Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.
Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Suami-Istri
Pagi hari Raisa terbangun karena merasakan kesemutan di sekujur kaki. Dia terkesiap saat teringat mengenai apa yang terjadi semalam dan! bangun-bangun dia ada di dekat lelaki itu dengan jari sudah tidak lagi saling terpaut. Raisa tidur dalam posisi duduk bersandar ke sisi sofa.
Sebelum membuat Ardan menyadari apa yang terjadi Raisa lekas bangkit. Dia ingin segera membersihkan diri. Perempuan itu merasakan matanya memberat, bukan karena kantuk akan tetapi karena efek tangisnya semalam baru terasa ketika bangun. Kedua matanya tampak bengkak.
"Mandi ah, bau." Dia bergumam sendiri. Pergi ke kamar mandi dan segera mengguyur badannya dengan air segar.
Tidak butuh waktu lama Raisa segera menyelesaikan kegiatannya dan memakai pakaian bersih. Aroma wangi mawar bercampur sabun merebak ke seisi kamar.
Pagi ini perempuan itu memakai celana longgar dan kaus merah muda dengan satu motif stroberi besar di bagian depan. Saat menengok ke kursi dia mendapati Ardan yang sudah membuka mata. Duduk dengan memancarkan raut tidak bersemangat.
"Pagi, Ardan. Kamu nggak mandi?"
"Mandi." Berbarengan menjawab begitu Ardan bangkit.
Ketika Ardan menyibukan diri Raisa berjalan ke arah pintu dan kembali mencoba membukanya. Mencoba berulang kali sampai Ardan selesai mandi. Tetapi nihil. Pintu itu masih tertutup.
"Ini masak dikunciin beneran, sih?"
"Lo ngapain? Gak usah drama bisa nggak?" Ardan menyentaknya. Diperlakukan begitu Raisa pilih mundur. Dia sibuk dalam dunianya sendiri. Menelusuri kamar yang berukuran lumayan itu. Melihati tata pakaian di lemari, riasan milik Alya, deretan koleksi jam tangan Ardan, hingga menjelajahi setiap laci nakas.
Mengabaikan Ardan yang tanpa dijelaskan lagi tentu saja lelaki itu juga mengabaikannya, tidak peduli mengenai apa yang dia lakukan.
Bosan dengan kegiatannya Raisa pilih berganti dan duduk satu sofa di sebelah Ardan yang sibuk bermain ponsel. Entah apa yang dilakukan pria itu di sana. Tapi berbarengan Raisa yang duduk, lelaki itu mulai menjawab sebuah panggilan.
Raisa memperhatikan obrolan tetapi dengan mata tidak terjurus secara langsung kepada Ardan. Sesekali juga Raisa curi pandang lewat sudut matanya. Mengamati diam-diam wajah serius lelaki itu. Suara perempuan terdengar samar dan dahi Ardan berkerut-kerut saat berbicara dengan orang di seberang sana.
Sekali pria tersebut menoleh ke arahnya.
"Nggak berangkat. Ada problem. Dia di samping gue." Jawaban itu runtut disampaikan Ardan.
Panggilan itu tidak berlangsung lama. Selepas mengakhiri panggilan Raisa dihadiahi dengan tatapan Ardan yang seperti menuntut.
"Apa?" tanya Raisa.
"Ponsel lo di mana? Mira temen lo telepon nyariin lo. Lain kali suruh dia jangan hubungin gue. Gue nggak suka."
"Ilang," jawab Raisa sekenanya. Dia memang tidak berbohong. Ponselnya betulan hilang entah di mana, kan dia terpisah dari raganya yang mengantongi ponsel. Tetapi jika perannya sekarang adalah sebagai Alya, Raisa juga tidak sepenuhnya berbohong. Entah di mana juga ponsel pemilik raga yang dia tampati itu.
"Nggak percaya?" lanjutnya.
"Ya kan lo bisa beli. Jangan repotin gue mulu."
"Emang kenapa, kan kamu suami aku."
"Di mimpi lo," balas Ardan sarkas.
"Nyata gini dikatain mimpi, tuh foto wedding kita ada di nakas." Raisa menunjuk bingkai foto yang dimaksud. Ditempatkan di salah meja yang berada di sisi kanan tempat tidur.
Terdiam. Tidak digubris.
Tiba-tiba netra Raisa terjatuh pandang pada sebuah buku tebal di bawah kolong meja depannya. Selain karena penasaran dan untuk mengusir bosan dia meraih lantas membukanya.
Buku tersebut ternyata dipenuhi dengan gambar-gambar dari goresan pensil. Setiap pojok bawah lembarnya terdapat identitas kecil mengenai siapa pembuatnya.
Dia menoleh ke Ardan dan memuji, "Bagus banget gambaran kamu." Tanpa mengharap reaksi lawan bicara.
"Bisa nggak lo diem aja? Jangan bacot terus."
Ih, jahat. Batin Raisa menggumamkan itu. Padahalkan dia hanya bertanya baik-baik, kenapa sebegitu tidak sukanya.
Dalam keterdiaman Raisa terus membolak-balik buku tersebut. Semakin ke dalam dia tidak hanya menemukan hasil gambaran dengan goresan pensil, tetapi juga ada yang terwarnai dengan cat, lebih seperti lukisan warna. Selama melihat-lihat karya yang dibuat dengan penuh perhatian dan ketekunan itu Raisa menemukan satu karya yang paling menarik perhatiannya. Karya itu terletak di lembar kedua paling akhir.
Forget Me Not. Bunga Mamung.
Raisa tahu pasti bahwa bunga yang digambar adalah itu. Sebab di rumah dia memang menanamnya, bahkan di rumahnya tanaman hias yang ada hanyalah itu. Selain satu pohon mangga di depan rumah.
Gambar itu yang paling Raisa rasa berbeda dari karya-karya di lembar lain. Sekali lihat, meskipun sebagai orang awam yang tidak tahu menahu, dia bisa merasakan seperti penuh akan emosi terselubung dalam proses pembuatannya. Setiap garis pensil terasa 'menyentuh' baginya.
Raisa meminta, "Ardan, aku boleh minta tolong gambarin yang kayak gini nggak? Tapi yang berwarna, bukan hitam putih."
"...."
Tidak mendapat jawaban Raisa bergeser ke kiri untuk lebih mendekatkan dirinya ke Ardan. "Please, ya, Dan? Kelopaknya diwarna yang kayak keunguan gitu sama putih."
"Nggak!" pekikan itu sangat keras.
Raisa sampai meringis tidak enak mendengarnya. "Oke, oke. Maaf. Pasti sih kamu nggak mau ya."
"Aku tuh suka banget bunganya ini haha. Kayak punya koneksi tersendiri kalau ngelihat tuh." Tanpa diminta Raisa menjelaskan. "Pasti dari semua yang udah kamu bikin di sini paling effort kerjainnya tuh lembar ini ya?"
"Diem."
Dengan wajah lempeng Ardan meresponsnya. Raisa semakin memperpendek jarak antara mereka sampai bahu keduanya bersentuhan.
Raisa mengerling genit saat Ardan memandanginya dengan tajam. "Jangan berani-beraninya lo berbuat ulah kayak yang udah-udah. Awas aja."
"Emang aku ngapain?"
"Telanjang."
...****************...
Raisa melongo. Tidak menyangka kata frontal dilontarkan tanpa tedeng aling-aling. Buku yang dia bawa sontak dia lipat, dia menarik kembali dirinya untuk menjauh sedikit dari Ardan, mungkin hanya tujuh senti.
Dan telanjang? Raisa tak habis pikir bahwa Alya melakukannya untuk bisa mendapatkan cinta dari Ardan. Dan ya, Raisa tebak bahwa usaha yang coba dilakukan oleh Alya itu gagal.
"Beneran? Kapan?"
"Nggak usah drama."
"Aku nggak drama."
Embusan jengkel Ardan menjawab Raisa. "Tapi aku beneran nggak inget, dan tentu aja sekarang juga nggak lagi drama."
"Bacot."
"Aku ngelakuinnya kapan, Dan? Kok aku nggak inget."
"Bacot."
"Oh, kamu pasti kebayang-bayang aku ya sampai berhalusinasi kalau aku lakuin itu. Itu artinya kamu cinta aku kan? Iya kan?" Tanpa rem Raisa mengucapkannya.
"Bacot. Berisik."
"Ngatainnya yang lain kek."
"Bego."
"Hahaha! Diturutin dong aku." Raisa kegirangan sendiri dengan memasang wajah angkuh dibuat-buat yang otomatis menimbulkan kejengkelan Ardan.
Karena saat bertanya lagi Raisa tidak mendapatkan jawaban, Ardan terbungkam ribuan bahasa. Mengabaikan apapun suara yang dia keluarkan dari bibirnya.
"Yah Ardan diem aja. Jawab lagi dong."
"Ardan?"
"Ah, sok kul."
"Ardan?"
Benar-benar teguh pendirian. Ardan tidak menjawab sepatah katapun setelah dia bercandai.
Sebuah kalimat muncul begitu saja dari Raisa. "Ya udah, sih. Kan kita juga sudah suami istri, mau buka-bukaan gimanapun asal cuman ke satu sama lain ya bukan hal yang salah."
...****************...