NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:400
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 — Dunia di Bawah Tanah

Rendra melangkah hati-hati menuju sosok adiknya yang duduk di kursi rotan, terendam setengah oleh air gelap. Di dalam rumah yang sunyi ini, suara gemericik air setiap langkahnya terasa memekakkan telinga.

Rani. Wajahnya yang pucat, matanya yang hitam pekat, dan aura dingin yang dipancarkan tubuhnya. Itu adalah sosok yang Rendra cari, tetapi bukan lagi adiknya yang ia kenal.

“Rani… apa yang terjadi padamu?” tanya Rendra, suaranya bergetar.

Rani mencondongkan tubuhnya ke depan. Air yang menyelimuti tubuhnya tampak mengalir pelan.

“Aku nggak hilang, Mas,” katanya lembut, suaranya bergema seperti di dalam bejana. “Aku memilih untuk tinggal. Aku dipilih untuk melihat kebenaran yang tidak bisa dilihat Ayah. Aku adalah saksi yang tidak lari.”

“Ini bukan tempat yang harus kamu tinggali, Rani. Ini adalah tempat yang tercipta dari kutukan. Aku datang untuk membawamu pulang.”

Rani tertawa. Tawa yang terdengar seperti pecahan kaca yang jatuh ke dalam air.

“Pulang? Di mana rumah kita, Mas? Di kota yang penuh kebohongan, atau di desa yang dipenuhi dosa? Di sini… di sini adalah tempat yang paling jujur. Di sini adalah tempat yang diciptakan oleh air mata darah.”

Rendra menyadari bahwa ia tidak bisa bernegosiasi dengan logika. Ia harus menggunakan kebenaran yang ia bawa.

Ia mengangkat roll film yang basah di tangannya.

“Aku membawa buktinya, Rani. Film Ayah. Aku akan mencetaknya di sini, di duniamu. Aku akan tunjukkan wajah pelaku penodaan Laras ke seluruh desa.”

Mata hitam Rani terpaku pada film basah itu. Air di sekelilingnya beriak lebih keras.

“Film itu tidak penting lagi, Mas,” bisik Rani. “Yang Basah tahu kebenaran itu. Yang ia butuhkan adalah pengakuan. Dan kau, kau membawa bau penyesalan Ayah, dan bau ketakutanmu sendiri.”

Rendra mencoba menyentuh adiknya. Ia meraih bahu Rani.

Saat Rendra menyentuhnya, sensasi dingin itu menusuk hingga ke sumsum tulangnya. Tubuh Rani terasa seperti es yang baru keluar dari air beku. Dan saat ia memegang bahu adiknya, di bawah sentuhannya, tubuh Rani meneteskan air, seolah ia adalah patung es yang sedang mencair.

Diikuti dengan kejutuan yang lebih besar, wajah Rani mulai berubah.

Kulitnya yang pucat dan kebiruan mulai meregang, matanya yang hitam berputar, dan struktur wajahnya melunak, berubah, hingga akhirnya, wajah Laras muncul di tubuh Rani. Wajah gadis muda yang diselimuti kesedihan dan dendam abadi.

Laras (melalui tubuh Rani) menarik tangannya dari Rendra.

“Aku adalah memori yang tidak bisa dikubur. Aku bukan hanya Rani. Aku bukan hanya Laras. Aku adalah air mata darah dari semua yang mati di desa ini. Dan kau, Rendra, kau berjalan di atas darah mereka!”

Rendra menoleh ke bawah. Ia melihat cipratan merah kental di kakinya, cipratan yang ia yakini adalah darah. Ia melihat ke sekeliling rumah Laras. Cap tangan merah di dinding, patung perempuan tanpa kepala di tengah ruangan.

Rendra mengarahkan senternya ke lantai, ke air yang ia pijak.

Ia menyadari, air di dunia ini bukan hanya air yang encer. Air di sini adalah darah yang sangat cair, dicampur dengan air mata dan lumpur.

Setiap langkah Rendra menimbulkan riak darah.

“Kau bilang ini rumahmu, Laras. Kau bilang ini tempat semuanya dimulai,” kata Rendra, suaranya serak.

“Ya,” jawab Laras (melalui Rani), tatapannya dingin. “Ini rumahku. Dan di sini, aku akan menceritakan padamu apa yang Ayahmu sembunyikan.”

Laras menunjuk ke dinding. Dinding yang penuh cap tangan merah itu.

“Dulu, desa ini mengalami kekeringan. Tiga tahun tanpa setetes air. Mereka mengambilku, seorang gadis suci, untuk menjadi tumbal. Ritual itu adalah Air Kehidupan, sebuah perjanjian dengan bumi. Aku bersedia mati agar desa bisa hidup.”

Laras kemudian menunjuk ke patung tanpa kepala di tengah ruangan.

“Patung itu adalah patung yang mereka buat untuk ritual. Patung yang melambangkan kemurnianku. Tapi patung itu tidak pernah selesai. Karena sebelum ritual dimulai…”

Mata Laras dipenuhi kesedihan yang mengerikan. Ia memegang bahu Rani (tubuhnya sendiri).

“Mereka yang datang dari kota… para pria yang haus… mereka tidak haus air. Mereka haus dosa. Mereka menodaiku. Mereka mengambil kesucianku. Mereka menjadikan Pengorbanan Suci menjadi Pengorbanan yang Kotor.”

“Ayahmu… ia tidak ikut menodai,” kata Rendra, memohon.

Laras tersenyum dingin.

“Ayahmu adalah saksi yang diam. Dia tidak menghentikannya. Dia memotretnya. Dia menyimpan rahasia itu di film itu, di dalam kotak yang sama di mana ia menyimpan sisa jiwanya yang pengecut.”

Laras menarik napas yang terasa berat, seolah air memenuhi paru-parunya.

“Ketika mereka menguburku di samping Sumur Tua, aku tidak lagi suci. Aku tidak bisa menjadi air kehidupan. Dalam peti kayu yang dibuat oleh ayah Dimas, aku berdoa. Aku berdoa agar hujan turun selamanya. Aku berdoa agar bumi ini tak bisa menelan mereka yang berdosa. Supaya mereka selalu basah, selalu kotor.”

Laras menoleh ke Rendra, tatapannya menusuk.

“Dan doaku terkabul. Dalam bentuk kutukan. Hujan itu adalah darahku. Air itu adalah dendamku. Aku tidak akan membiarkan desa ini kering, karena aku tidak ingin ada yang melupakan dosaku.”

Rendra memegang film Ayahnya erat-erat. Ia kini memahami tema utama dari kutukan ini: Dosa lama yang tidak bisa dikubur akan mencari darah baru untuk menebusnya.

Dan darah baru itu kini adalah Dimas, dan mungkin dirinya sendiri.

Tiba-tiba, Laras merasakan sesuatu. Ia melihat ke atas, ke langit hitam yang menembus atap rumah yang lapuk.

“Mereka mencoba menarikmu keluar, Rendra.”

Di luar rumah, di air yang hitam pekat, terdengar suara gemuruh yang pelan, seperti tanah yang bergeser.

Laras (melalui Rani) menunjuk ke arah Rendra.

“Kau harus membuat pilihan, Nak Rendra. Kau sudah melihat kebenarannya. Sekarang, kau harus membayar harganya.”

Rendra tahu, ia harus kembali ke dunia atas. Ia harus menyelamatkan Dimas. Dan ia harus mencetak foto itu untuk membuktikan siapa pelaku penodaan yang sebenarnya.

“Aku harus pergi, Rani,” kata Rendra.

Rani/Laras tersenyum.

“Kau tidak akan bisa pergi sendiri. Aku akan mengizinkanmu. Tapi ada yang harus kau lihat dulu. Keturunan dari pengorbanan yang kotor.”

Laras menunjuk ke belakang Rendra.

Di balik tirai basah, Rendra melihat bayangan lain. Bayangan seorang anak kecil yang menangis.

Bayangan Dimas.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!