NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16

Tak butuh waktu lama, mobil Hendra akhirnya berhenti tepat di depan rumah yang dituju. Lampu depan mobilnya menyorot halaman yang tampak ramai oleh kerumunan warga.

Hendra mematikan mesin mobil, tetapi belum segera turun. Ia duduk diam beberapa detik di balik kemudi, pandangannya menyapu halaman yang dipenuhi warga. Wajah-wajah yang tegang, bisik-bisik yang terdengar samar, dan tatapan-tatapan yang sesekali mengarah ke teras rumah.

Namun bukan kerumunan itu yang pertama kali menarik pikirannya. Tatapannya terhenti pada rumah sederhana di hadapannya—rumah yang kemarin baru saja ia kunjungi. Rumah Amira.

Alisnya berkerut, dadanya terasa mengeras. Ada apa ini? Mengapa rumah Amira ramai seperti ini… dan bagaimana bisa Angga, berada di sini? Pikirnya dengan wajah tak percaya.

Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil dan keluar. Langkahnya mantap, namun sorot matanya menyiratkan kebingungan. Tak biasanya ia mendapati suasana semacam ini .

Beberapa warga menoleh padanya, bahkan berhenti bicara, menatap pria berpenampilan rapi yang baru saja tiba. Pikir mereka. Hendra sempat mengangguk singkat sebagai sapaan sopan, lalu pandangannya tertuju pada sosok Angga yang berdiri agak terpisah di dekat tiang pagar dengan ponsel masih tergenggam di tangannya.

“Angga…” Panggil Hendra dengan suara berat namun terkendali.

Angga menoleh cepat, raut wajahnya berubah sedikit kaget bercampur lega. “Pa…” Jawabnya singkat, menundukkan kepala sejenak. "Pa tolong aku. Aku di tuduh berbuat mesum dengan wanita ini, Pa!"

Hendra menoleh menatap Amira. "Amira,"

Angga tersentak. Namun tak langsung bicara.

"Om. Sungguh saya tidak pernah berbuat macam-macam dengan anak Om."

"Papa kenal wanita ini?" Ucap Angga kemudian.

Hendra mengangguk. Sontak, bukan hanya Angga yang terkejut, tapi juga beberapa warga yang berdiri di teras dan halaman rumah. Suasana yang tadinya sudah tegang kini terasa semakin pekat.

Beberapa warga saling berpandangan, berbisik-bisik lirih, mencoba menebak hubungan apa yang sebenarnya terjalin antara Hendra dan Amira. Pak Rahmat, sang ketua RT, yang penasaran mulai mendekat dan mulai menjelaskan semuanya dari awal.

Hendra tetap tenang. Ia hanya mengangguk-angguk, sama sekali tak memperdulikan tuduhan yang beredar. Ia percaya pada Amira—ia tahu gadis itu adalah anak dari sahabatnya, seorang wanita yang baik dan tulus. Namun, keputusan warga untuk menikahkan Amira dengan Angga, anaknya, dirasa itu semua memang keputusan yang tepat.

"Papa setuju kalian menikah."

Angga dan Amira saling terkejut.

"Pa!" Nada Angga menaik tinggi. Ia melangkah mendekati sang Ayah. "Pa aku gak ngelakuin itu semua, Pa! Papa apa-apaan si percaya sama mereka?!"

Hendra segera menarik lengan Angga sedikit menjauh. "Papa percaya kamu gak melakukan itu semua."

"Ya, terus?!"

“Angga, Amira ini anak sahabat Papa, Renaldi. Kamu tahu sendiri kan, keluarga kita sangat berhutang budi pada keluarga Amira,” Jelas Hendra, matanya tajam namun nada suaranya tenang, seakan ingin menekankan pentingnya situasi itu.

Angga menatap ayahnya, rahangnya menegang. “Papa cuma mau bawa dia ke rumah kita, bukan berarti harus menikah dengan aku, Pa!” Suaranya meninggi, campuran antara marah dan frustrasi.

Hendra menggeleng perlahan. “Ini takdir, Angga,” Jawabnya datar, nada suaranya penuh keyakinan.

Angga mendesis pelan, matanya beralih ke Amira, lalu kembali menatap Hendra dengan raut tidak percaya. “Papa memang berencana untuk hal ini,” Gumamnya, seolah mengulang perkataan ayahnya yang sulit diterima hati.

Amira, yang selama ini menunduk, akhirnya melangkah mendekat. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, dan suaranya bergetar. “Maaf, Om… apa maksud Om? Saya… saya tidak pernah dan tidak ingin menikah dengan anak Om."

Hendra menatap Amira dengan lembut, namun tetap tegas. “Nak, ini bukan soal keinginan semata. Ini soal menjaga nama baik, tanggung jawab keluarga, dan juga… ketenanganmu sendiri dari gosip yang sudah beredar. Dan yang lebih penting. Ini adalah amanat dari Ayah kamu untuk Om laksanakan.”

"A-Apa maksud, Om?"

Hendra merogoh sesuatu dari balik saku jas kantornya. Jemarinya mengambil secarik kertas yang terselip rapi, lalu menatap Amira sejenak sebelum menyerahkannya. "Bacalah, Nak."

"Saya sudah membacanya kemarin, Om. Bahkan surat itu masih di tangan saya."

"Isinya berbeda." Sanggah Hendra dengan anggukkan dan tatapan lembut penuh rasa bijak.

Amira menoleh, ragu-ragu, lalu menerima kertas itu dengan tangan gemetar. Tangannya yang halus menggenggam erat secarik kertas, seolah takut benda itu akan menghadirkan kejutan. Apalagi yang harus diterimanya sekarang.

Warga yang menyaksikan sejenak terdiam, penasaran dengan isi kertas itu, sementara Angga, yang menatap ayahnya dengan mata sedikit melebar, ikut melirik secarik kertas yang kini berada di tangan Amira. Matanya mengikuti setiap gerak Amira saat ia perlahan membuka lipatan kertas itu, dan dadanya terasa tegang.

Amira menatap kertas itu beberapa saat, kemudian membaca setiap kata dengan perlahan, seakan ingin memastikan maknanya. Raut wajahnya berubah—antara terkejut, sesak, dan pedih yang menusuk hatinya.

Angga menatap Amira dengan cemas. Tubuhnya maju cepat, dan dengan sigap ia merebut kertas itu dari tangan Amira, matanya menatap setiap kata yang tertulis di atasnya. Wajahnya berubah serius, alisnya sesekali berkerut. Usai membaca dengan seksama, ia meremas kertas itu sekuat tenaga hingga menjadi bulatan seperti bola lalu melemparnya. Tangannya mengepal, rahangnya menegang, dan matanya menyala-nyala menahan amarah. “Apa-apaan ini?!” Serunya, suaranya pecah oleh kemarahan dan kebingungan.

"Angga, kamu harus menikahi Amira."

"Aku gak mau!" Tandas Angga langsung. "Ini konyol, Pa!" Katanya sambil menoleh menatap sang Ayah lagi. "Papa tega biarin aku nikah sama wanita yang sama sekali gak pernah Angga kenal bahkan Angga cintai?!"

Hendra kembali menarik lengan Angga menjauh. "Ini bukan keinginan Papa, Angga. Ini keinginan Renaldi untuk menitipkan Amira di tangan kamu!"

Angga mendesis. "Terus Papa mau aja gitu di suruh-suruh sama orang yang udah mati!"

Amira menelan ludah, bibirnya bergetar. Ia mendengar kata-kata itu, dan hatinya terasa pedih saat nama sang Ayah di sebut dengan pernyataan itu. Suaranya nyaris tak terdengar saat ia mencoba berkata, namun akhirnya hanya bisa menunduk, menahan rasa kecewa dan cemas yang bercampur aduk. Sedangkan, Pak Rahmat dan kerumunan warga yang menyaksikan terdiam, menyadari ketegangan yang kian memuncak.

“Kamu tahu apa yang selama ini kita dapatkan kalau bukan karena hasil dari Renaldi?" Ucap Hendra dengan suara bergetar. "Semua yang kita punya, semua bantuan, semua kesempatan … itu berkat dia. Dan kamu menjabat sebagai CEO perusahaan sekarang, siapa lagi kalau jalan itu bukan Renaldi yang arahkan. Sekarang, dia menitipkan Amira padamu. Ini bukan sekadar keinginan, Angga." Cecarnya.

Angga menelan ludah, dadanya berdebar, rahangnya mengeras. Kata-kata ayahnya menampar pikirannya seperti tamparan halus yang sulit dihindari. Ia ingin menolak, tapi kata-kata Hendra membuatnya tersentak.

Amira menunduk, merasakan pedih di dadanya. Bibirnya bergetar, menahan emosi yang bercampur antara takut, bingung, dan tersentuh oleh keseriusan Hendra. Jika Angga menyetujuinya, lantas bagaimana dengan Satria? Batinnya.

"Angga," Kata Hendra lagi. "Kalau kamu tidak bisa menikahi Amira, perusahaan yang kamu pegang … dan semua aset yang selama ini kamu kelola, akan Papa tarik kembali!”

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!