Luna tak pernah bermimpi bekerja di dunia hiburan, ia dipaksa pamannya menjadi manajer di perusahaan entertainment ternama.
Ia berusaha menjalani hidup dengan hati-hati, menaati aturan terpenting dalam kontraknya. Larangan menjalin hubungan dengan artis.
Namun segalanya berubah saat ia bertemu Elio, sang visual boy group yang memesona tapi kesepian.
Perlahan, Luna terjebak dalam perasaan yang justru menghidupkan kembali kutukan keluarganya. Kejadian aneh mulai menimpa Elio, seolah cinta mereka memanggil nasib buruk.
Di saat yang sama, Rey teman grup Elio juga diam-diam mencintai Luna. Ia justru membawa keberuntungan bagi gadis itu.
Antara cinta yang terlarang dan takdir yang mengutuknya, Luna harus memilih melawan kutukan atau
menyelamatkan orang yang ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kutukan Pertama
Keesokan paginya, momen-momen manis mulai terjadi. Elio bangun lebih pagi dari biasanya. Ia membantu Luna menyiapkan sarapan untuk semuanya.
Suasana dapur dipenuhi aroma makanan dan tawa ringan yang muncul di sela-sela canda mereka.
Di kantor, Elio datang ke ruang kerja Luna hanya untuk memberikan sebotol oat milk dan sebuah cupcake kecil.
“Untuk energimu hari ini,” katanya singkat.
Luna hanya menatapnya sejenak, mencoba menahan senyum. "Jadi begini rasanya diperhatikan oleh orang yang disukai..." batinnya.
Pipinya merona tapi ia buru-buru menunduk dan bersikap seperti biasa saja berusaha tetap terlihat profesional.
Namun keduanya tahu, mereka telah melewati batas itu. Diam-diam, tanpa satu pun orang menyadari, mereka membangun cinta dibalik tembok aturan yang rapuh.
***
Sorenya, ruangan latihan dipenuhi suara musik dan harmoni suara para anggota.
Elio, latihan seperti biasa dengan ekspresi serius namun lembut.
Semuanya berjalan lancar sampai tiba-tiba suaranya patah di tengah nada terakhir. Ia berdeham kecil. Sekali lagi mencoba menyanyi. Tapi kali ini, suaranya serak lalu hilang sama sekali.
“Elio, kau kenapa?” tanya pelatih dengan nada tegang.
Elio memegang lehernya. Ia mencoba bicara, tapi hanya suara parau yang keluar. Tenggorokannya terasa seperti tercekik dari dalam, nyeri setiap kali ia memaksa bersuara.
Ia tidak berbicara, hanya menunjuk ke arah tenggorokannya.
"Suaramu tidak keluar?" tanya pelatih itu lagi.
Elio hanya mengeleng, ia meringis seperti kesakitan.”
Latihan langsung dihentikan. Semua anggota mendekat, raut wajah mereka tegang.
Pelatih segera memanggil tim medis agensi. Dalam waktu singkat, Elio dibawa ke ruang pemeriksaan yang ada di gedung.
Beberapa menit kemudian, dokter memeriksanya dengan alat endoskopi kecil sebuah selang tipis dengan kamera yang dimasukkan ke tenggorokannya.
Di layar monitor, terlihat pita suaranya tampak kemerahan, dengan garis kecil seperti luka halus di sisi kanan.
“Sepertinya ada robekan kecil di pita suaranya,” ujar sang dokter hati-hati.
Ruangan itu hening. Hanya terdengar desah napas cemas para anggota.
“Elio harus istirahat, minimal dua minggu. Jangan bernyanyi, jangan banyak bicara,” lanjut dokter.
Elio menunduk, matanya kosong.
Besok adalah hari pertama penampilan live mereka di acra survival, hari yang mereka siapkan selama ini.
Namun kini, ia merasa kecewa pada dirinya karena apa yang dialaminya berdampak pada timnya.
Luna yang baru tiba di ruangan tertegun melihat wajah Elio. Ia ingin memeluknya, tapi menahan diri karena semua orang ada di sana.
Ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap lelaki itu dengan perasaan yang campur aduk antara cemas, takut, dan tak berdaya.
Dia mendekat pada Rey dan Adrian.
“Kak Adrian, bisa tidak khusus untuk Elio, kita buat dia lipsync saja?”
Keduanya saling berpandangan. Rey menatap Adrian, lalu bergumam ragu
“Tapi kita sudah kirim musik record-nya ke stasiun TV itu kemarin.”
Luna menggigit bibir bawahnya, matanya jelas menunjukkan kecemasan yang sulit ia sembunyikan.
“Tapi Elio sempat merekam ulang suaranya sebelum ini, kan?” tanyanya cepat.
Keduanya mengangguk hampir bersamaan.
“Kalau begitu, tolong buatkan salinan baru. Bagian Elio isi dengan suara rekamannya. Nanti biar aku yang kirim ulang ke mereka. Aku akan bilang ada revisi teknis.”
Adrian menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baiklah, ini ide yang masuk akal. Semoga mereka nggak curiga.”
Luna menatap Elio yang duduk di kursi, kepala tertunduk, wajahnya masih pucat. Ada rasa iba yang dalam di matanya. Ia mendekat perlahan, menepuk bahunya lembut.
“Tidak apa-apa, jangan khawatir. Kita sudah menemukan jalan keluarnya.”
Elio mendongakkan kepala, menatap Luna dengan mata yang sedikit basah. Ia mengangguk pelan, senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya.
Dalam hatinya, ia merasa bersyukur untuk kali ini Luna ada bersamanya dan semua anggota tim tidak menghakiminya.
Namun di sisi lain, Jae merasa ada yang tidak beres. Ia mendekati pelatihnya setelah latihan bubar, ekspresinya penuh tanda tanya.
“Aku agak heran. Di grup ini, yang ambil nada tinggi itu adalah aku dan Han. Kami berdua yang paling sering dorong suara ke batas atas, tapi kenapa justru pita suara Elio yang robek?”
Han yang duduk di sebelahnya ikut mengangguk, wajahnya serius.
“Benar. Elio itu malah yang paling tenang di antara kami. Dia nggak pernah teriak, jarang juga ngomong keras. Ini terasa janggal.”
Pelatih terdiam sejenak. Ia memijat pelipisnya pelan, mencoba mencerna.
“Kadang kita nggak tahu batas ketahanan tubuh seseorang,” jawabnya datar, meski matanya menunjukkan keraguan yang samar.
Suasana hening beberapa detik. Hanya terdengar suara peralatan latihan yang dibereskan di kejauhan.
Namun dalam hati Jae, rasa heran itu tak juga hilang. Ada sesuatu yang mengganjal seolah masalah ini bukan sekadar kelelahan biasa.