Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Bunga Busuk, Tatapan Danau Mati
...Chapter 17...
Angin nan semula tenang kini berubah menjadi lirih tajam, mengiris di antara helai rambut dan kain panjang yang berkibar tanpa arah.
Alldraya berdiri tegak, tubuhnya seperti bayangan yang diukir dari batu, tidak goyah, tetapi juga tidak benar-benar hidup.
Di depannya, Erietta berdiri dengan senyum nan terlalu halus untuk disebut lembut, senyum yang membawa aroma ancaman seperti bunga busuk yang disiram parfum mahal.
Di tengah jarak itu, udara menjadi medan perang tak kasat mata, memelintir antara dua niat yang sama-sama menganggap diri mereka benar.
Mata Aldraya, yang dinginnya menyerupai pantulan baja di dasar danau mati, beradu dengan tatapan Erietta yang mengandung api berlapis kabut.
Tak ada kata yang diucapkan, tak ada pergerakan berarti selain perubahan kecil pada napas masing-masing.
Setidaknya untuk saat ini.
Namun dalam diam itulah lahir ketegangan nan lebih dalam daripada peperangan yang memuntahkan darah.
Theo Vkytor, yang berdiri sedikit di belakang, menyaksikan semuanya dalam kesunyian yang terasa lebih bising daripada gemuruh.
Ia tahu, tidak satu pun dari mereka yang akan mengalah tanpa menumpahkan sesuatu yang tak bisa dikembalikan.
‘Harga diri, kebanggaan, atau mungkin keyakinan bahwa mereka berjuang di sisi yang benar.’
Pikiran Theo terhuyung di antara dua kutub itu.
Ada sesuatu di balik semua pandangan, sesuatu nan menolak untuk disebut takdir, tetapi terlalu rapat untuk disebut kebetulan.
Ia bukan bagian dari duel mereka, namun setiap detik yang lewat membuat tubuhnya seolah ikut tertarik ke dalam pusaran begitu serupa.
Setiap gerakan kecil, setiap perubahan ekspresi, menyentuhnya di tempat-tempat yang bahkan ia sendiri belum pahami.
Ia menyadari bahwa kebenaran—sebagaimana kesesatan—bukan lagi dua sisi yang saling menolak, melainkan dua jari nan menempel di tangan serupa, menampar wajah siapa pun yang mencoba mendefinisikan.
Kebenaran, pikirnya, hanyalah bayangan nan berganti bentuk tergantung siapa yang berdiri di bawah cahaya.
“Menarik mendengarmu bicara dengan nada seserius itu, Aldraya.
Kau berbicara tentang kejujuran dan aturan dengan begitu luhur, sementara hidupmu sendiri tidak sepenuhnya dibangun atas kehormatan dari langit.
Aku sering bertanya-tanya, dari mana kau mendapatkan keyakinan untuk berbicara seolah-olah kau dilahirkan di menara kristal?”
“Keyakinan dalam berbicara bukanlah hak eksklusif mereka yang berdarah biru, Erietta.
Justru mereka yang pernah berjuang di lapisan terbawah, paling paham perbedaan antara ketulusan dan kepura-puraan.”
“Jadi sekarang kau menyamakan tanah dengan bintang?”
Tentu saja bagimu semua terlihat hitam putih—orang yang terbiasa hidup di bawah memang mahir menyamaratakan segalanya.
Sayangnya, dunia tidak sesederhana itu.”
“Kau benar.
Dunia tidak sesederhana itu.
Karena itulah, sebagian orang belajar bertahan tanpa perlu mengkhianati siapapun.
Tidak seperti beberapa orang yang dengan mudah menukar integritas demi jalur cepat.”
“Jalur cepat? Mungkin karena tidak semua orang diberi kemewahan untuk menunggu belas kasihan takdir, Aldraya.
Ada saatnya seseorang harus berjuang dengan caranya sendiri, meski harus menginjak-injak batasan yang kau anggap suci.”
“Melanggar batas bukan bukti ketangguhan, Erietta.
Itu hanya cerminan kerapuhan yang terselubung rapat di balik senyum sombong.
Dan pada akhirnya, segala yang dibangun di atas fondasi rapuh pasti akan ambruk.
Cepat atau lambat.”
“Mungkin. Tapi setidaknya aku tidak bersembunyi di balik kisah suci, lalu memakainya untuk menghakimi orang lain.
Kau bisa berkoar tentang kebenaran semaumu, tapi ucapanmu terasa seperti nyala lilin yang hampir padam.”
“Dan mungkin itulah mengapa kau takut pada cahaya, Erietta—karena dalam terang, semua topeng akan tersingkap.”
'Aku harus menghentikan ini.'
Fuuuush!
'Tapi mungkin... belum saatnya.
Aku ingin tahu sejauh apa batas mereka sebelum api benar-benar membesar.’
Dan ya, dari sana segalanya bergulir seperti bola salju yang turun dari puncak kutukan.
Sindiran pertama meluncur dari bibir yang seolah tidak bergetar, namun memantulkan makna nan cukup untuk meretakkan batu.
Disusul sindiran kedua, ketiga, dan seterusnya, di mana tiap kata seperti kilatan pisau yang saling beradu di udara, memercikkan api tak terlihat namun terasa di kulit.
Udara di antara Aldraya dan Erietta menegang bagai tali busur yang ditarik tanpa niat untuk dilepaskan.
Sementara itu, Theo hanya berdiri di pinggir pusaran, menahan napas di tengah aroma pertentangan yang tak lagi sekadar adu prinsip, melainkan tarian halus dari kebencian nan tersenyum.
Cahaya di sekitar mereka bak ikut terseret dalam permainan ini.
Setiap pantulan di mata Aldraya menjadi garis tegas nan memotong ruang, sedangkan sorot Erietta melengkung halus seperti arus air yang mencari celah untuk menghanyutkan.
Tak ada yang berteriak, tak ada nan menurunkan nada, namun setiap kalimat yang keluar menambah panas di sekitar mereka.
Theo mulai rasakan denyut di pelipisnya sendiri, detak nan meniru irama dua jiwa yang tengah bertabrakan dalam medan yang tak membutuhkan senjata.
Ia bisa saja melangkah ke depan, mengakhiri semua ini.
Tetapi sesuatu menahannya, sesuatu yang samar antara rasa takut dan rasa ingin tahu terhadap bagaimana semua akan meledak.
Dalam pikirannya, Theo melihat bagaimana percakapan itu telah kehilangan wujud asli.
Ia tidak lagi mendengar kata, melainkan bunyi logam nan saling menyeret, bunyi bara yang disiram hujan.
Kebenaran dan kesesatan yang tadi dikibarkan seolah sudah tak memiliki bentuk.
Yang tersisa hanyalah dua kehendak nan bersaing untuk diakui semesta, dua keinginan untuk menjadi satu-satunya cahaya yang layak disebut benar.
Dalam bayangannya, Theo tahu betapa mudah semua ini berakhir dengan kehancuran—namun pada saat bersamaan, ada pesona aneh dalam kehancuran itu sendiri.
Jadi ia memilih diam, menunggu, membiarkan percikan itu menjadi api.
“Jadi begini caramu membuktikan kebenaran, Aldraya?
Dengan menyembunyikan kesombonganmu di balik kata-kata manis? Kau bicara seolah segalanya bisa ditebus dengan prinsip, tapi bahkan kau sendiri tak tahu arti kesetiaan terhadap apa yang kau yakini."
“Kesetiaanmu? Pada apa? Pada ambisi yang kau ciptakan dari kebohongan?
Jangan menuding orang lain hanya karena cerminmu sendiri retak, Erietta.”
“Kau tidak tahu apa pun tentangku.
Kau cuma bersembunyi di balik reputasi murid teladan, tapi di dalamnya kau sama rapuhnya dengan semua orang yang kau remehkan.”
“Kalau memang begitu, buktikan.
Tunjukkan padaku apa yang membuatmu layak bicara soal harga diri.”
"Dengan senangnya."
'Kukira ini cuma adu mulut biasa. Tapi astaga, ini sudah di luar kendali!'
"Berh—"
Duaarr!
Mulanya rencana Theo begitu, sederhana dan terukur—setidaknya dalam pikirannya sendiri.
Ia akan menunggu momentum paling tepat, waktu ketika ego keduanya retak dan bisa diselipkan secuil logika agar pertikaian ini berhenti tanpa darah.
Namun harapan itu lenyap ketika napas mereka berubah menjadi senjata.
Dalam sekejap, dua sosok yang sebelumnya saling menyindir kini berubah menjadi dua bintang nan hampir meledak.
Pedang Erietta terangkat tinggi, mengarah ke telinga kiri Aldraya, sementara bilah milik Aldraya menempel di bawah dagu Erietta, hanya sejengkal dari menumpahkan warna merah yang akan merusak seluruh keseimbangan tempat itu.
Dunia seakan menahan napas, membiarkan keheningan menegangkan itu menjadi detik terakhir sebelum petir jatuh.
Theo sempat melangkah.
Satu langkah yang dikira akan cukup untuk mengubah arah nasib.
Namun sesuatu yang tak terlihat menyambarnya dari depan, menyerupai gelombang tak bernama yang menolak campur tangan.
Tubuhnya terhempas mundur dengan keras, meluncur di udara sebelum akhirnya punggung tersebut menghantam tanah.
Debu menari liar, berputar di sekeliling, membentuk pusaran kecil yang menyembunyikan pandangan dunia di balik tabir kekacauan.
Bersambung….