NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 22: Senyum Iblis dan Pisau Berkilat

Udara di ruangan itu mengental, berubah menjadi es yang menusuk paru-paru Risa. Napasnya tercekat, mata tak berkedip menatap siluet di ambang pintu. Bibi Lastri. Sosok yang selama ini memeluknya, menawarinya kehangatan palsu, kini berdiri di sana dengan seringai yang mengerikan, menyembunyikan wajah di balik bayangan, namun kilatan pisau dapur di tangannya tampak jelas memantulkan cahaya redup.

Pisau itu panjang, runcing, dan berkilat seolah baru diasah. Bayangan Bibi Lastri memanjang, menelan seluruh lorong di belakangnya, menciptakan ilusi monster raksasa yang siap menerkam. Jantung Risa berdentum kencang di rusuknya, memompa adrenalin yang mengalir dingin ke ujung jari-jarinya. Ia ingin berteriak, ingin lari, namun kakinya seolah terpaku ke lantai. Otaknya lumpuh, hanya mampu memproses satu gambar: Bibi Lastri, pisau, dan ancaman yang tak terkatakan.

"Risa… Sayang… kenapa kamu di sini?" Suara Bibi Lastri terdengar lembut, terlalu lembut untuk situasi ini, bagai melodi jahat yang membuat bulu kuduk Risa merinding. Wanita itu melangkah masuk, perlahan, setiap langkahnya mengikis jarak di antara mereka, setiap langkahnya terasa seperti detak jarum jam menuju akhir. "Bibi mencarimu, loh. Kan sudah Bibi bilang, jangan main-main di bagian rumah ini. Berbahaya."

Bibi Lastri tersenyum, senyum itu lebar, menampilkan deretan giginya yang putih, namun mata dinginnya tetap kosong, tanpa emosi, menusuk tepat ke mata Risa. Bekas luka samar di tangan kanannya yang selalu tertutup kini terlihat jelas, terpapar saat ia menggenggam pisau. Luka bakar yang menghitam, tak rata, seolah bekas cakaran api yang ganas.

"Berbahaya?" Risa akhirnya menemukan suaranya, meski hanya berupa bisikan serak. Ia mundur selangkah, menabrak meja di belakangnya. Kotak perak dan surat-surat ibunya terjatuh, berserakan di lantai dingin. "Apa yang sebenarnya Bibi sembunyikan? Apa yang terjadi pada Ibu?"

Senyum Bibi Lastri tak luntur, justru melebar. "Ibumu? Oh, Risa, ibumu hanya... ceroboh. Kecelakaan biasa." Ia menggelengkan kepala, seolah iba. Namun, mata itu. Mata itu tidak berbohong. Mata itu dipenuhi rasa puas yang gelap.

"Bohong!" Risa menunjuk surat ibunya yang kini tergeletak di lantai, kertas terakhir dengan tulisan yang mengerikan, "...mengambil… KAU…" "Ibu bilang, ada yang ingin mengambil rumah ini, mengambil warisan, bahkan nyawanya! Dan… mereka akan datang untuk mengambilku!"

Untuk pertama kalinya, senyum di wajah Bibi Lastri sedikit goyah. Kelopak matanya sedikit menyipit. "Astaga, Risa. Kamu ini kebanyakan membaca cerita horor ya? Mendiang ibumu itu… memang sedikit berhalusinasi di akhir-akhir hidupnya. Sering panik tidak jelas, menulis hal-hal aneh. Kamu tahu, dia kan memang agak... sensitif."

"Sensitif?" Risa tertawa sinis, tawa yang kering dan penuh keputusasaan. "Atau Bibi yang membuatnya seperti itu? Bibi yang membuatnya panik? Bibi yang… membunuhnya?"

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Risa, tanpa filter, tanpa pemikiran matang. Seketika, suasana ruangan berubah drastis. Senyum di wajah Bibi Lastri menghilang sepenuhnya. Matanya melebar, memancarkan kemarahan yang membara. Seringai sebelumnya hanyalah topeng. Ini adalah wajah aslinya.

"Beraninya kamu bicara begitu!" Suara Bibi Lastri naik satu oktaf, menjadi serak dan tajam. Ia mengangkat pisau itu sedikit, ujungnya menunjuk tepat ke dada Risa. "Kamu tidak tahu apa-apa! Kamu hanya anak kecil yang manja, yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya berjuang!"

"Berjuang?" Risa membalas, rasa takutnya berubah menjadi kemarahan yang membakar. "Berjuang untuk apa? Untuk mengambil yang bukan hak Bibi? Untuk menghancurkan keluarga kami?"

Bibi Lastri tertawa, tawa yang tak ada lagi kelembutan. Tawa itu melengking, mengisi setiap sudut ruangan, memantul dari dinding-dinding berdebu. "Hak? Hak siapa? Hak ibumu yang lemah itu? Hakmu yang tidak tahu apa-apa? Rumah ini, tanah ini, semua ini… seharusnya milikku! Milikku dari dulu! Tapi dia… dia selalu mendapatkan semuanya!"

Wanita itu melangkah lebih cepat sekarang, mendekati Risa. Risa bisa melihat kilatan gila di mata Bibi Lastri, pupilnya membesar, seolah dicengkeram amarah yang sudah lama terpendam. "Dia merebut semuanya dariku! Kasih sayang orang tua, warisan, perhatian… bahkan ayahmu! Dia… selalu menjadi bayangan yang menghantuiku!"

"Ayah? Apa maksud Bibi?" Risa terhuyung mundur, punggungnya menempel ke dinding dingin. Aroma karat bercampur dengan bau debu dan sesuatu yang amis. Ia mencoba mencari jalan keluar, matanya melirik ke segala arah. Pintu rahasia itu adalah satu-satunya jalan, tapi Bibi Lastri berdiri di antara dia dan kebebasan.

"Ayahmu… dia awalnya menyukaiku, kau tahu?" Bibi Lastri mendesis, suaranya kini dipenuhi kebencian yang mendalam. "Tapi kemudian ibumu datang, dengan senyum manisnya, dengan pura-pura polosnya, dan merebutnya! Dia merebut semuanya! Dan sekarang… sekarang aku akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku!"

Bibi Lastri mengacungkan pisau, maju selangkah. Risa merasakan ujung pisau itu nyaris menyentuh helaan napasnya. Rasa dingin yang mematikan. Ia bisa melihat bayangan dirinya sendiri di bilah tajam itu, terdistorsi, ketakutan.

"Rumah ini… warisan ini… semuanya akan jadi milikku! Dan tidak akan ada yang tahu apa-apa! Seperti ibumu…" Suara Bibi Lastri merendah, menjadi bisikan keji yang lebih mengerikan dari teriakannya. "Tidak akan ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu."

"Malam itu… Malam Ibu meninggal?" Risa berhasil menelan ludahnya, memaksa dirinya tetap fokus. "Bibi… Bibi ada di sana? Bibi yang melakukannya?"

Senyum mengerikan kembali merekah di wajah Bibi Lastri. Ia mengangguk pelan, matanya berbinar aneh. "Oh, aku ada di sana. Tentu saja aku ada di sana. Aku melihatnya. Aku merasakannya. Aku… melakukannya." Kata terakhir diucapkan dengan nada puas yang membuat Risa mual.

"Tidak mungkin…" Risa menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang. Ini terlalu brutal, terlalu kejam untuk bisa ia percaya. Wali yang selama ini merawatnya, menyayanginya (atau setidaknya pura-pura), adalah pembunuh ibunya? "Kenapa? Bibi kenapa?"

"Kenapa?" Bibi Lastri mengulang, nada suaranya berubah menjadi ejekan. "Karena dia tidak pernah tahu bagaimana menghargai apa yang dia miliki! Karena dia selalu menganggap remehku! Dan kamu… kamu akan sama! Kamu akan mewarisi sifatnya! Aku tidak akan membiarkannya!"

Bibi Lastri mengangkat pisau tinggi-tinggi. Kilatan baja itu memantul di mata Risa, seolah sebuah takdir yang tak terhindarkan. Risa merasakan napasnya tertahan di tenggorokan. Ini bukan lagi ancaman. Ini adalah niat membunuh yang nyata. Insting bertahan hidupnya berteriak, memaksa tubuhnya bergerak.

Dengan sisa tenaganya, Risa menyambar kotak perak yang terjatuh di samping kakinya. Ia melemparnya dengan sekuat tenaga ke wajah Bibi Lastri. Kotak itu menghantam pelipis Bibi Lastri dengan bunyi tumpul. Wanita itu terhuyung, berteriak kaget, tangannya yang memegang pisau sedikit goyah.

Kesempatan! Ini adalah satu-satunya kesempatan! Risa tak membuang waktu. Ia melesat, menerobos celah sempit di samping Bibi Lastri yang masih mengaduh, dan melarikan diri ke dalam lorong gelap di balik pintu rahasia.

Langkah kakinya menggema di lorong sempit yang berbau apek. Debu beterbangan, menyesakkan napas. Ia tidak tahu ke mana arah lorong ini, tapi ia tidak peduli. Yang penting adalah menjauh dari Bibi Lastri. Menjauh dari pisau itu. Menjauh dari kebenaran yang baru saja merobek dunianya.

Di belakangnya, ia bisa mendengar derap langkah Bibi Lastri yang cepat, disertai raungan kemarahan yang mengerikan. "Risa! Kembali kamu! Kamu tidak akan bisa lari! Kamu tidak akan pernah bisa lari dariku!"

Suara itu semakin dekat. Risa mempercepat larinya, jantungnya berpacu seolah ingin keluar dari dada. Lorong itu berbelok tajam, lalu berakhir pada sebuah tangga kayu yang curam, naik ke atas. Tangga itu berderit setiap kali ia menginjaknya, seolah keberatan menahan bebannya.

Ia naik, satu per satu anak tangga, berharap ini akan membawanya ke tempat yang aman. Tapi rumah ini… rumah ini tak pernah aman. Setiap sudutnya menyimpan rahasia, setiap bayangannya menyembunyikan ancaman.

Sesampainya di puncak tangga, Risa menemukan dirinya berada di sebuah ruangan kecil yang berdebu. Sebuah loteng. Cahaya bulan tipis menerobos dari celah-celah genting yang rusak, menerangi siluet tumpukan barang-barang usang. Karung-karung berisi kain lusuh, kotak-kotak kayu tua, dan sebuah cermin besar yang berdiri miring di sudut, permukaannya buram.

Risa terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Ia berbalik, mencari tempat bersembunyi. Tidak ada. Loteng ini adalah jebakan. Ia terperangkap. Suara langkah kaki Bibi Lastri terdengar semakin jelas, kini sudah mencapai dasar tangga. Ia bisa mendengar wanita itu mendengus marah, mencarinya.

"Risa! Jangan sembunyi! Keluar kamu!" Suara Bibi Lastri menggema dari bawah, terdengar begitu dekat. "Tidak ada gunanya! Kamu tidak akan bisa pergi dari sini!"

Risa menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila. Otaknya bekerja keras, mencari solusi. Ia melihat ke sekeliling, matanya tertuju pada cermin besar di sudut. Cermin itu tampak tua, permukaannya retak di beberapa bagian, dan pantulannya buram.

Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin yang menusuk. Bukan dingin dari loteng yang pengap, melainkan sensasi yang familiar, sensasi yang selalu menyertai kehadiran yang tak kasat mata. Bulu kuduknya merinding. Ia bukan sendirian di loteng ini.

Refleks, Risa menoleh ke arah cermin. Di dalam pantulan buram itu, di samping bayangan dirinya yang ketakutan, sebuah sosok samar mulai terbentuk. Sosok seorang wanita dengan rambut panjang tergerai, mengenakan gaun putih yang lusuh. Wajahnya pucat, matanya kosong, namun sorotnya dipenuhi kesedihan yang mendalam. Arwah ibunya.

Arwah itu tidak bersuara, namun Risa bisa merasakan kehadirannya, getaran energinya yang lembut namun mendesak. Arwah itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah belakang cermin. Seolah ingin mengatakan sesuatu. Ada sesuatu di sana.

"Risa! Kamu di mana!" Suara Bibi Lastri sudah sampai di puncak tangga. Wanita itu melangkah masuk ke loteng, matanya memicing, mencari-cari di antara tumpukan barang. Pisau di tangannya masih berkilat mematikan.

Risa hanya punya hitungan detik. Ia harus mempercayai ibunya. Dengan tangan gemetar, ia meraba bagian belakang cermin. Ada sebuah celah. Sebuah gagang besi kecil yang tersembunyi di balik bingkai kayu usang. Ini… ini bukan cermin biasa.

Bibi Lastri melihat Risa berdiri di depan cermin, tangannya terangkat. "Ketemu kamu! Sekarang, kemari! Jangan coba-coba lari lagi!"

Bibi Lastri melangkah mendekat, pisau terangkat tinggi, siap untuk diayunkan. Risa menarik gagang itu dengan sekuat tenaga. Ada bunyi derit keras, dan cermin itu, yang ternyata adalah sebuah pintu rahasia, terbuka ke dalam kegelapan yang lebih pekat. Angin dingin berhembus keluar dari balik pintu, membawa serta bau tanah basah dan lumut.

"Tidak!" Bibi Lastri berteriak, menyadari apa yang Risa lakukan. Ia mempercepat langkahnya, menerjang ke arah Risa. Tapi sudah terlambat.

Dengan pandangan terakhir ke arah pantulan ibunya yang kini tersenyum tipis di dalam cermin, seolah memberi restu, Risa melompat masuk ke dalam celah gelap itu, tepat sebelum ujung pisau Bibi Lastri mengoyak udara di tempat ia berdiri beberapa saat yang lalu.

Pintu rahasia itu berayun tertutup di belakangnya, meninggalkan Bibi Lastri yang berteriak frustasi di loteng, dan Risa yang kini jatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!