Rina menemukan pesan mesra dari Siti di ponsel Adi, tapi yang lebih mengejutkan: pesan dari bank tentang utang besar yang Adi punya. Dia bertanya pada Adi, dan Adi mengakui bahwa dia meminjam uang untuk bisnis rekan kerjanya yang gagal—dan Siti adalah yang menolong dia bayar sebagian. "Dia hanyut dalam utang dan rasa bersalah pada Siti," pikir Rina.
Kini, masalah bukan cuma perselingkuhan, tapi juga keuangan yang terancam—rumah mereka bahkan berisiko disita jika utang tidak dibayar. Rina merasa lebih tertekan: dia harus bekerja tambahan di les setelah mengajar, sambil mengurus Lila dan menyembunyikan masalah dari keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Zuliyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Remaja
Waktu berlalu seperti kilat—Lila sudah 15 tahun, rambutnya yang dulu pendek sekarang panjang dan diwarnai sedikit pirang, dan dia selalu membawa tas berisi cat dan kertas lukis di mana-mana. Masuk SMA membuat dia merasa seperti orang baru di dunia yang lebih besar—tempat di mana teman-teman bicara tentang pacar, make-up, dan hal-hal yang dia rasa "orang tua tidak akan pernah mengerti".
Satu hari, dia bertemu Rafi di lokakarya melukis sekolah. Rafi berusia 16 tahun, rambut keriting, dan mata yang ceria ketika berbicara tentang seni. Dia memuji lukisan Lila tentang "jendela terbuka" yang menggambarkan rumahnya, dan berkata: "Ini bukan cuma lukisan—ini cerita. Aku suka orang yang bisa menceritakan cerita dengan cat." Dari situ, mereka sering berbicara, berbagi ide, dan kadang-kadang pulang bersama setelah sekolah.
Rina dan Adi mulai merasa ada yang berbeda. Lila pulang semakin larut, sering menutup diri di kamar, dan tidak lagi menceritakan hari-harinya seperti dulu. Satu malam, jam 10 malam dan Lila belum pulang. Adi berdiri di depan pintu, jengkel dan khawatir. "Dia pasti dengan cowok itu lagi!" ujarnya. Rina duduk di sofa, menggigit kuku: "Jangan terlalu cepat menyalahkan. Mungkin dia tertinggal di lokakarya."
Tepat saat itu, pintu terbuka. Lila masuk dengan baju yang sedikit kusut, rambut kacau, dan senyum tersenyum. "Maaf, Pa, Bu—lokakarya lama hari," katanya sambil berjalan cepat ke kamar.
"Menunggu, Lila!" teriak Adi. "Kamu tidak memberitahu kita kamu akan pulang larut. Kita khawatir banget!"
Lila berhenti, tubuhnya bergetar. Dia berbalik, mata penuh air mata: "Kenapa kalian selalu mengawasi aku? Semua teman aku bisa pulang larut dengan pacar mereka! Kenapa aku saja yang dilarang?"
"Pacar?!" Adi terkejut. "Kamu belum cukup umur untuk pacaran!"
"Umur apa yang cukup?! Kalian tidak mengerti apa-apa! Kalian hanya tahu mengatur hidupku seperti dulu, ketika aku masih kecil!" Lila menangis teriak-teriak, lalu mengunci diri di kamar. Bunyi teriakan itu membuat Ayu yang sedang belajar di ruang tamu menangis, dan Arif yang sudah tidur terbangun dan menangis juga.
Rina menangis melihat kekacauan itu. Dia pergi ke kamar Lila, mengetuk pintu lembut: "Sayang, buka ya. Kita bicara tenang."
Tidak ada jawaban. Rina tetap berdiri sana, berkata: "Bu tahu kamu sedang tumbuh besar, dan itu sulit. Bu juga pernah remaja, pernah merasa tidak dipahami. Tapi cowok itu—kita hanya mau tahu apakah dia baik bagi kamu. Bisa kamu ajak dia ke rumah besok malam? Makan malam bersama?"
Setelah beberapa detik, suara kecil terdengar dari dalam: "Baiklah, Bu."
Besok malam, Rafi datang dengan bunga mawar putih untuk Rina. Dia duduk dengan tenang di meja makan, menjawab pertanyaan Adi dengan sopan, dan bahkan menceritakan tentang impiannya menjadi seniman yang membangun galeri seni untuk anak-anak. Lila melihatnya dengan mata penuh bangga. Setelah Rafi pulang, Adi melihat Rina dan berkata: "Dia bukan cowok buruk. Kita harus percaya pada Lila."
Beberapa hari kemudian, Lila datang ke kamar orang tua dan berkata: "Maaf, Pa, Bu. Aku tidak mau membuat kalian khawatir. Rafi dan aku hanya teman baik—kita suka seni bersama. Aku akan selalu memberitahu kalian jika pulang larut." Rina memeluknya erat: "Itu yang kita mau dengar, sayang. Kamu bisa tumbuh besar, tapi jendela rumah ini selalu terbuka untukmu."
Ayu yang sudah remaja juga punya masalahnya sendiri. Dia tinggal bersama Siti, tapi sering datang ke rumah Rina dan Adi. Dia merasa iri pada Lila—karena Lila selalu punya perhatian orang tua, sukses di bidang melukis, dan punya teman banyak. Satu hari, Ayu melihat lukisan Lila yang akan dikirim ke lomba nasional dan secara tidak sengaja merusaknya. Ketika Lila menemukan, dia marah parah: "Kamu benci aku! Kamu selalu iri padaku!"
Ayu menangis dan mengakui kesalahannya: "Aku tidak benci kamu, kak. Aku cuma ingin orang tua juga bangga padaku seperti bangga pada kamu." Rina dan Adi terkejut. Mereka tidak menyadari bahwa Ayu merasa terpinggirkan. Mereka memutuskan untuk mendukung hobi Ayu juga—dia suka menari, jadi mereka mendaftarkan dia ke les tari. Beberapa bulan kemudian, Ayu memenangkan lomba menari kota, dan Lila yang sudah memaafkannya datang menyaksikannya, membawa bunga. Mereka memeluk satu sama lain, dan semua persaingan hilang
Hari itu hujan lebat. Adi pulang dari kantor dengan wajah pucat, tas tergantung di pundak, dan tangan yang gemetar. Rina sedang memasak sup di dapur, dan melihat wajahnya langsung merasa tidak enak. "Apa yang terjadi, Sayang?" tanya dia.
Adi duduk di kursi, menangis tanpa suara. "Perusahaan... mereka memecat banyak orang. Aku termasuk di antaranya."
Rina menjatuhkan sendoknya. Dia duduk di sampingnya, memeluknya: "Tidak mungkin. Kamu bekerja keras banget di sana."
"Aku tahu, tapi mereka butuh memotong biaya. Sekarang apa yang kita lakukan? Uang cicilan rumah, biaya sekolah Lila, Ayu, Arif—semua bergantung pada gajiku." Adi menangis lebih kencang: "Aku tidak berguna. Aku tidak bisa memberi nafkah keluarga."
Rina mengeringkan air matanya: "Jangan berkata begitu. Kita telah melalui hal-hal lebih buruk—utang, perselingkuhan, semua itu. Kita akan bekerja sama." Dia mengambil dompetnya, mengeluarkan selembar kertas: "Buku kedua ku sudah terjual lebih dari 50 ribu eksemplar. Penerbit memberi royalti yang cukup. Aku bisa jadi sumber pendapatan utama sementara kamu mencari pekerjaan baru."
Adi menggeleng: "Tidak, Bu. Itu uangmu untuk hobimu. Kamu bekerja keras menulisnya."
"Hobi yang menghasilkan uang juga merupakan pendapatan, Sayang. Dan ingat bisnis onlinemu dulu? Yang menjual barang dengan desain unik? Kita bisa kembangkannya lagi—dengan desain dari Lila, Ayu, dan Arif!"
Hari berikutnya, mereka mengumpulkan semua anak di ruang tamu. Lila membawa lukisannya, Ayu membawa sketsa tari, dan Arif membawa gambar robot yang dia buat. "Kita akan membuat produk dengan desainmu semua—baju, topi, tas," kata Rina. "Semua orang akan suka karena itu unik, dari hati kita."
Mereka mulai bekerja malam-malam. Adi mengelola pesanan dan pengiriman, Rina menulis deskripsi produk, Lila melukis desain, Ayu mengedit gambar, dan Arif membantu mengemas. Beberapa minggu kemudian, pesanan mulai masuk—dari teman, tetangga, bahkan orang dari luar kota yang melihat postingan di media sosial.
Satu hari, Adi menerima panggilan dari perusahaan lain. Mereka melihat portofolio kerjanya dan bisnis online yang dia bangun bersama keluarga, dan menawarkan dia pekerjaan sebagai manajer proyek—dengan gaji yang lebih baik dan jam kerja yang lebih fleksibel. Ketika dia memberitahu keluarga, semua orang melompat senang. Lila memeluknya: "Ayah hebat! Kamu buktikan bahwa kita bisa mengatasi apa saja jika bersama."