NovelToon NovelToon
Garis Batas Keyakinan

Garis Batas Keyakinan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Percintaan Konglomerat / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.

​Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.

​"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

​Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Reaksi Sahabat dan Panggilan Terakhir Revan

​​Minggu pertama setelah pertemuan taaruf dengan Gus Ammar Fikri terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Di rumah, Ayah dan Bunda terlihat lega dan penuh harapan, sementara aku harus terus memainkan peran sebagai calon istri yang patuh.

​Aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak menghubungi Revan, tetapi aku juga butuh tempat untuk berbagi kejutan perjodohan mendadak ini.

​Saat jam mata kuliah Filsafat kosong, aku menarik Neli dan Imel ke sudut kantin yang sepi. Mereka sudah lama mencurigaiku karena aku selalu menghindar sejak hari demamku.

​"Ra, akhirnya kamu mau bicara juga," kata Imel, nadanya lega bercampur kesal. "Kamu sakit parah, kami mau jenguk, tapi Om Bimo bilang kamu harus istirahat total. Ada apa, Ra?"

​"Aku sudah baikan," kataku, berusaha tersenyum. "Tapi ada berita besar yang harus kalian tahu."

​Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku sudah di-khitbah."

​Neli dan Imel terdiam. Lalu, Neli tertawa keras, mengira aku bercanda. "Gila! Khitbah apa? Sama siapa? Revan sudah ganti agama?"

​"Bukan Revan," jawabku, suaraku datar. "Namanya Ammar Fikri. Dia seorang Gus. Calon suamiku."

​Tawa Neli terhenti. Imel menatapku terkejut. "Tunggu, Ra. Kamu serius? Secepat ini? Setelah putus paksa dari Revan, tiba-tiba kamu dilamar seorang Gus?" Ini terlalu cepat, Ra."

​"Ini keinginan Ayah, Mel. Setelah aku sakit kemarin, Ayah langsung bergerak. Keluarganya datang tadi malam, dan kami sudah sepakat," jelas ku, menghindari detail betapa dinginnya pertemuan itu.

​"Apa yang kamu rasakan, Ra? Kamu suka?" tanya Neli, wajahnya penuh kekhawatiran.

​Aku menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi dia sangat sholeh, cerdas, dan keluarganya baik. Dan yang paling penting... dia seiman. Ini adalah jalan yang Ayah dan Bunda inginkan untukku."

​"Lalu bagaimana dengan studimu?" tanya Imel, lebih fokus pada hal praktis.

​"Itu yang paling melegakan," kataku. "Pernikahan akan menunggu sampai aku lulus kuliah. Ayah Ammar dan Ayahku sepakat. Jadi, aku punya waktu dua tahun lagi. Setelah lulus, baru kami menikah."

​Neli memegang tanganku. "Dua tahun? Ra, kamu dapat deal yang bagus! Paling tidak, kamu dapat waktu untuk memulihkan diri. Tapi, Gus Ammar... apakah dia mengerti masalahmu dengan Revan?"

​Aku hanya mengangguk tipis. "Dia tahu aku butuh waktu. Dia sendiri sangat sibuk dengan perusahaannya. Jadi, kami sepakat menjalani taaruf yang... santai."

​Tiba-tiba, ponselku yang baru saja kubuka setelah lama disita, bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Nomor Tak Dikenal. Jantungku langsung berdebar.

​Aku menekan tombol jawab, suaraku nyaris tak terdengar. "Halo?"

​Di ujung sana, ada keheningan sejenak, lalu suara yang kurindukan, suara yang membuatku hampir menangis.

​"Indira... ini aku, Revan."

​Mendengar suaranya, semua tembok yang kubangun dalam seminggu terakhir runtuh. "Revan... kenapa kamu menelepon? Ayahku sudah melarang, aku janji padanya—"

​"Aku tahu. Aku tahu Om Bimo sudah putuskan kita. Aku tahu kamu sudah di-khitbah," potong Revan, suaranya terdengar lelah, tetapi tegas. "Om Bimo sendiri yang memberitahu saya, Ra. Dia bilang dia sudah menemukan jalan keluar terbaik untukmu, seorang pria yang seiman dan siap menikahimu setelah kamu lulus."

​Kepalaku terasa pusing. Ayah menghubungi Revan lagi?

​"Dia bilang, ini adalah peringatan terakhirnya untuk saya agar tidak mengganggu jalan halalmu," lanjut Revan. "Kamu dilamar seorang Gus?"

​Air mataku menetes. "Iya, Van. Namanya Ammar Fikri. Ayahku ingin ini terjadi."

​"Ra, aku terima perpisahan itu. Aku hormati Om Bimo. Tapi aku hanya butuh kejelasan, dari kamu. Bukan dari Om Bimo, bukan dari pesan singkat. Apakah ini yang kamu inginkan, Ra? Apakah Garis Batas yang Ayahmu buat itu, sudah kamu yakini sebagai jalanku?"

​Pertanyaan Revan menusuk tepat di ulu hati. Apakah ini yang aku inginkan?

​"Aku... aku tidak tahu, Van. Tapi ini adalah jalan yang halal. Dan jalan yang Ayahku ingin aku tempuh. Kita tidak punya masa depan, Van. Kamu sendiri yang mengirim pesan padaku, bilang kamu mengikuti keputusan Ayah."

​"Aku lakukan itu karena aku tidak mau kamu dihukum oleh Ayahmu lagi! Aku lakukan itu untuk menghentikan penderitaanmu! Tapi sekarang, kamu langsung pindah ke pelukan laki-laki lain? Begitu mudahnya?" Suara Revan naik, ada kepedihan dan amarah yang tulus di sana.

​"Ini bukan mudah, Van. Ini adalah tanggung jawab. Aku harus menghormati keyakinanku.

Dan aku harus menghormati Ayahku," kataku, berusaha keras agar suaraku terdengar kuat.

​"Aku mengerti," kata Revan, suaranya tiba-tiba kembali tenang dan dingin, seperti Ammar. "Aku hanya ingin mendengar itu, Ra. Selamat. Semoga Gus-mu bisa membahagiakanmu. Aku tidak akan menghubungimu lagi. Ini adalah panggilan tterakhirku

​Aku berdiri mematung, ponselku jatuh ke pangkuanku. Panggilan terakhir. Itu adalah kata penutup yang sangat menyakitkan.

​Neli dan Imel segera menghampiriku. "Ra, siapa itu? Kamu kenapa menangis?"

​Aku hanya menggeleng, menyeka air mata. "Bukan siapa-siapa. Telepon salah sambung," dustaku, kembali menutupi kenyataan.

​Aku kembali duduk di antara Neli dan Imel, mencoba melanjutkan peran sebagai calon istri Gus Ammar yang sholeh dan tegar. Namun, aku tahu, perpisahan ini adalah yang terakhir dan paling final. Garis Batas Keyakinan telah memisahkan kami, dan kini, aku harus menjalani taaruf dingin ini sebagai hukuman.

1
Suyati
cakep bunda nasehatnya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!