Malam itu, mereka mengubur seorang dukun. Yang bangkit adalah mimpi buruk mereka.
Kematian brutal Ki Anom melahirkan sumpah terkutuk. Kesalahan fatal saat pemakamannya melepaskan arwahnya dalam wujud Pocong pendendam. Desa Sukawaringin nyaris hancur oleh amukannya.
Lima tahun berlalu. Kedamaian yang mereka rebut dengan susah payah kembali terkoyak. Sebuah korporasi ingin mengosongkan desa mereka, dan mereka menyewa seorang ahli teror gaib, Ki Jagaraga, untuk melakukannya.
Ki Jagaraga tidak mengulangi sejarah. Ia menyempurnakannya.
Ia membangkitkan Ki Anom sebagai panglima pasukan orang mati, dan bersamanya... tiga Pocong Wedon. Arwah tiga wanita yang mati tragis, masing-masing membawa metode teror unik: satu dengan isak tangis di tepi sungai, satu dengan obsesi gila di sumur tua, dan satu lagi dengan nyanyian merdu yang menghipnotis.
Desa Sukawaringin kini dikepung. Warganya diteror satu per satu. Ini bukan lagi hantu yang tersesat, ini adalah invasi arwah yang terencana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Habibi Nurpalah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang di Ruang Ritual
Lantunan mantra dari dalam pesanggrahan itu semakin keras, semakin cepat, seolah sedang membangun sebuah kekuatan yang mengerikan. Juna, Bowo, dan Ustadz Badrul saling berpandangan di balik persembunyian mereka. Pilihan mereka hanya dua: lari selagi bisa, atau masuk sekarang dan menghadapi badai itu secara langsung.
Ustadz Badrul:
(Berbisik dengan suara mantap)
"Kita tidak akan dapat kesempatan kedua. Jika kita pergi, dia akan tahu kita sudah datang. Pertahanannya akan seribu kali lebih kuat nanti malam. Kita harus selesaikan ini... sekarang."
Tekad di mata sang Ustadz menular kepada dua lainnya. Rasa takut mereka masih ada, namun kini terdesak oleh sebuah keberanian yang putus asa.
Juna:
(Menyusun rencana dengan cepat)
"Ustadz yang hadapi dukunnya. Alihkan perhatiannya, kunci kekuatannya dengan doa. Mas Bowo, tugas kita adalah menghancurkan semua benda terkutuk di dalam sana. Hancurkan 'antena'-nya, Ustadz yang lumpuhkan 'operator'-nya."
Bowo mengangguk, tangannya menggenggam gagang golok hingga buku-buku jarinya memutih.
Mereka tidak lagi mengendap-ngendap. Dengan satu isyarat dari Ustadz Badrul, Bowo berlari ke sebuah pintu samping yang sudah lapuk. Dengan satu tendangan keras, pintu itu jebol dari engselnya.
BRAKKK!
Suara pintu yang hancur menggema di seluruh bangunan, seketika menghentikan lantunan mantra di dalam. Mereka bertiga menyerbu masuk.
Di tengah aula utama yang kotor dan penuh sarang laba-laba, Ki Jagaraga duduk bersila di depan altarnya. Matanya yang tadinya terpejam kini terbuka lebar. Bukan tatapan kaget, melainkan tatapan penuh amarah karena ritualnya diganggu. Aura hitam yang tipis dan bergetar mengelilingi tubuhnya.
"Tamu tak diundang," desisnya, suaranya serak dan dingin. "Kalian punya keberanian yang bodoh."
Tanpa basa-basi, ia mengangkat tangannya. Seketika, semua jendela dan pintu di pesanggrahan itu terbanting menutup dengan keras, menjebak mereka dalam kegelapan yang remang-remang. Debu dan serpihan kayu dari langit-langit berputar di udara, membentuk pusaran-pusaran kecil yang seolah ingin mencekik mereka.
Ustadz Badrul:
(Melangkah maju, suaranya menggelegar)
"Allahu Akbar!"
Ia mulai melantunkan ayat-ayat Kursi dengan suara lantang. Seketika, aura hitam di sekeliling Ki Jagaraga tampak goyah. Udara yang tadinya terasa berat dan menekan kini terasa sedikit lebih ringan di sekitar Ustadz Badrul. Pertarungan spiritual itu telah dimulai. Ki Jagaraga kini terfokus sepenuhnya pada Ustadz Badrul, mulutnya kembali komat-kamit merapal mantra balasan.
Juna:
"SEKARANG!"
Juna dan Bowo berpencar. Bowo, dengan amarah yang meluap, berlari ke arah timba sumur berkarat dan menghantamnya dengan golok.
TRANG! PRAKK!
Timba itu hancur berkeping-keping. Ki Jagaraga tersentak, seolah sebuah cambuk tak terlihat baru saja menghantam punggungnya.
Juna lebih cepat. Ia menyambar boneka kain dan selendang ungu di atas kursi. Ia mengeluarkan korek api dan sebotol kecil minyak tanah yang ia bawa. Ia menyiram kedua benda itu dan melemparkannya ke lantai yang kosong. Dengan satu jentikan, api menyala, melahap kedua benda itu dengan cepat.
Ki Jagaraga kembali mengerang, kali ini lebih keras. Keringat mulai membasahi dahinya. Konsentrasinya pecah, membuat lantunan doa Ustadz Badrul terdengar semakin dominan.
"CUKUP!" teriak Ki Jagaraga.
Ia menghentakkan telapak tangannya ke lantai. Dari boneka pocong yang terbuat dari tanah kuburan di atas altar, sebuah bayangan hitam pekat merayap keluar, membentuk sosok hantu yang semi-transparan namun penuh dengan kebencian. Sosok itu melesat ke arah Bowo dan Juna.
Bowo:
"Juna, urus altarnya! Biar ini aku yang hadapi!"
Bowo menyambut bayangan itu dengan ayunan goloknya. Setiap kali bilah goloknya (yang sudah sering dibawa Ustadz Badrul berzikir) mengenai bayangan itu, terdengar suara mendesis dan bayangan itu sedikit memudar, namun ia terus menyerang dengan membabi buta.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Juna. Ia berlari menuju altar. Ia tahu membakar gundukan tanah liat itu akan percuma. Ia harus menetralisirnya. Ia teringat cerita-cerita lama.
"Ustadz! Benda ini harus diapakan?!" teriaknya.
Di tengah pertarungan doanya, Ustadz Badrul berhasil berteriak.
Ustadz Badrul:
"AIR DAN GARAM, JUN! CAMPURKAN!"
Juna teringat kantung garam di sakunya. Dengan cepat ia merobeknya, menuangkan semua isinya ke dalam botol air minumnya, lalu mengocoknya dengan panik.
Bayangan Ki Anom berhasil mendorong Bowo hingga terjatuh. Kini ia berbalik dan melesat ke arah Juna.
Terlambat.
Juna membuka tutup botol dan menyiramkan seluruh isinya—air garam yang telah didoakan—ke atas boneka tanah liat itu.
SSSSHHHHHHHHH...
Reaksinya terjadi seketika. Boneka itu berasap hebat, mengeluarkan suara seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air. Tanah liat itu melepuh dan hancur, larut menjadi lumpur hitam yang berbau busuk.
"TIDAAAAAAKKKKKKKK!!!"
Jeritan itu bukan berasal dari Ki Jagaraga, melainkan dari bayangan Ki Anom yang kini ikut larut menjadi asap hitam dan lenyap.
Ki Jagaraga terlempar ke belakang seolah ditinju oleh kekuatan tak terlihat. Aura hitam di sekelilingnya pecah berkeping-keping seperti kaca. Ia terbatuk hebat, mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Kekuatannya telah diputus secara paksa. Ia kini hanyalah seorang pria tua dengan tatapan penuh kebencian.
Pesanggrahan itu mulai bergetar. Terdengar suara retakan dari dinding dan langit-langit. Energi gelap yang selama ini menopang bangunan tua itu telah lenyap.
Bowo segera menarik Juna yang masih syok. "Kita harus pergi dari sini, sekarang!"
Mereka berlari menuju pintu yang sudah mereka jebol. Ustadz Badrul menatap Ki Jagaraga yang tergeletak tak berdaya untuk terakhir kalinya.
Ustadz Badrul:
"Urusanmu sekarang bukan lagi dengan kami, tapi dengan Yang di Atas."
Mereka bertiga keluar dari pesanggrahan itu tepat saat sebagian atapnya mulai runtuh. Mereka tidak berhenti berlari hingga keluar dari batas Hutan Larangan.
Saat mereka akhirnya berhenti dan menoleh ke belakang, mereka disambut oleh pemandangan yang melegakan. Sinar matahari pagi kini menembus kanopi hutan yang tadinya gelap. Suara burung-burung mulai terdengar lagi.
Mereka kelelahan, penuh luka lecet dan memar, namun mereka berhasil.
Mereka menatap satu sama lain, tersenyum tipis di antara napas yang terengah-engah. Perang gaib ini telah mereka menangkan. Kepala ularnya telah mereka penggal.
Kini, yang tersisa hanyalah berurusan dengan orang yang telah menyewanya.
jangan lupa paket lengkapnya juga ya