7 tahun bertahan, lalu ditinggal tanpa alasan. Hanna pikir, cinta sudah cukup menyakitkan untuk dicoba lagi dan mungkin sudah saatnya ia memilih dirinya sendiri.
Namun jika bukan karena cinta yang pergi tanpa pamit itu.. mungkin dia tidak akan bertemu dengan dr. Hendra.
Sayangnya, dr. Hendra seperti mustahil untuk digapai, meski setiap hari mereka berada di bawah atap yang sama.
Kali ini, akankah Hanna kembali memilih dirinya sendiri? Entahlah..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon deborah_mae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TAK INGIN BERSAING
Pintu ruang praktik menutup pelan bersamaan dengan gema suara langkah kaki dr. Arga dan Hanna yang meninggalkan lorong ruang poli.
Ruangannya seketika sunyi, hanya terdengar suara mesin AC yang masih menyala. Ia masih menatap layar komputernya yang masih menampilkan hasil pemeriksaan pasiennya — Hanna.
Perlahan ia bersandar di sandaran kursinya. Tatapannya kosong, senyumannya tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan senyuman kemenangan yang pahit.
"Jadi.. Begitu ya.."
dr. Vera menegakkan tubuhnya. Ekspresinya berubah datar. Ia mengetuk jari-jarinya di atas meja tanpa suara seolah sedang menyusun strategi yang tak ingin ia akui.
Dengan nada yang pelan namun penuh keyakinan, ia berbicara pada bayangannya sendiri. "Aku hanya perlu jadi diriku sendiri.. Nggak perlu bersaing dengan siapapun.."
Jam menunjukkan pukul 18.00, waktunya ia membereskan mejanya dan bergegas untuk pulang.
Sebelum itu, ia melangkah menuju cermin besar yang digantung pada dinding ruang praktiknya. Ia melihat wajahnya sendiri — elegan, rapi, dan terawat.
Ia menghela napas panjang sambil membereskan mejanya namun bayangan dr. Hendra selalu muncul dalam benaknya.
Karenanya, ia tersenyum tipis "Hendra.."
"Cukup lama aku di sisi kamu. Di kampus, di ruang tindakan, di ruang rapat, bahkan untuk bisa masuk ke tempat ini pun, aku bisa bikin kamu lakuin itu.."
Banyak ingatan kebersamaannya dengan dr. Hendra yang muncul. Kepeduliannya pada dr. Vera, pujian yang tak diminta, bukanlah sekedar gestur sopan bagi dr. Vera.
Dan kini, saat ia mendengar bahwa dr. Hendra digadang-gadang menyukai Hanna — hatinya terasa campur aduk. Ingin marah, namun enggan mengaku kalah.
Pintu ruang praktiknya diketuk pelan. Seorang perawat datang.
"Malam, dok. Semua pasien sudah selesai." ucap Rini.
"Iya, Rin. Sebentar lagi saya mau bersiap pulang"
Saat itu Rini masuk membawa dokumen rekam medis. "Udah mau pulang, dok?"
Sambil mengemas barang ke dalam tasnya, dr. Vera menjawab dengan senyuman hangat. "Ah iya.. Ini lagi siap-siap"
Rini seperti tersipu malu mengingat kejadian yang dia lihat tadi. "Dok.. Ternyata dr. Arga itu laki-laki yang manis, ya.."
dr. Vera menghentikan kegiatannya dan melirik cepat. "Oh ya? Memangnya sebelumnya Arga sifatnya bagaimana?"
"dr. Arga itu pendiam, dok. Saya dengar-dengar semenjak mbak Hanna bergabung disini, dr. Arga berubah sifatnya jadi laki-laki yang manis hehehe.."
Dahinya mengernyit seperti tidak percaya dengan ucapan Rini namun pikirannya berputar cepat. "Masa, sih?"
Rini tak menyadari ekspresi dr. Vera dan berlanjut bercerita.
"Saya sempet denger juga dulu dr. Hendra sama dr. Arga itu pernah rebutan mbak Hanna, dok. Duh pokoknya lucu deh."
Seketika dr. Vera menatap Rini dengan serius. "Rebutan?"
"Eh.. Maaf, dok. Saya jadi bikin dokter kelamaan pulang. Permisi, dok.." ucap Rini buru-buru saat dia sadar bahwa dia sudah membuat suasana menjadi canggung
Begitu pintu tertutup, dr. Vera tersenyum getir.
Ia melihat ke jendela dan menatap bayangannya yang samar terlihat di kaca jendela itu.
Ia yakin bahwa ia layak mendapatkan pria yang ia inginkan.
"Aku tidak perlu bersaing untuk cinta. Aku layak dicintai karena aku pantas.."
Suara ketukan lembut terdengar di pintu. Terlihat dr. Hendra berdiri di ambang pintu "Vera, kamu masih disini?".
Mendengar suara itu refleks membuatnya menoleh dengan cepat.
"Oh..iya, Hen. Ini mau bersiap pulang"
"Ini udah malam, loh. Kok lama banget pulangnya"
dr. Vera tersenyum kecil, berpura-pura biasa saja. "Tadi masih nungguin hasil lab pasien"
dr. Hendra mengangguk kagum "Rajin banget. Aku iri, tau"
Sesederhana ini namun bisa membuat jantungnya berdegup.
"Kalau kamu iri, itu artinya aku berguna disini" goda dr. Vera.
"Bukan cuma berguna, tapi kamu itu penting" jawab dr. Hendra spontan.
Ia tak sadar ucapannya membuat mata dr.Vera bergetar pelan.
Kata "penting" itu masih terngiang di telinganya meski dr. Hendra sudah melangkah pergi.
"Aku bukan wanita yang ingin berebut cinta. Tapi jika cinta itu sudah datang untukku, kenapa aku harus menolak?" ucapnya lirih.
Ketika hendak mematikan layar komputernya, ia masih melihat nama Hanna terpampang disana.
"Jangan khawatir.. Aku nggak akan bersaing sama kamu. Karena Hendra bukan untuk diperebutkan.." bisiknya pelan.
"Karena pada akhirnya, yang pantas lah yang akan bertahan.." Tangannya mulai menggerakkan mouse dan mematikan komputernya.
scra sdh 13 th... & bru ini km mngungkpkn perasaanmu...
yudha sukanya sm istri kturunan dajjal han....😂😂
sudut pandang yg mmbagongkan🙄
ntar klo hanna di pinang org... baru dech tau rasanya patah hati🤣🤣