkat.
Miranda duduk di sofa butik sambil menarik napas panjang. “Selanjutnya aku mau main ke kantor suamiku,” gumamnya sambil meluruskan gaun barunya.
Tak lama kemudian dua mobil mewah berhenti di depan butik. Yudi dan para bodyguard tampak heran melihat Miranda sudah berganti pakaian, namun tidak ada yang berani bertanya. Miranda masuk mobil seolah tidak terjadi apa pun.
“Bagaimana kuliahnya, Nyonya?” tanya Yudi hati hati.
“Seperti biasa, masih banyak orang yang tidak tahu batas antara langit dan bumi,” jawab Miranda datar.
Yudi terdiam. Baginya, ucapan Miranda terlalu dalam dan sulit ia pahami.
“Selanjutnya kita ke mana, Nyonya?” tanyanya lagi.
“Baskara Corporation,” sahut Miranda pelan.
Perjalanan berlangsung sunyi. Miranda hanya menatap jendela, menikmati cerahnya kota yang terasa berlawanan dengan badai yang sedang tumbuh dalam dirinya. Empat puluh lima menit kemudian mobil berhenti di depan gedung megah perusahaan itu.
“Kalian tunggu di mobil,” ucap Miranda.
“Tapi Nyonya, kami harus mendampingi Anda. Belum banyak yang tahu status Anda,” ujar Yudi ragu.
“Aku mau sendiri. Jangan membantah,” tutur Miranda dingin.
Miranda melangkah masuk ke gedung. Ketika lift terbuka, tatapannya langsung tertuju pada Audy yang keluar bersama enam perempuan dan dua pria. Miranda malas menyapa. Dia hanya ingin melihat kantor suaminya, bukan berurusan dengan kerumunan itu.
Audy berbisik pada teman temannya.
“Hei, orang kampung mau ngapain ke sini?” ejek Audy lantang.
“Jadi ini pelacur yang merebut hati Rian,” ucap perempuan bernama Linda.
“Dengar ya, Tuan Rian hanya cocok dengan Audy. Bukan cewek kampungan seperti kamu,” tambah Mira dengan nada tinggi.
“Dan kamu tidak pantas berada di gedung ini,” lanjutnya.
“Kenapa? Ini kantor suamiku,” jawab Miranda bingung.
“Kami tahu kamu cuma istri sementara. Yang Rian cintai hanya Audy,” ujar Mira penuh penghinaan.
“Lebih baik kamu pergi sebelum aku minta keamanan menyeretmu. Rian pasti percaya padaku. Bukan kamu yang tidak tahu diri,” Mira menekan kalimatnya.
Audy tersenyum miring. “Lihat mereka semua. Saudara saudara Rian. Mereka mendukungku, bukan kamu.”
“Jadi sebaiknya kamu keluar dari hidup Rian,” ucap Mira sambil menatap Miranda tajam.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya