Di Benua Timur Naga Langit sebuah dunia di mana sekte-sekte besar dan kultivator bersaing untuk menaklukkan langit, hidup seorang pemuda desa bernama Tian Long.
Tak diketahui asal-usulnya, ia tumbuh di Desa Longyuan, tempat yang ditakuti iblis dan dihindari dewa, sebuah desa yang konon merupakan kuburan para pahlawan zaman kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ar wahyudie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 24
Ruang sidang para tetua berada di jantung Menara Langit Putih, aula batu raksasa yang menjulang tanpa pilar, seolah ditopang oleh qi langit itu sendiri.
Di tengahnya, lingkaran meja spiritual berukir pola naga dan burung fenghuang memancarkan cahaya samar dari urat batu.
Udara di ruangan itu berat — tidak oleh panas, tapi oleh tekanan kehendak para tetua yang telah hidup ratusan tahun.
Elder Fang memejamkan mata, jemarinya menyentuh permukaan meja yang bergetar lembut oleh sisa energi.
Ia menarik napas panjang; udara bergetar halus, seolah seluruh ruangan menahan diri untuk mendengarkan.
“Dulu… sebelum Akademi ini berdiri,” suaranya tenang, tapi mengalun dalam, “ada sebuah ramalan.”
Nada suaranya mengandung resonansi kuno, membuat lidah api lilin spiritual menunduk seolah ikut mendengar.
“Bahwa suatu hari, ketika bumi dan langit saling menolak, akan lahir satu makhluk… yang menjadi jembatan di antara keduanya.”
Ia membuka mata perlahan. Pupilnya memantulkan kilau putih, seperti menatap sesuatu yang jauh melampaui ruang dan waktu.
“Mungkin… bocah itu bukan ancaman,” lanjutnya lirih, “tapi… jawaban.”
Keheningan turun seperti selimut tebal.
Tak ada satu pun elder yang bernapas keras. Bahkan napas mereka terasa seperti mengganggu keseimbangan udara di ruangan itu.
Lalu—
DUARRR!!!
Elder Mo menepuk meja.
Gelombang api spiritual meledak dari telapak tangannya; meja batu spiritual yang dibuat dari inti naga langit retak dari tengah.
Suaranya menggema ke seluruh aula seperti gelegar gunung meletus.
“Jawaban?” suaranya menggelegar. “Atau awal kehancuran?”
Tatapan matanya menyala merah membara.
Ia menatap satu per satu — Hua, Ming, Fang — seperti ingin membakar wajah mereka dengan pandangannya.
“Dengar aku baik-baik,” katanya pelan, tapi setiap suku katanya menggetarkan lantai batu.
“Aku sudah hidup tiga ratus tahun dan melihat kebangkitan serta kehancuran tiga generasi sekte besar. Tak satu pun manusia… tak satu pun! …yang bisa menahan kehendak langit tanpa harga.”
Ia mencondongkan tubuh, suara rendahnya bagai raungan api dalam gua.
“Kau ingin tahu apa harganya?”
Ia menatap tajam, suaranya retak oleh emosi yang menahan amarah dan ketakutan.
“Akademi ini. Kita semua.”
Kata-kata itu menggantung di udara.
Lama. Dingin. Berat.
Dan entah kebetulan atau tidak, langit di luar bergemuruh — rendah, jauh, tapi jelas.
Seolah dunia menjawab ancaman itu.
Elder Ming menoleh ke arah jendela besar.
Matanya menyipit, pantulan kilat samar menari di pupilnya.
“Langit…” bisiknya, “sepertinya… mendengar kita.”
Suara gemuruh berubah menjadi dentuman bergulung.
Dinding-dinding menara bergetar.
Lilin-lilin spiritual satu per satu padam — bukan karena angin, tapi karena tekanan spiritual yang menekan api mereka hingga mati.
Ruangan kini hanya diterangi cahaya kebiruan dari formasi pelindung yang bergetar di udara seperti napas makhluk hidup.
Para tetua berdiri bersamaan.
Aura mereka naik tanpa komando, memenuhi aula dengan pancaran kekuatan dari empat elemen: api, air, tanah, dan angin.
Udara berdesir, kain jubah berkibar, dan lantai retak di bawah tekanan qi mereka.
Dan di luar menara, para murid yang sedang berlatih menatap langit.
Awan di atas Akademi berputar membentuk pusaran raksasa, melingkar seperti mata surgawi yang mulai terbuka.
Di tengah pusaran itu, sebuah titik perak muncul—kecil, berdenyut seperti jantung.
Setiap denyutnya mengirimkan gelombang cahaya ke seluruh lembah.
Lalu…
suara terdengar.
Dalam, berat, dan suci.
Bukan dari bumi, bukan pula dari langit.
Sebuah suara yang langsung menggema di dalam jiwa setiap makhluk hidup di bawah langit itu.
“Siapa… yang berani menentang takdir langit…”
Suara itu menggema dari langit, dalam, dalam sekali, seolah tak datang dari dunia fana, tetapi dari balik lapisan realitas.
Setiap tetua yang hadir di ruang sidang merasakan dada mereka bergetar, jiwa mereka bergetar oleh resonansi suara itu.
Cahaya di dalam Menara Langit Putih berpendar; dinding berkilau seperti kaca spiritual yang hampir retak.
Elder Hua menatap ke langit yang terlihat dari jendela besar di puncak menara.
“Itu bukan hanya fenomena alam… Langit sendiri memanggilnya.”
Elder Ming segera membentuk segel pelindung di sekeliling ruang sidang.
Energi bumi hijau keemasan muncul dari bawah kakinya, naik seperti akar raksasa yang melilit dinding.
“Jika Langit turun tangan, bahkan ruang suci akademi tidak lagi aman.”
Elder Mo berdiri, wajahnya tegang namun senyum puas menghiasi bibirnya.
“Lihatlah! Bahkan Langit sudah mencarinya. Apakah kalian masih ingin melindunginya?”
Api merah di sekeliling tubuhnya berputar cepat, menyalakan obor-obor qi di dinding yang tadi padam.
“Dia bukan jembatan, Hua… dia pemicu. Langit mencarinya bukan untuk memberi restu, tapi untuk menagih hutang.”
................... .........................
Di dasar menara, jauh di bawah ruang sidang, Tian Long duduk bersila di tengah formasi segel raksasa.
Rantai-rantai spiritual berwarna biru pucat melingkari tubuhnya, berputar lambat seiring denyut nadi qi-nya.
Di sekelilingnya, simbol-simbol kuno bersinar samar di lantai batu, membentuk formasi berbentuk delapan naga mengelilingi pusat.
Napasnya berat.
Setiap kali ia menarik napas, udara di sekitar melengkung—setiap hembusannya memunculkan getaran yang membuat seluruh ruang berdengung.
Peluh dingin mengalir di pelipisnya, tapi matanya tetap tertutup rapat.
“Aku… tidak bisa menahannya lagi…”
Suara dalam pikirannya bergema, bukan dari luar, tapi dari dalam inti spiritualnya sendiri.
Di dalam pikirannya, ia melihat dua aliran besar berputar melawan arah—energi langit berwarna emas dan energi bumi berwarna hijau.
Keduanya saling menekan, mencoba menelan satu sama lain.
“Tian Long,”
suara tua yang dalam bergema dari kejauhan—suara makhluk naga kuno yang pernah ditemuinya di dalam dimensi spiritual.
“Kau telah membuka pintu antara Surga dan Tanah. Tapi tanpa keseimbangan hati, dunia dalam tubuhmu akan pecah.”
Tian Long mencoba mengatur napas.
“Kalau begitu… ajarkan aku menutupnya kembali.”
“Tutup? Tidak, kau tidak bisa menutupnya sekarang. Langit sudah melihatmu.”
Suara itu bergemuruh seperti guntur.
“Yang bisa kau lakukan hanyalah bertahan… sampai waktunya tiba.”
................... .........................
Di atas, para tetua merasakan tekanan spiritual meningkat.
Elder Fang menatap ke bawah, ke lantai, di mana simbol segel penahanan tiba-tiba mulai bersinar lebih terang.
“Segelnya… bergetar!”
Elder Hua berdiri, melangkah cepat ke tengah ruangan.
“Aku harus menenangkan jiwanya—jangan biarkan kalian menambah tekanan spiritual!”
Elder Mo melangkah ke depan, matanya menyala merah.
“Tidak! Kita harus menyegelnya lebih kuat sebelum ia bangun! Kalau tidak, seluruh akademi bisa lenyap!”
Elder Ming mengangkat tangannya, menghentikan keduanya.
“Cukup! Kita tidak akan menghancurkan seorang murid hanya karena kita takut!”
Tapi sebelum salah satu dari mereka sempat melanjutkan,
suara retakan bergema keras dari bawah menara.
CRAAAK! CRAAAK!
Rantai spiritual yang menahan Tian Long satu per satu patah, memercikkan cahaya.
................... .........................
Liu Yuer yang berdiri di halaman luar menara menatap ke arah sumber suara.
Getaran halus menjalar dari tanah ke ujung jari kakinya.
Ia menatap ke langit yang kini membentuk pusaran perak di atas menara.
“Tian Long… tolong jangan bangun di saat seperti ini…”
Tapi ia tahu, dalam hati, tidak ada yang bisa menghentikannya.
................... .........................
Di dalam ruang segel, mata Tian Long terbuka.
Cahaya kehijauan berputar di irisnya—tanda dari qi bumi—bercampur dengan kilatan emas langit yang berdenyut di pupilnya.
Seluruh tubuhnya bergetar; simbol naga di lantai kini menyala terang dan mulai melayang di udara.
“Tidak…” desisnya. “Aku tidak bisa… menahannya lagi…”
Suara naga tua dalam pikirannya terdengar lagi.
“Kalau kau tidak bisa menahannya… maka kendalikanlah.”
Tian Long menggenggam tangannya.
Rantai spiritual yang tersisa pecah serempak, suara ledakannya menggema sampai ke ruang sidang.
Para tetua serentak berdiri.
Elder Fang berteriak, “Segel keempat hancur!
Kekuatan harmonisasi di tubuhnya keluar dari kendali!”
Elder Mo membentuk formasi di udara.
“Kalau dia keluar, kita semua akan mati!
Bentuk Segel Langit Ketiga! Sekarang!”
Enam tetua membentuk lingkaran, melantunkan mantra segel kuno.
Energi berwarna perak turun dari langit, menembus atap menara dan menyatu di tengah ruangan.
Tapi sebelum segel itu selesai terbentuk, udara tiba-tiba berhenti bergerak.
Suara dari langit menggema lagi—lebih keras, lebih tajam, seperti pisau menembus jiwa.
“Tian Long…
tubuhmu meminjam kekuatan Langit.
Sekarang… kembalikan padaku.”
Cahaya perak dari langit menembus atap menara, mengenai formasi para tetua dan menghantam ke arah Tian Long di ruang bawah tanah.
................................. .................................
Tian Long memejamkan mata sesaat.
Lalu tersenyum samar.
“Kalau Langit ingin mengambilnya…”
ia berdiri perlahan, tubuhnya kini dikelilingi pusaran qi hijau dan emas yang beradu.
“…maka Langit harus turun sendiri.”
DUAAAARRR!
Cahaya menembus menara.
Formasi segel hancur.
Langit di atas akademi retak, dan mata perak raksasa mulai membuka sepenuhnya.