NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemetaan Nadi

...Chapter 26...

Theo menyiapkan diri bukan hanya untuk melancarkan serangan, tetapi untuk menanggung jejak, karena setiap coretan yang ia buat pada momen ini akan terpatri pada hidup mereka yang tak tahu menolak naskah.

Sesuatu dari teknik itu tidak datang dari langit.

Tidak dari lantai.

Tdak dari kanan atau kiri.

Melainkan muncul sebagai panggilan dari dalam tubuh lawan, seumpama jarum man menyalakan peta nadi sampai ke jantung.

Ruang menjadi saksi bagi sedemikian rupa kengerian tak kasat mata, sebab bilah yang dikehendaki oleh teknik ini merambat lewat jalur-jalur tidak terlihat, menancap pada organ-organ sebagai titik awal pembukaan luka, lalu meluas menjadi pendarahan yang tidak peduli batas jarak.

Jangkauannya bukan kecil, melainkan puluhan meter, sehingga hadirnya menjadi hukuman bagi siapa pun yang berdiri di lingkaran nasib, sebuah hukum yang menempel pada tubuh meski roh berusaha menyingkir dengan melompat ke dimensi tertinggi.

Teleportasi tidak lagi berarti keselamatan, sebab teknik ini tidak mengejar posisi tubuh di luar, tetapi memetakan inti yang membuat tubuh itu hidup—dan dari sana merajut luka tanpa mudah ditutup.

Untuk Theo, fakta bahwa teknik itu belum tuntas justru menambah lapisan absurditas.

Setengah jadi namun mampu merubah arus cerita, cacat nan menjadi senjata, kelemahan yang menjerat takdir.

Di dalam dadanya tumbuh percampuran antara malu sebagai penulis yang lalai dan tekad sebagai pengawal yang tahu konsekuensinya—karena setiap kali jurus ini menusuk, bukan hanya otot yang robek melainkan bab yang setengah jadi menjadi penuh noda.

Ia maknai beratnya tanggung jawab.

Bukan karena keinginan berkuasa, melainkan karena kecanduan terhadap kesinambungan cerita dan karena kerapuhan nasib Ilux yang selalu bergantung pada apa yang terjadi di panggung ini.

Meski teknik itu keluar dari tubuhnya sebagai perpanjangan dari identitas lain yang ia sandang, Theo tetap merasakan bahwa melepaskannya berarti menandatangani sebuah kontrak yang mungkin tak bisa dicetak ulang.

Ia pejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali, menerima bahwa pilihan telah dibuat.

'Heh, kau bisa berkedip seribu kali dalam sedetik, Cru, tapi cepatmu mulai goyah.

Dapat kurasakannya, langkah-langkahmu mulai terdengar di sela waktu, denyut mulai meninggalkan bayangan di udara.'

Tsraak!

'Kesempatan emas memang tidak boleh dilewatkan.

Sekarang, terimalah, Teknik Internal Mene—b—'

Oooffh!

'Tck, apa ini? Kenapa tubuhku—’

"...."

'Tidak, bukan tubuhku.

Ruangnya.

Waktunya.

Semua dipaksa berhenti.'

"...."

'Jadi ini, Sa, ya? Otoritas bajingan yang membuat hukum tunduk hanya pada kehendakmu.

Sial! Aku baru paham kenapa kau tidak pernah takut diserang.

Karena kau bukan bertarung di dalam dunia ini, kau mengendalikannya!

Kau putuskan sesuatu bergerak, sesuatu membeku, bahkan sesuatu boleh bernapas dan sesuatu harus diam membatu.'

"...."

'Dasar sistem keparat, membekukanku seolah aku cuma karakter sampingan dalam skrip yang belum rampung.

Biadab!!'

Di tengah kekacauan yang bergerak lebih cepat daripada nalar, Theo merasakan tubuhnya terperangkap dalam kristal tak kasat mata, setiap otot menolak bergerak kecuali niat yang tetap berdegup liar di dalam dadan.

Teknik Internal Menebas yang baru saja dilepaskan seketika kehilangan kendali karena otoritas Sa, sebuah hukum sakral yang hanya bisa digerakkan oleh Administrator, membentang di hadapannya seperti jaring tak terlihat nan membekukan ruang dan waktu dalam radius lima meter.

Cru muncul di titik-titik yang tak mungkin diprediksi, melayang di antara celah realitas yang Theo pahami sebagai batas dunia.

Alhasil meski kecepatannya mulai menurun, setiap langkahnya tetap terasa menakutkan, memaksa Theo menyadari bahwa apa pun yang ia lakukan kini tidak lagi berada di tangannya.

Ia hanya bisa menatap, memejamkan mata sejenak sambil merasakan getaran aneh di udara nan mengumumkan kedekatan tebasan lawan yang hampir menyentuh kulit—dan jengkel yang membara di dadanya bercampur dengan kepanikan seorang penulis yang tiba-tiba menjadi pion dalam naskahnya sendiri.

Ruang di sekitar menjadi cairan yang dibekukan, waktu menetes lebih lambat daripada detik biasa, dan setiap inci langkah Theo disekat oleh kekuatan tak terlihat.

Niatnya untuk menyerang, menusuk, dan mengoyak menjadi semu, terperangkap di dalam tubuhnya sendiri, seakan pikirannya dan tubuhnya berada di dua alam berbeda.

Cru mendekat.

Setiap gerakannya begitu ringan namun mematikan, menandai otoritas Sa yang berjalan sesuai kehendaknya, tanpa peduli apakah Theo siap atau tidak.

Bentuk hukum ini tidak terlihat, tidak bisa dihindari, hanya dapat dirasakan melalui ketegangan nan menusuk saraf dan gemetar yang merambat ke tulang—seolah dunia dan karakter yang ia kenal tiba-tiba tersedot ke dalam hukum begitu baru.

Theo menelan ludah, menyadari bahwa meski ia adalah penulis ulung dan penguasa imajinasi, di sini ia hanyalah pion yang harus tunduk pada aturan nan lebih besar.

Sa bukan sekadar perintah, melainkan manifestasi dari kekuatan nan memelihara keseimbangan game Flo Viva Mythology, membekukan siapa pun yang menantang alur.

Ia rasakan jantungnya berdetak cepat.

Bukan karena serangan Cru semata, tetapi karena kesadaran bahwa naskah yang dotulis dengan susah payah kini digenggam oleh tangan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Dan setiap gerak yang ia coba lakukan adalah pertaruhan antara hidup, kehormatan, dan kelangsungan skenario nan selama ini dipelihara.

Theo terdiam, tubuhnya tetap membeku, dan matanya memerah menatap Cru yang melayang mendekat.

'BINATANG!!

Tombak terkutuk itu akhirnya menembus juga, bak panasnya laksana api membakar sumsum tulang.

Tapi—hah—terima kasih, Cru.

Rasa sakit ini melepaskanku dari Sa-mu yang buruk.'

Praaak!

Husssh!

'Jadi inikah harga kemerdekaan?

Sedikit daging robek untuk menebus kendali atas tubuhku sendiri.

Cukup adil, setidaknya dalam pandangan.'

Ngiiiing!

'Sekarang giliranku—Teknik Satu Titik, Sembilan Akupuntur Diselesaikan.'

Buuuung!

'Heh, lihat itu Cru. Persis di perut dan punggung.

Tak kuduga sistem sempurna seperti Anda masih bisa mengucurkan darah.'

Huuuuh!

'Terlebih itu bukan darah biasa?

Lebih mirip logam nan berusaha meniru daging.

Menarik, sangat menarik.'

Theo menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri selagi rasa panas dari robekan di bahu kirinya menjalar hingga ke tulang.

Ia menahan setiap rasa sakit, menegakkan tubuh, dan tanpa ragu melancarkan Teknik Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan dengan presisi seorang penulis yang tahu persis alur setiap gerak karakter ciptaannya.

Dalam satu gerakan, pedang itu menyambar, melancarkan empat puluh lima tebasan sekaligus tanpa pernah benar-benar ditarik dari sarungnya—hanya terangkat sedikit—berhasil menembus celah pertahanan Cru yang selama ini dianggap tak tertembus, membuatnya terhenti sejenak.

Bagian perut depan dan punggung belakang Cru, yang sebelumnya tampak seperti lapisan besi mengkilap yang berkamuflase di antara ada dan tiada, tergores dan menganga, menampakkan celah bagi Theo untuk mengukur seberapa jauh lawannya bisa menahan serangan luar biasa.

Dalam keheningan nan menyusup ke udara setelah benturan itu, cahaya biru tipis dari tebasan Theo memantul di sekitar area yang dulunya menjadi ruang kosong di hadapan Cru.

Debu halus berterbangan, menari di antara sinar nan menembus kabut tipis, menekankan bahwa meski tubuh Cru eksis dalam bentuk semi-transparan, dampak dari serangan fisik dan Inti Lu tetap nyata dan tak bisa diabaikan.

Theo merasakan denyut adrenalin menembus setiap urat, setiap gerakan mengikuti irama logika dan insting yang bersatu, menggabungkan strategi penulis dan refleks seorang Samurai yang baru terbentuk.

Tapi sekaligus, Theo sadar bahwa kemenangan ini bukanlah akhir dari pertarungan.

Setiap goresan pada Cru adalah tanda peringatan bahwa manifestasi Administrator ini memiliki kekuatan untuk mengubah hukum mainnya sendiri, bahwa ruang dan waktu di sekitarnya bisa berubah kapan saja, dan setiap serangan yang berhasil mengenai fisiknya hanyalah jeda sementara dari kehendak lebih besar tak terlihat.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!