Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sore itu, langit kota Jakarta berwarna jingga pucat. Aisy duduk di depan kontrakan, menatap anak-anak tetangga yang bermain bola di gang kecil. Angin sore berembus lembut, membawa aroma gorengan dari ujung jalan dan tawa kecil Zea yang sedang bermain gelembung sabun di halaman.
Di tangannya, secangkir teh hangat hampir dingin. Ia memandangi cangkir itu lama, seolah di permukaannya ia sedang membaca isi hatinya sendiri. Sudah berapa lama ya, ia tak merasa setenang ini? Bahkan hanya melihat Zea tertawa saja, sudah cukup membuat hatinya lembek.
“Dokter Aisy,” suara itu datang dari belakang.
Aisy menoleh. Kenny berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kaus abu-abu dan celana santai. Senyum tipisnya selalu berhasil membuat suasana sesempit apa pun terasa lapang.
“Iya, Pak Kenny?”
“Gak usah ‘Pak’ terus, kayak jauh aja,” jawabnya santai sambil ikut duduk di kursi rotan sebelah Aisy. “Kalau aku panggil kamu ‘Ai’ aja gimana?”
Aisy spontan tersenyum malu. “Nama aku bukan Ai, loh. Tapi… ya, terserah kamu aja.”
“Hm,” gumam Kenny sambil menatap langit. “Tau gak, Ai, aku suka sore kayak gini. Tenang. Tapi bahaya juga.”
“Bahaya kenapa?”
“Soalnya… di waktu tenang gini, hati suka mulai mikir aneh-aneh,” jawab Kenny pelan, menoleh ke arah Aisy. Tatapan matanya dalam, dan untuk sesaat Aisy lupa bernapas.
Ia buru-buru menunduk. “Mikir aneh apaan, Pak?”
“Kayak… kalau sore-sore gini, aku pengin sore berikutnya juga begini, tapi gak sendirian.”
Aisy membeku. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia tak tahu harus membalas dengan apa. Suara tawa Zea dari kejauhan menyelamatkannya dari keheningan yang terlalu dalam.
“Papa! Papa! Lihat! Gelembungnya tinggi banget!” teriak Zea riang.
Kenny berdiri dan melambaikan tangan. “Papa lihat, hebat banget anak Papa!”
Begitu ia menjauh, Aisy menarik napas panjang, menatap punggung pria itu. Ia tahu perasaan itu tumbuh, perlahan tapi pasti. Tapi bersamaan dengan hangat itu, muncul juga ketakutan, bagaimana kalau ia kehilangan lagi?
Sore itu Zea sudah merasa lelah, dan Aisy pun dengan cekatan, memandikan tubuh gadis kecil itu, agar pulang pun dalam keadaan cantik dan segar tentunya.
"Mama, aku sudah bosan dengan permainan ini," ucap Zea.
"Baiklah, kalau bosan di taruh saja gelembungnya, ayo kita mandi, anak Mama sudah bau asam," ujar Aisy sambil menciumi tubuh anak itu.
"Asam ya Ma, kalau gitu ayo kita mandi," ajaknya sambil ikut menciumi kerah bajunya sendiri.
Kenny melihat pemandangan itu, seolah tahu jika Aisy benar-benar memiliki jiwa yang lembut terhadap anak kecil dan hal itu membuat rasa kagum di dalam hatinya semakin bertambah.
"Ai ... kalau seperti ini terus mana bisa aman jantungku," gumam Kenny sambil menatap langit plapon kontrakan Aisy.
☘️☘️☘️☘️
Malam harinya, Aisy terbangun oleh getar ponsel di meja kecil. Nomor tak dikenal masuk, tangannya langsung meraih benda pipih itu meskipun nyawanya belum terkumpul sempurna.
“Halo?” suaranya parau.
“Dokter Aisy?” suara perempuan di seberang sana terdengar terburu-buru. “Saya Suster Rika, dari rumah sakit Bina Harapan, kebetulan saya diurus menjadi suster pribadi Ibu Lusi, dan beliau minta tolong kepada saya untuk menghubungi nomor Ibu."
"Mohon maaf, menghubungi untuk apa ya?" tanya Aisy.
"Kalau masalah itu saya, kurang paham, yang jelas Ibu Lusi memintaku untuk menemui dokter."
Aisy terdiam, jantungnya mencelos. Nama itu seperti bayangan masa lalu yang tiba-tiba kembali menghantui.
“Ibu Lusi...?” suaranya hampir bergetar.
“Iya, Bu. Beliau memohon sekali, katanya cuma ingin bicara sebentar. Kami bisa bantu antar ke rumah kalau Ibu bersedia.”
Aisy menutup mulutnya, menahan napas yang tersisa. Ia menatap ke arah ruangan kamarnya yang kosong penuh dengan kesunyian.
Rasanya ia tidak mungkin jika harus berurusan dengan masa lalunya kembali. Kenangan pahit menari di pelupuk matanya hinaan, luka batin, seolah masih menari-nari di dalam benaknya.
Namun kini, setelah semuanya, terjadi mertuanya itu memanggilnya kembali entah rencana apa lagi yang ia lakukan terhadap Aisy.
"Sampaikan saja dengan beliau, kalau akhir-akhir ini aku masih sibuk dan belum bisa untuk bertemu," kata Aisy
Namun suster itu seolah tidak kehabisan cara untuk membujuk Aisy, karena memang wanita paruh baya yang tengah ia rawat itu benar-benar keras kepala ingin bertemu dengan Aisy.
"Dok, tolong saya, sekali ini saja, ini menyangkut pekerjaan saya, beliau begitu ngotot ingin bertemu dengan anda, bahkan seharian ini beliau tidak mau makan, kalau tidak bertemu dengan anda," mohon suster Rika.
"Memangnya beliau kenapa?" tanya Aisy.
"Beliau sekarang lumpuh karena habis terjatuh," sahut Suster itu.
Seketika Aisy terdiam, rasa dilema mulai merapi hatinya, ia memang tipikal wanita yang baik dan hangat, namun ia juga tidak mau kenaikannya di salah gunakan.
"Gimana Dok, apa dokter mau?" tanya Rika.
"Entahlah tunggu besok saja," sahut Aisy ragu.
Telepon sudah dimatikan Aisy menatap keluar jendela, malam terasa panjang, dan dalam hening itu, hatinya berperang antara dua suara. "Biarkan masa lalu itu hilang." namun di sisi lain hatinya berkata. "Aku sudah memaafkan tapi jika untuk dekat kembali mending tidak."
☘️☘️☘️☘️☘️
Pagi itu, udara di gang kecil itu terasa lembap. Aisy duduk di bangku depan kontrakan, berselimutkan sweater abu-abu tipis. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin sejak entah kapan. Pandangannya kosong, jauh menembus jalanan sepi.
Kenny datang pelan, membawa dua gelas kopi kertas di tangannya. Ia sempat memperhatikan wajah Aisy dari jauh pucat, lelah, tapi tetap ada ketenangan yang aneh di sana.
“Kamu gak sarapan?” tanyanya lembut, duduk di sebelahnya.
Aisy hanya menggeleng, suaranya nyaris tak terdengar. “Gak ada selera.”
Kenny menaruh salah satu kopi di hadapan Aisy. “Setidaknya minum ini. Aku pesenin kopi kesukaan kamu, yang gak terlalu pahit.”
Aisy menatap gelas itu sebentar, lalu menghela napas panjang. “Aku dapat telepon dari suster semalam.”
Kenny menoleh. “Suater?”
“Iya dia yang jaga Mami?"
"Mami siapa bukannya ibumu sudah meninggal?"
Aisy tersenyum kecut, bibirnya bergetar saat menggeleng. “Bukan… ibu mantan suamiku. Ibu Lusi.”
Kenny tak langsung bicara. Ia tahu, dari nada suara Aisy, nama itu bukan nama biasa. Itu adalah bagian dari masa lalu yang sudah lama dikubur.
“Dia sakit,” lanjut Aisy, lirih. “Suster bilang kondisinya menurun. Dia... minta aku datang.”
Hening. Hanya suara burung dari atap genteng yang terdengar.
Aisy menatap tangannya sendiri. “Aku gak tahu harus gimana, Ken. Dulu dia yang tidak menginginkan aku. Dia yang membuat hatiku hancur karena dia mantan suamiku menikah lagi. Tapi sekarang... dia nyari aku.”
Kenny menatap Aisy lama, lalu menunduk sedikit. “Kadang Tuhan suka aneh, ya. Orang yang paling nyakitin kita malah jadi orang yang paling butuh kita nanti.”
Aisy mengangguk pelan. “Aku cuma takut, Ken. Kalau aku datang, semua luka itu kebuka lagi.”
Kenny menarik napas dalam. Ia meletakkan gelas kopinya, lalu menatap Aisy lurus, suaranya dalam dan pelan, seolah bicara bukan dengan telinga tapi langsung ke hati.
“Kalau kamu merasa belum siap, jangan paksa diri. Tapi kalau ada bagian kecil dari hati kamu yang bilang ‘datanglah’, aku siap antar. Aku gak mau kamu hadapi masa lalu sendirian.”
Aisy menoleh pelan. Tatapan matanya bertemu dengan mata Kenny mata yang hangat, tanpa tuntutan, tanpa paksaan. Ada ketulusan di sana, dan sesuatu yang lebih lembut dari kata cinta.
“Kenapa kamu selalu ada?” tanyanya dengan suara bergetar, seolah pertanyaan itu sudah lama ia tahan.
Kenny tersenyum kecil. “Mungkin karena aku tahu rasanya sendirian, dan aku gak mau kamu ngerasa kayak gitu lagi.”
Untuk pertama kalinya, Aisy tak bisa menahan air matanya. Satu tetes jatuh ke punggung tangannya. Ia cepat-cepat mengusapnya, tapi Kenny lebih dulu menggenggam tangan itu perlahan, tapi pasti.
Hangat. Aman. Dan anehnya, rasa itu membuat dada Aisy sesak.
“Ken…” bisiknya pelan. “Aku takut kalau aku datang, semuanya balik lagi. Rasa sakit itu. Rasa disalahin. Rasa ditinggalkan.”
Kenny memutar telapak tangannya, menggenggam lebih erat. “Kalau memang harus balik, biar balik bareng aku. Aku gak janji bisa hapus sakitnya, tapi aku bisa jagain kamu biar gak sendirian.”
Aisy terdiam. Matanya menatap tangan mereka yang saling menggenggam, seolah di sanalah jawabannya berada.
Bersambung ....
Jangan lupa kasih komen ya Kak ...
mungkin kebanyakan di manja, mkne gk bisa mandiri saat di buang Reyhan.
dulu kebanyakan party pling lihat saja gaul nya smp hamil, berarti dulu gk sekolah cm party party tok, di pikir hidup ttp mewah gk tau nya di buang.
kluargane juga bobrok anak salah mlh di dukung edan kok.
kn bgitu kemarin cari jln tp jln pintas njebak laki orang.
nikmati saja karma mu. 👍👍.
Selamat arsinta menikmati karma.
karma tak Semanis kurma.
mkne jng jd pelakor, coba kl gk ketahuan Azam anak laki lain pasti gk insaf dan bhgia di atas derita aisy.
Sekarang saja tobat krn di usir Reyhan dan hidup miskin. coba kl masih punya uang dan cantik pasti nglakor lagi. 🤣🤣🤣
contoh mulan jamila, nisya sabyan. pelakor pelakor kaya mereka bikin gedek bnget dng embel embel hijrah berharap dpt maaf.
kayak arsinta ini dng embel embel insaf berharap dpt maaf. iuhh coba kl gk ketahuan Azam bukan anak Reyhan gk akn insaf tu sundal.
sedang pelakor hamil dng penderitaan 😄🤣. itulah penjahat menang di awal kalah dan tersingkir di akhir.
puas bnget tu arsinta menderita hidupnya. biar gk jd pelakor lagi, kl dah jd pemulung dan kusut kn gk laku kl nglakor lagi.
rasakan Sekarang tiada Ampun buat pelakor nggarai tuman soale.