Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10.
Angin malam menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat tirai bergoyang pelan. Cahaya lampu redup memantul di kulit pucat Andien yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Napasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipis, dan tangannya , tanpa sadar terus menggaruk bagian tubuhnya yang gatal.
Ningrum berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang.
“Haduuh, Andien… untung Pungki belum masuk. Apa segitu parahnya sampai dia melepas celananya?” gumamnya pelan. Ia segera melangkah cepat, menyelimuti tubuh Andien yang gelisah, lalu menurunkan suhu AC agar hawa kamar terasa lebih sejuk.
Namun dari luar, suara ketukan pintu terdengar keras.
TOK! TOK! TOK!
“Ning, gimana Andien?” teriak Pungki dari balik pintu, suaranya penuh cemas.
“Tunggu sebentar, Pung!” sahut Ningrum.
Dari arah lorong, Windy jin bocah kecil berwajah tampan nan imut, muncul sambil tersenyum polos. Mata bulatnya memantulkan cahaya lampu, membuatnya tampak menggemaskan namun juga misterius.
“Kak Pung Pung,” bisiknya dengan suara sehalus embusan angin.
“Sabar Kakak Pung Pung... apa Kakak Pung Pung tunggu di luar aku yang masuk ke dalam mengobati Kakak Ndien Ndien?” tanya Windy sambil tersenyum..
“Hmmm tidak boleh kamu tidak boleh pegang pegang Andien apalagi anu nya itu yang sakit.” Gumam Pungki di dalam hati.
“Kalau tidak boleh dipegang ditiup tiup aja boleh Kak Pung Pung....” ucap pelan Windy.
“Itu juga sangat tidak boleh." Ucap Pungki tampak ekspresi wajahnya sangat gelisah dan panik .
Pintu kamar berderit saat Ningrum membukanya. Aroma obat dan keringat bercampur jadi satu.
“Itu lihat, Pung,” katanya pelan, menunjuk ke ranjang.
Di bawah selimut, tubuh Andien tampak menggeliat. Selimut di bagian bawahnya bergerak gerak, seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya.
“Mbak… gatal banget, panas…” gumam Andien lirih, masih dengan mata terpejam.
Ketika tangannya hendak menyibak selimut, Ningrum refleks menahan.
“Ndien, jangan! Biarkan tertutup, ya. Pungki sudah di sini.”
Andien membuka sedikit matanya, pandangan kabur karena efek obat tidur semalam.
“Mas Pungki… tolong. Aku nggak tahan. Gatal, tapi bukan karena… itu. Tolong jangan diapa-apakan, tolong…”
Pungki menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya.
“Diam, Andien. Aku bantu dengan cara lain.”
Windy yang sedari tadi berdiri di belakangnya kini naik ke punggung Pungki, lalu berbisik lembut.
“Kak Pung Pung, aku bantu ya… aku tiup dari jauh saja.”
Pungki nyaris menolak, tapi sebelum sempat bicara, ia merasakan hawa dingin mengalir di sekitar tubuh Andien. Udara di kamar tiba tiba berputar lembut, seperti ada angin kecil menari.
Andien menggigil, lalu perlahan tubuhnya mulai tenang. Rasa panas yang membakar kulitnya lenyap, digantikan kesejukan yang menenangkan.
Ningrum memejamkan mata, berdoa dalam hati.
Sementara itu, Pungki tetap berdiri dengan mata terpejam, menyalurkan energi dan doa, sementara di udara terdengar suara hembusan kecil “Sriwing… sriwing…”
Beberapa menit kemudian, suasana kamar menjadi tenang.
Windy menatap Pungki dengan mata beningnya.
“Kak Pung Pung… sudah.” katanya pelan.
Pungki membuka mata perlahan. “Baik. Aku keluar. Ndien, pakailah pakaianmu yang benar.”
Andien mengangguk lemah, masih setengah tertidur.
“Makasih, Mas Pungki… sudah nggak gatal lagi,” gumamnya, sebelum kembali memejamkan mata.
Ningrum menatap Pungki yang keluar kamar dengan langkah gontai. Lelaki itu terlihat lelah. Wajahnya pucat, matanya sayu. Di ruang tamu, ia duduk di sofa dan langsung bersandar. Windy ikut rebahan di pangkuannya, matanya perlahan tertutup, senyum kecil masih tersisa di bibir mungilnya.
Suasana rumah kos itu begitu tenang. Hanya bunyi detik jam dinding yang terdengar pelan di antara semilir AC yang mendengung halus.
Di ruang tamu, Pungki tertidur di sofa dengan kepala bersandar ke belakang. Napasnya teratur, wajahnya tampak kelelahan. Windy, jin bocah kecil berwajah tampan yang tak pernah jauh darinya, sudah terlelap di pangkuannya, seperti anak kecil yang damai di pelukan ayahnya.
Di atas meja, secangkir kopi yang masih mengepulkan uap dan sepotong roti bakar tergeletak tanpa tersentuh. Ningrum sempat menatap mereka berdua tadi, kemudian berbisik pelan, “Biarlah mereka istirahat. Mereka sudah berbuat banyak malam ini…”
Ia pun kembali melangkah ke kamar Andien. Namun belum sempat menutup pintu, suara dering ponsel mendadak memecah keheningan.
Nada dering itu menusuk di antara sepi, membuat jantung Pungki berdegup pelan. Ia membuka mata, mengerjap, lalu merogoh saku kemejanya dengan gerakan lemah.
Layar ponselnya menyala. Nama yang muncul di sana membuatnya refleks menarik napas panjang.
“Pak Hasto.”
“Pak Hasto?” gumamnya pelan sambil menekan tombol hijau. “Ada apa, Pak? Bukannya Bapak tadi tensinya naik, saya kira Bapak mau istirahat.”
Suara di seberang terdengar bergetar, seperti orang menahan cemas.
“Pung, tolong lagi ya. Ini… Mamanya Ndaru baru saja telepon aku. Katanya Ndaru dan Fatima kambuh lagi. Mereka masuk ICU, Pung. Tolong cepat ke rumah sakit.”
Pungki terdiam beberapa detik. Seolah semua rasa kantuknya langsung lenyap.
“Ndaru dan Fatima… kambuh?” ulangnya pelan, nyaris seperti bergumam pada dirinya sendiri.
Dalam hatinya, muncul kilas balik , wajah pucat Ndaru yang berjuang menahan nyeri, dan burungnya yang bengkak besar. Fatima, gadis berhijab lembut yang sedang mengandung, tapi tubuhnya diserang virus misterius yang tak bisa dijelaskan dokter.
“Iya, Pung,” suara Pak Hasto bergetar. “Fatima paling parah. Janinnya… sangat lemah. Dokter bilang kemungkinan hidupnya kecil kalau demamnya tidak turun malam ini.”
Pungki menatap lurus ke depan. Ada hawa dingin mengalir pelan di punggungnya.
“Baik, Pak. Saya segera ke sana,” ucapnya mantap.
Telepon ditutup. Suasana hening kembali. Hanya terdengar detak jam dan desah napas Windy yang masih tertidur di pangkuannya.
Pungki menunduk menatap jin bocah kecil itu.
“Windy… sepertinya kita belum bisa istirahat,” bisiknya pelan.
Bocah itu menggeliat kecil, matanya belum terbuka tapi bibirnya bergerak lembut.
“Siapa yang sakit lagi, Kak Pung Pung?” suaranya lirih, setengah antara sadar dan mimpi.
“Ndaru dan Fatima,” jawab Pungki pelan. “Kambuh lagi. Fatima bahkan… terancam kehilangan bayinya.”
Windy membuka matanya perlahan. Sorot matanya tiba-tiba berubah, dari polos menjadi sendu, seperti memahami sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sakit manusia.
“Kakak Mas Ndaru dan Kakak Mbak Fatima kambuh ?” tanyanya pelan.
“Iya,” jawab Pungki, suaranya serak. “Yang kamu bantu minggu lalu.”
Windy terdiam. Tangannya yang mungil menggenggam jari Pungki. “Kita bantu lagi, ya, Kak?”
Pungki menghela napas panjang.
“Iya. Tapi kali ini… aku harus pergi secara manual. Popok ajaibmu sudah kamu pakai, dan aku tak bisa teleportasi tanpa izinmu.”
Windy terkekeh kecil, meski wajahnya tetap tampak lelah. “Kalau begitu, aku ikut naik motor, Kak. Aku bisa tiup-tiup dari jauh kalau Kakak ngantuk.”
Pungki tersenyum samar. “Baiklah, bocah jin bandel,” gumamnya, lalu berdiri perlahan sambil menggendong Windy yang masih terkantuk.
Saat itulah Ningrum muncul dari arah kamar Andien. Rambutnya sedikit berantakan, matanya masih tampak cemas.
“Pung… kamu puasa? Kenapa kopi dan rotinya belum kamu sentuh?” tanyanya pelan.
Pungki menoleh, suaranya datar tapi tenang.
“Aku mau ke rumah sakit. Ndaru dan Fatima kambuh lagi. Mereka sakit seperti Andien, tapi lebih parah. Fatima… sedang hamil muda. Dokter khawatir janinnya tak bertahan.”
Mendengar itu, wajah Ningrum seketika pucat.
“Ya Allah… kasihan mereka…” bisiknya lirih sambil menutup mulut dengan tangan.
Lalu ia menatap Pungki lekat-lekat. “Kamu… kamu dari rumah sakit tadi pagi, ya?”
Pungki mengangguk pelan.
“Iya. Aku bahkan belum sempat tidur. Tadi ingin memejamkan mata sebentar, tapi…” ia memandang layar ponselnya yang masih menyala redup, “…belum waktunya istirahat.”
Ningrum menatapnya lama, ada rasa iba dan hormat yang sulit dijelaskan.
“Kalau begitu, tidurlah sebentar saja dulu, Pung. Lima belas menit pun cukup. Bahaya kalau kamu mengantuk di jalan,” ujarnya lembut.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣