"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Darah di Atas Perjanjian
Malam di kediaman Adhyaksa tidak pernah benar-benar sunyi. Di balik kemegahan dinding marmer dan penjagaan ketat para pria berseragam, Risa Permata merasa seperti seekor burung nuri yang sayapnya telah patah, namun dipaksa menari di atas bara api. Suara Revano di telepon yang ia dengar semalam masih terngiang-ngiang, membakar sisa-sisa harapannya tentang adanya seorang "pahlawan".
Revano Adhyaksa, pria yang ia pikir adalah penyelamat, ternyata hanyalah versi yang lebih elegan dan jauh lebih berbahaya dari Doni Wijaya. Jika Doni adalah serigala yang rakus, maka Revano adalah naga yang dingin—dia tidak hanya menginginkan hartanya, dia menginginkan segalanya tanpa menyisakan satu keping pun.
Pagi ini, Risa dipaksa duduk di kursi roda untuk dibawa ke ruang kerja Revano yang luas. Di atas meja kaca yang jernih, telah tersedia dokumen pernikahan kontrak yang tebal.
"Tanda tangani ini, Risa. Hari ini kita akan mendaftarkannya ke catatan sipil secara khusus," ujar Revano tanpa mengalihkan pandangan dari tablet di tangannya. Auranya pagi ini terasa lebih tajam, seolah-olah ia sedang tidak ingin dibantah sedikit pun.
Risa menatap dokumen itu dengan pandangan kosong. "Kau bilang kau berbeda dari Doni. Tapi kau juga hanya menginginkan koordinat itu, kan?"
Revano berhenti sejenak, ia menaruh tabletnya dan berjalan mendekati Risa. Ia membungkuk, menatap mata Risa dengan jarak yang sangat dekat. "Dunia bisnis bukan tempat untuk mencari cinta, Nona Permata. Aku menawarkanmu perlindungan yang tidak bisa diberikan siapa pun di negeri ini. Aku menawarkanmu kepala keluarga Wijaya di atas nampan perak. Harganya hanyalah koordinat tambang ayahmu. Bukankah itu kesepakatan yang sangat murah?"
"Dan setelah kau mendapatkannya? Kau akan membuangku seperti sampah, kan?" desis Risa.
Revano menyeringai dingin. "Aku tidak membuang aset yang masih bisa digunakan. Jika kau menjadi istriku, kau akan tetap aman. Itu janji seorang Adhyaksa."
Risa baru saja hendak meraih pena ketika sebuah ledakan keras mengguncang gerbang depan mansion Adhyaksa.
BOOOOM!
Suara sirine darurat segera meraung di seluruh kediaman. Lampu merah berkedip-kedip, menciptakan suasana mencekam seketika.
"Tuan! Ada serangan dari kelompok bersenjata! Mereka menerobos gerbang barat!" suara Leo, asisten Revano, terdengar panik melalui interkom.
Revano segera berdiri, wajahnya tidak menunjukkan ketakutan, melainkan amarah yang murni. "Siapa yang berani?!"
"Laporan masuk... itu kelompok Doni Wijaya! Dia berhasil melarikan diri dari tahanan kota saat pemindahan tadi subuh! Dia membawa anak buah sindikat dari perbatasan!"
Risa membelalak. Doni? Bagaimana dia bisa lepas?
Konfrontasi terjadi begitu cepat. Doni yang sudah kehilangan segalanya kini bertindak seperti anjing gila yang tidak takut mati. Dengan bantuan Melati dan koneksi gelapnya, ia melakukan serangan bunuh diri ke kediaman Adhyaksa hanya untuk satu tujuan: Mengambil Risa kembali atau membunuhnya agar tidak jatuh ke tangan Revano.
Suara baku tembak terdengar semakin mendekat ke arah ruang kerja. Revano segera mengeluarkan pistol dari balik laci mejanya. Ia menarik kursi roda Risa menuju sebuah ruangan rahasia di balik rak buku.
"Tetap di sini! Jangan keluar sampai aku menjemputmu!" perintah Revano sebelum ia keluar untuk memimpin anak buahnya.
Namun, pengkhianatan terjadi di dalam benteng itu sendiri.
Saat Revano sudah pergi, salah satu penjaga yang bertugas menjaga pintu ruangan rahasia itu tiba-tiba menembak rekannya sendiri. Ia membuka pintu dan menyeret Risa keluar.
"Doni sudah menunggumu, Nyonya Muda," bisik penjaga pengkhianat itu.
Risa diseret melewati lorong yang penuh dengan asap dan bau mesiu. Di ruang tamu utama yang kini hancur berantakan, Doni berdiri dengan pakaian tahanan yang kotor, memegang sebuah senapan laras panjang. Wajahnya dipenuhi luka dan matanya memancarkan kegilaan yang absolut.
"RISA!" teriak Doni saat melihat istrinya. "Kau pikir kau bisa lari dariku ke pelukan pria kaya ini?!"
Doni menembak penjaga pengkhianat itu tepat di kepala setelah tugasnya selesai, lalu ia mendekati Risa yang terjatuh dari kursi rodanya.
"Kembalikan surat itu! Mana koordinatnya?!" geram Doni sambil menjambak rambut Risa. "Pamanmu Hari sudah mati, Ayahku sudah di penjara, aku tidak punya apa-apa lagi! Aku butuh koordinat itu untuk membeli hidupku di luar negeri!"
"Aku tidak memilikinya, Doni! Berhenti menyiksaku!" tangis Risa pecah.
Doni mengeluarkan sebilah pisau komando. Ia menekan ujung pisau itu ke leher Risa yang masih memar. "Jangan bohong! Aku tahu kau memegang surat wasiat asli Baskoro! Berikan padaku atau aku akan menggorok lehermu sekarang juga di depan calon suami barumu!"
Tiba-tiba, Revano muncul dari arah tangga atas bersama Leo. Senjatanya diarahkan tepat ke kepala Doni.
"Lepaskan dia, Doni. Kau sudah terkepung," suara Revano terdengar sangat tenang, namun matanya memancarkan haus darah.
"Mundur, Adhyaksa! Satu langkah lagi, dan darah jalang ini akan membasahi lantaimu!" Doni berteriak histeris. Ia menarik Risa hingga berdiri, menggunakan tubuh Risa sebagai perisai manusia.
Konfrontasi berdarah itu terjadi di tengah kemewahan yang kini hancur. Doni yang putus asa mulai mengiris sedikit kulit leher Risa, membuat darah segar mengalir membasahi gaun rumah sakitnya.
"Doni, hentikan! Kau akan mati jika melakukan ini!" teriak Risa di tengah rasa sakitnya.
"Aku sudah mati sejak kau mengkhianatiku, Risa! Sejak ayahmu menghina keluargaku!" Doni menoleh ke arah Revano. "Kau mau koordinat itu? Aku punya sesuatu yang lebih baik. Aku punya pengakuan bahwa kau juga yang merencanakan kebangkrutan ayah Risa dari kota, kan?! Kau menggunakan ayahku untuk menjatuhkan Baskoro!"
Risa membeku. Ia menoleh ke arah Revano. "Apa?"
Revano tetap diam, wajahnya sedingin es. Namun kilatan di matanya membuktikan bahwa apa yang dikatakan Doni ada benarnya. Revano bukanlah penyelamat yang datang terlambat—dia adalah dalang yang mengatur semua bidak ini agar ia bisa membeli aset Permata dengan harga murah saat semuanya sudah hancur.
"Lihat, Risa! Kau berlari dari satu pembunuh ke pembunuh lainnya!" Doni tertawa terbahak-bahak, sebuah tawa yang terdengar sangat menyayat hati.
Di saat Doni lengah karena tertawa, Revano melepaskan tembakan.
DOR!
Peluru mengenai bahu Doni. Doni mengerang dan terjatuh, namun saat ia jatuh, ia dengan sengaja menarik Risa bersamanya dan mengayunkan pisaunya secara liar.
Pisau itu menghujam dalam ke perut Risa.
"AAAAAAKH!" Risa memekik memilukan.
Revano segera menerjang maju dan melepaskan tembakan beruntun ke dada Doni hingga pria itu tewas seketika di tempat. Darah Doni menyiprat ke wajah Risa.
Revano menangkap tubuh Risa yang mulai ambruk. Ia menekan luka di perut Risa dengan tangannya. "Risa! Tetaplah sadar! Panggil tim medis!" teriak Revano pada Leo.
Risa menatap Revano dengan pandangan yang mulai kabur. Darah mengalir deras dari perutnya, membasahi lantai marmer putih Adhyaksa. Ia merasakan dingin yang luar biasa mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Jadi... kau juga... yang menghancurkan Ayah..." bisik Risa dengan sisa tenaganya.
Revano terdiam sejenak. Ia menatap Risa dengan pandangan yang sulit dibaca—antara rasa bersalah dan tekad bisnis yang dingin. "Dunia ini kejam, Risa. Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan seorang pemimpin. Tapi aku berjanji akan menjagamu sekarang."
Risa tertawa lirih, darah keluar dari mulutnya. "Menjagaku? Kau hanya... ingin memastikan aku... tidak mati sebelum memberikan... koordinat itu..."
Risa memejamkan matanya. Ia merasa jiwanya mulai melayang keluar dari tubuhnya yang hancur. Konfrontasi berdarah ini telah merenggut nyawa Doni, namun ia juga telah merenggut sisa hidup Risa.
Di ambang kematiannya, Risa tiba-tiba teringat surat dari ibunya yang dulu dibakar Doni. Ia teringat sebuah kalimat yang selalu ibunya ucapkan: "Risa, permata yang asli baru akan bersinar saat ia ditekan oleh kegelapan yang paling dalam."
Ia menyadari bahwa di kehidupan pertama ini, ia hanyalah korban dari semua orang. Ayahnya, Doni, Paman Hari, hingga Revano—semuanya memanfaatkannya.
Tiba-tiba, detak jantung Risa di monitor (yang dibawa tim medis masuk) melambat dengan drastis. BIP... BIP... BIP...
"Nona Risa! Jangan menyerah!" suara Bi Nah terdengar dari kejauhan, pelayan itu entah bagaimana berhasil menyusup ke mansion untuk menemui nonanya.
Namun, Risa sudah tidak ingin berjuang lagi. Tubuhnya sudah terlalu hancur. Punggung yang dicambuk, kaki yang dipatahkan, jari yang hancur oleh bahan kimia, dan kini perut yang ditikam. Ia ingin tidur. Ia ingin bertemu ayahnya.
Saat kesadarannya hampir hilang sepenuhnya, ia merasakan Revano merogoh saku bajunya, mencari kancing perekam atau kunci perak itu.
Bahkan di saat aku sekarat... kau tetap mencari aset itu, Revano... batin Risa dengan kebencian yang mencapai puncaknya.
"Bawa dia ke ruang operasi darurat! Dia tidak boleh mati sekarang!" bentak Revano pada para dokter.
Risa dibawa pergi dengan brankar yang berlumuran darah. Ia melewati mayat Doni yang tergeletak di ruang tamu. Ia melihat Melati yang tertangkap oleh anak buah Revano sedang berteriak-teriak histeris.
Semua kekacauan ini, semua darah ini, semuanya karena keserakahan manusia.
Di dalam ruang operasi, saat para dokter berjuang menjahit luka di perutnya, Risa mengalami mati suri. Di dalam kegelapan itu, ia tidak melihat cahaya putih. Ia melihat sebuah layar transparan yang bercahaya biru redup, mengambang di depan matanya yang tertutup.
[TING! KONDISI KRITIS TERDETEKSI.]
[GELOMBANG DENDAM SUBJEK: 99%.]
[SISTEM SEDANG MELAKUKAN PEMINDAIAN DATA KEHIDUPAN...]
Risa bingung. Apa ini? Apakah ini halusinasiku sebelum mati?
Tiba-tiba, suara mekanik terdengar di kepalanya.
[WARNING: REINKARNASI BELUM DAPAT DILAKUKAN. SUBJEK HARUS MENYELESAIKAN EMPAT TAHAP PENDERITAAN TERAKHIR UNTUK MENCAPAI POIN KEMATIAN SEMPURNA.]
Detak jantung Risa kembali normal secara ajaib. Para dokter terkejut melihat tanda vitalnya yang mendadak stabil tanpa bantuan obat. Risa membuka matanya kembali di ruang operasi. Ia masih berada di kehidupan pertamanya. Ia masih harus menderita lebih jauh lagi.
Ia menyadari bahwa sistem ini memberitahunya sesuatu yang mengerikan: Ia belum boleh mati. Ia harus merasakan pengkhianatan terakhir di Bab 18, 19, dan 20 sebelum ia bisa terlahir kembali.
Risa menatap lampu operasi yang menyilaukan. Air matanya mengalir.
Bahkan maut pun... tidak mau menerimaku sekarang...