7 tahun bertahan, lalu ditinggal tanpa alasan. Hanna pikir, cinta sudah cukup menyakitkan untuk dicoba lagi dan mungkin sudah saatnya ia memilih dirinya sendiri.
Namun jika bukan karena cinta yang pergi tanpa pamit itu.. mungkin dia tidak akan bertemu dengan dr. Hendra.
Sayangnya, dr. Hendra seperti mustahil untuk digapai, meski setiap hari mereka berada di bawah atap yang sama.
Kali ini, akankah Hanna kembali memilih dirinya sendiri? Entahlah..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon deborah_mae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUANG PUTIH, HATI MERAH
Hari ini, Hanna memutuskan untuk cuti bekerja supaya ia bisa memeriksakan diri ke dr. Vera dan bisa beristirahat.
Perasaannya campur aduk. Dia merasa enggan bertemu dengan dokter itu. Namun, ia harus melangkah demi kesehatan dirinya sendiri.
Ditemani adiknya, Hanna sudah menunggu antriannya dipanggil. Saat itu sedang ramai pasien dan ia harus sabar mengantri.
Sementara itu, dr. Arga baru saja keluar dari IGD menuju lobby. Langkah kakinya berhenti saat matanya tertuju pada Hanna yang saat itu sedang duduk di kursi tunggu mengenakan pakaian yang santai dan tanpa riasan.
Karena penasaran, ia menghampiri Hanna yang sedang asyik melamun. "Hanna, kamu nggak masuk kerja?"
"Eh, dok? Ehm..hari ini Hanna cuti mau cek ke dr. Vera sekalian istirahat seharian, dok"
Ekspresi wajah dr. Arga berubah menjadi khawatir saat mendengar bahwa Hanna ingin memeriksakan diri ke dr. Vera.
"Kamu pingsan lagi?"
"Semalam Hanna pingsan lagi, dok.."
"Nomor antrian B20"
"Nah itu nomor antrian Hanna. Hanna masuk dulu ya, dok"
dr. Arga mengangguk. "Kabarin aku hasilnya, ya"
Dengan senyuman kecil, Hanna mengangguk mengerti.
Hanna mulai melangkah ke ruangan dr. Vera. Dengan suara yang sopan, ia menyapa dr. Vera untuk pertama kalinya "Permisi, dok.."
"Halo, Hanna. Silahkan duduk.."
dr. Vera memeriksa dengan teliti. Gel dingin menyentuh kulit perut Hanna saat alat USG mulai bergerak. Degup jantungnya pun berpacu — antara takut dan ingin segera tahu hasilnya.
Untungnya, setelah melakukan pemeriksaan dr. Vera menyampaikan hasil diagnosanya.
Sembari menuliskan resep obat, dr. Hanna memberikan penjelasan "Oke.. Untuk keluhan kamu ini tidak perlu dikhawatirkan. Ini dikarenakan adanya perubahan hormon dikarenakan faktor stres. Mulai hari ini, coba dikelola lagi stres nya dengan baik ya, Han.."
Ada sedikit rasa lega di hati Hanna. Syukurlah, bukan sesuatu yang mengkhawatirkan.
"Baik, dok. Mungkin karena akhir-akhir ini Hanna lagi banyak kerjaan makanya jadi stres.."
Dengan senyum yang hangat, dr. Vera memberikan dukungan untuk Hanna. "Nggak apa-apa kalo kamu istirahat sebentar, Han. Nggak semua perlu diselesaikan hari itu juga. Kamu harus dengarkan tubuh kamu, ya"
"Usahakan jalan kaki selama 10 menit setiap hari dan jangan konsumsi junk food dulu, ya. Saat tidak haid usahakan minum tablet tambah darah sekali seminggu, dan saat haid diminum selama siklus berjalan"
Hanna pun mengerti dan menyatakan bahwa dia paham akan hasil diagnosa dr. Vera.
Brrtt...brrtt
Saat berjalan keluar dari ruangan dr. Vera, handphone Hanna berdering. Telpon dari dr. Arga masuk. Namun tak sempat diangkat.
Dari kejauhan terlihat seorang pria tinggi berlari menuju Hanna.
Dengan wajah lelahnya, dr. Arga menemui Hanna.
"Kamu masih minum tablet tambah darah yang selalu aku saranin, kan?" tanya dr. Arga
Hanna refleks menggaruk pelan kepalanya dengan ekspresi merasa bersalah — ya, dia lupa.
"Hehehe maaf, dok. Hanna...lupa...hehehehe"
Melihat tingkah Hanna yang seperti itu membuat dr. Arga merasa gemas terhadapnya. Entah ia sengaja atau tidak, ia membelai kepala Hanna dengan lembut.
Seketika Hanna langsung menunduk — bukan hanya malu, namun juga merasa tersentuh tapi ia bingung dengan perasaannya sendiri.
Saat itu banyak perawat yang melihat perlakuan manis dr. Arga terhadap Hanna. Namun, dr. Arga sudah tidak takut lagi..
Tatapannya pada Hanna seolah tidak mau lepas. "Kamu udah selesai dari dr. Vera, kan?"
Ia menatap wajah pria tinggi itu. "Sudah, dok"
Dengan pelan ia mencondongkan tubuhnya pada Hanna dan membelai kepalanya sekali lagi. "Baguslah, jangan lupa lagi minum tablet tambah darahnya ya, nona pelupa"
Wajah Hanna memanas.
Dirinya merasa asing dengan perasaan yang dia rasakan saat itu.
Bahkan selama 7 tahun dia menjadi pasangan, sekalipun ia tidak pernah merasakan perlakuan manis seperti yang dilakukan dr. Arga.
Dari ambang pintu ruang prakteknya terlihat dr. Vera berdiri menyaksikan pemandangan itu.
Tersirat senyum tipis di ujung bibirnya. Seolah ia sedang memenangkan sesuatu. "Ooh.. Ternyata benar kata Hendra. Dia dan Hanna nggak ada hubungan apa-apa. Baguslah.."
Ia menatap Hanna dan dr. Arga sekali lagi, lalu menutup pintunya dengan perlahan. "Apa justru Arga dan Hanna yang ada sesuatu..?"