Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelampiasan Penuh Paksaan
Meskipun sudah berada di dalam mobil dengan AC dingin yang menyembur, Enzi masih meracau tak karuan. Ia menggeliat seperti cacing kepanasan, mencengkeram jok mobil dan kadang-kadang memukul-mukul kepalanya sendiri. Rasa sakit yang membakar dari dalam tubuhnya tidak memberinya jeda sedikit pun.
"Vin, aku tidak tahan! Rasanya aku ingin mati!" rintih Enzi, suaranya serak dan putus asa.
Arvin mengemudi dengan kecepatan tinggi, untung saja jalanan sedikit lengang malam itu,dia terus-menerus melirik sahabatnya dengan tatapan khawatir dan panik.
"Tahan, Zi! Sedikit lagi! Kita hampir sampai! Memangnya kamu habis makan apa sih, kok bisa kayak gini." omel Arvin.
Tiba di rumah, Arvin nyaris menyeret tubuh Enzi yang kini terasa memberat dan memberontak. Bi Darmi, yang masih terjaga dan masih membereskan pekerjaan untuk besok, terkejut melihat kondisi Tuan Mudanya. Dengan bantuan Bi Darmi, Arvin memapah Enzi menaiki tangga.
"Mas Arvin kenapa mas, " tanya Bi Darmi khawatir.
"Nggak tau Bi, tadi dia pergi sendiri tidak bersamaku. Saat dia minta aku jemput keadaannya sudah kayak gini. " jelas Arvin.
Bi Darmi mengerti, dan dengan susah payah membatu Arvin membawa Enzi ke kamarnya.
Sampai di kamar,
"Ana! Buka pintu! Cepat!" teriak Arvin di depan kamar utama.
Ana membuka pintu. Wajahnya tetap kaku, namun matanya memancarkan kelelahan yang dalam. Ia melihat Enzi, setengah sadar, berpeluh, dan hampir tidak berdiri.
"Apa yang terjadi padanya," desis Ana, memberi jalan membiarkan Arvin dan Bi Darmi membawa Enzi masuk dan membaringkannya di tempat tidur.
Arvin terengah-engah. Dia menatap Ana dengan panik. "Ana, aku tidak tahu apa yang terjadi. Dia tiba-tiba menelpon ku dan memintaku untuk menjemputnya di klub. Aku curiga dia diberi sesuatu."
Ana mendekat dan menyentuh wajah Enzi yang terbakar. Dia merasakan denyut nadi yang cepat dan mata yang dipenuhi hasrat liar saat menatapnya. Ana merasa takut saat melihat keadaan Enzi malam ini.
"Apa dia diberi obat perangsang, Vin. tapi siapa yang melakukannya," Tanya Ana datar.
"Kalau memang begitu, kamu harus membantunya, kalian adalah pasangan suami istri. ".
Ana tidak menjawab, dia hanya berterima kasih pada Arvin.
"Terima kasih sudah membawa Enzi pulang. "
Arvin mengangguk, dan dia melangkah keluar dengan cemas. Entah apa yang akan dilakukan mereka berdua. Tapi dia berharap baik Enzi maupun Ana akan baik-baik saja.
Ana mengunci pintu, memutar kunci dua kali. lalu berbalik, dan kini, hanya ada ia dan suaminya yang sedang dikuasai oleh zat kimia yang kejam.
Enzi mencengkeram sprei, matanya liar, mencari fokus, dan menemukan Ana. Dia menerjang, menerkam Ana dengan kekuatan yang tak terduga.
"Ana... kau harus membantuku! Aku tidak tahan lagi!" erang Enzi, ciumannya kasar, menuntut, dan penuh keputusasaan.
"Jangan, Enzi! Hentikan!" teriak Ana, meronta dan menolak. Ia mencoba mendorong tubuh Enzi, namun Enzi yang sudah kalap tak dapat terbendung lagi. Kekuatan obat itu jauh lebih besar daripada akal sehat dan kesadarannya.
Enzi mencengkeram pergelangan tangan Ana, menahan kedua tangan istrinya itu di atas kepala. Ia merobek pakaian Ana dengan kasar. Ana menangis pilu, air matanya membanjiri pelipis. Rasa sakit fisik karena perlawanannya, bercampur dengan trauma emosional, menghantamnya tanpa ampun.
"Tidak! Aku bilang jangan! kita bisa mencari cara lain," rintih Ana, namun Enzi sudah kalap.
"Jik tidak segera di tuntaskan, aku akan menjadi gila. Bantu aku, kau adalah istriku. " ucap Enzi memohon.
"Tapi.... "
"Tidak ada tapi, kamu istriku. Sudah seharusnya kamu membantuku, apa kamu ingin aku melampiaskan semuanya dengan wanita lain?" ucap Enzi sedikit emosi, dan membuat Ana terdiam. Dia pun langsung menyerang Ana dan melampiaskan semua hasrat yang sudah tak tertahankan karena pengaruh minuman itu.
Suara isakan Ana, rintihannya yang tertahan, berbaur dengan napas Enzi yang memburu. Malam itu, di ranjang yang seharusnya menjadi saksi cinta mereka, Ana direnggut dengan paksa oleh suaminya sendiri. Malam pertama yang indah dan penuh cinta tidak dia dapatkan. Tapi justru perlakuan kasar dan menuntut yang ia rasakan. Sesuatu yang selama ini ia jaga, kehormatannya sebagai seorang wanita, diambil dalam keadaan tidak sadar dan tanpa cinta, hanya karena dorongan nafsu yang dipicu sebuah kesalahan.
Erangan panjang Enzi menandai berakhirnya pertempuran semalam itu, yang hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Sedangkan lawannya hanya meronta, terdiam dan terisak merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Setelah semuanya berakhir, Enzi ambruk, jatuh ke dalam tidur lelap yang dalam, seperti patung yang tak bernyawa.
Ana masih terbaring di bawahnya. Rasa sakit dan kebas menjalar di sekujur tubuhnya. Dia menangis pilu, air mata kesedihan dan trauma membasahi bantal. Ia menatap wajah suaminya yang kini damai dalam tidurnya, sementara jiwanya sendiri tercabik-cabik.
Dengan tertatih, Ana melepaskan diri dari tubuh Enzi. Ia berjalan tertatih, perlahan dia menuju kamar mandi. Sambil gemetar dengan isakan yang tersisa ia menyalakan shower dengan air dingin. Air dingin itu mengguyur tubuhnya, seolah ia ingin menghapus semua jejak pemaksaan yang baru saja terjadi.
Ia menunduk, membiarkan air mencuci rambutnya, bahunya, air matanya, dan seluruh tubuhnya yang terasa sakit.
"Kenapa?" bisik Ana pada dirinya sendiri, suaranya pecah dan tercekat. "Kenapa dia mencariku saat dia sudah bersenang-senang di luar sana dengan wanita lain? Kenapa aku harus menjadi pelampiasan dari kesalahanmu?!"
Air mata Ana bercampur dengan air shower. Dia merasa terhina dan kotor. Hubungan yang seharusnya sakral, yang ia harapkan suatu hari akan dipenuhi cinta, kini terukir dengan kekerasan, pemaksaan dan kepahitan yang dirasakan Ana selama menikah dengan Enzi.
"Jika setelah semua ini terjadi kamu masih belum berubah, maka jangan salahkan jika aku pergi meninggalkan mu suatu hari lagi. Hanya tinggal satu kesalahan tersisa. Jika terjadi kesalahan lain lagi,maka aku akan pergi meninggalkan mu. " gumamnya penuh tekad.
Setelah membersihkan tubuhnya Ana segera keluar, menatap nanar ke arah suaminya yang masih terlelap menggapai mimpi. Namun tidak ada keinginan sama sekali bagi Ana untuk berbaring disamping Enzi, Dia memilih meringkuk di sofa panjang di sudut ruangan.
"Kita akan tidur bersama jika kamu sudah benar-benar kembali padaku." Gumamnya sebelum menutup mata.
Pagi datang dan membangunkan Enzi yang masih terlelap karena lelah yang dia rasakan. Tangannya menyentuh sisi sampingnya, tapi kosong, dan saat berbalik pun dia tidak menemukan siapapun di sampingnya.
"Apa semalam aku bermimpi ya? " batin Enzi. "Tapi kepalaku sakit sekali.
Enzi terduduk dan mengusap matanya mencari keberada Ana. Dan tatapan matanya berhenti sosok wanita yang tidur meringkuk diatas sofa. Enzi menyingkirkan selimutnya dan melihat bekas nida darah diseprei.
"Tidak, tidak mungkin... "
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau