Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PETUNJUK TIGA BATU
Kendaraan yang dikemudikan Raka menjauh dari istana Pagaruyung menuju Bukittinggi. Setelah menjemput Dina dari rumah saudaranya, mereka kembali menempuh perjalanan panjang ke Talago Kapur.
Perjalanan kembali ke Talago Kapur dari Pagaruyung terasa lebih berat daripada waktu berangkat. Bukan karena jalanan rusak atau kelelahan, tapi karena Raka dan Kirana tahu: mereka tidak akan kembali sebagai orang yang sama.
Di dada Kirana, kalung itu kini berdetak lembut—bukan hanya sebagai hiasan, tapi seperti detak hati kedua, menandai waktu Anna yang hampir habis di dimensi lain.
Malam itu, setelah sampai di rumah dinasnya, Kirana kembali bermimpi. Tapi kali ini, bukan hanya Anna yang muncul. Ia melihat dirinya berdiri di tengah lapangan batu, dengan tiga batu tegak menjulang di depannya.
Bentuknya seperti menhir, tersusun dalam garis lurus dari arah matahari terbenam. Di antara batu-batu itu, cahaya keemasan muncul—dan di dalam cahaya itu, Anna menatapnya, pucat.
“Hanya pada pertengahan bulan purnama, saat cahaya menyentuh ketiga batu itu, gerbang bisa dibuka. Setelah itu… aku akan hilang selamanya, atau… pulang.”
Pagi itu, Kirana bangun dengan dada sesak. Bulan akan penuh dalam tiga hari. Waktu mereka... sempit.
Hari itu, Kirana seperti mendapat ilham setelah lama ia merenungkan isi manuskrip yang sempat dibaca di istana Pagaruyung.
TIGA BATU.
Kirana membuka aplikasi peta satelit pada ponsel nya yang dapat memperlihatkan gambaran asli permukaan bumi yang lebih nyata dibanding google earth.
Dan tentu saja akhirnya Kirana mendapat gambaran keberadaan tiga batu yang dimaksud.
Malam itu, bulan purnama menyinari Talago Kapur dengan cahaya perak yang tajam, seperti menunggu saatnya. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan kabut perlahan mulai merayap keluar dari lembah, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam.
Kirana berdiri di beranda rumah dinasnya, memandang ke langit yang bersih, bulan yang terang, dan bintang yang menggelap seperti menyembunyikan sesuatu.
Raka duduk di dekatnya, memandang jauh ke dalam hutan, tempat yang beberapa hari lalu mereka kunjungi. Tempat itu kini terasa lebih dekat dengan apa yang tak terungkapkan—sesuatu yang gelap, sesuatu yang menunggu untuk dibuka.
"Kamu yakin kita harus berangkat malam ini?" tanya Raka, suaranya penuh kecemasan. Bukan cemas karena takut, namun lebih kepada waspada, dan tentu saja kekhawatiran akan pandangan penduduk kepada mereka karena berpergian berdua pada malam hari.
Kirana berbalik, menatap Raka dengan mata yang jauh, seolah menembus masa lalu dan masa depan. "Aku tahu kita sudah dekat, Pak Raka. Kalung itu, naskah itu, semua petunjuk menunjukkan bahwa kita menuju satu tempat. Tempat di mana gerbang itu terbuka. Dan itu malam ini."
Raka menatap kalung manik yang kini tergantung di leher Kirana, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang bergerak, lebih besar dari yang ia pahami.
"Tempat apa, Kirana? Gerbang? " tanya Raka dengan ragu.
"Tiga Batu." Kirana menyebutkan kata itu dengan penuh keyakinan. "Satu batu di sini, satu di sana, dan satu lagi di tempat yang lebih jauh. Tempat ini... adalah tempat yang tak pernah disebutkan.. Di antara batu itu ada sebuah gerbang yang hanya bisa dibuka pada malam bulan purnama dan saat matahari terbenam di garis tiga batu itu."
Raka terdiam, memikirkan kata-kata Kirana. Ia mulai merasa bahwa mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih dari sekadar mitos atau legenda—dan juga sesuatu yang mungkin sudah lama terkubur oleh waktu.
"Kalau kamu sudah yakin, mari kita berangkat!" BUkan hanya khawatir kepada Kirana namun juga rasa penasaran membuat Raka mengambil keputusan untuk mengikuti Kirana.
"Aku yakin!" Kirana mengangguk mantap. "Dalam ransel itu apa?" tanya Kirana melihat Raka sudah membawa Ransel besar.
Raka nyengir. "Ntahlah. Hanya perlengkapan hiking biasa, ditambah P3K dan minor set. Mana tau ada panggilan mendadak dari pasien!"
Kirana mengangkat jempolnya. "Sip, Pak Dokter!"
Mereka berdua keluar dari rumah dinas dan berjalan menuju ke tempat pertama dari tiga batu yang dimaksud Kirana. Hutan malam itu sunyi, angin hanya terdengar sesekali, dan suara langkah kaki mereka terasa lebih berat, seolah tanah di bawah kaki mereka merespon perjalanan ini.
Batu pertama terletak di puncak bukit, menghadap ke lembah di mana Talago Kapur berada. Batu itu besar dan tinggi, bentuknya seperti tiang dengan ukiran samar di permukaannya—seperti bekas tangan yang membekas dalam batu. Kirana mendekat dan menyentuhnya, merasa ada getaran halus yang melintas dari jari-jarinya.
"Ini batu pertama," katanya, suara lembut tapi pasti. "Aku bisa merasakannya melalui kalung ini—itu bukan sekadar simbol. Ini adalah kunci untuk membuka dimensi yang lebih dalam."
Raka mengangguk, meskipun masih bingung dengan apa yang baru saja ia dengar. "Dan batu kedua?"
Kirana tidak menjawab, tetapi melangkah mundur, mengarah ke titik kedua yang telah mereka tuju.
Mereka melanjutkan perjalanan melewati hutan yang semakin gelap, dan setelah beberapa waktu, mereka tiba di batu kedua, terletak di tengah lembah yang dalam. Batu ini lebih besar, hampir sebesar rumah, dan memiliki ukiran yang lebih jelas—seperti gambar matahari yang dikelilingi oleh dua sayap besar.
"Ini, batu kedua," kata Kirana dengan penuh rasa hormat. "Lihatlah simbol ini! Matahari... dua sayap... dan di bawahnya, ada ukiran seperti akar yang menyatu dengan bumi. Ini adalah tanda yang sama dengan kalung yang aku pakai."
Raka mengamati batu itu lebih teliti, lalu menatap Kirana. "Dan batu ketiga?"
"Di sana," jawab Kirana, menunjuk ke arah bukit yang lebih tinggi di kejauhan. "Tapi kita harus bergerak cepat. Kita hanya punya waktu sampai matahari terbenam."
Perjalanan menuju batu ketiga terasa lebih sulit. Pohon-pohon semakin rapat, tanah berbatu membuat langkah mereka terasa berat, dan udara semakin dingin. Keheningan semakin menebal, hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di antara pepohonan.
Ketika akhirnya mereka sampai, mereka berdiri di hadapan batu ketiga, yang terletak di ujung jurang, menghadap ke langit terbuka. Batu ini sangat besar, dengan bentuk yang lebih seperti altar, dan di atasnya ada simbol yang tidak bisa mereka artikan dengan jelas—sebuah pola geometris yang sangat rumit.
Kirana berdiri di depan batu itu, merasakan adanya energi yang mengalir. "Ini dia, Pak Raka. Tiga batu. Sekarang kita hanya perlu menunggu malam ini, saat bulan purnama.”
Raka menghela napas panjang. "Kirana, aku mulai merasa kita bukan hanya berhadapan dengan legenda atau cerita lama. Ini... sesuatu yang lebih nyata dari itu. Apakah kamu yakin kita siap untuk ini?"
Kirana memandang Raka dengan tatapan yang dalam, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh matanya. "Aku tidak punya pilihan, Rak. Anna sudah menunggu terlalu lama. Aku harus menyelesaikan ini."
Mereka duduk di sekitar batu ketiga, menunggu tengah malam. Waktu berjalan lambat, dan setiap detik terasa menegangkan. Saat bulan purnama berada diatas puncak kepala, Kirana merasakan getaran halus dari kalung manik di lehernya. Energi itu mulai terbangun.
“Ini waktunya,” bisik Kirana.
Cahaya perak mulai membanjiri seluruh area. Ketika cahaya bulan menyentuh ketiga batu, terjadi sesuatu yang tak terduga.
Tiba-tiba, sebuah gerbang transparan terbuka di depan mereka. Itu bukan gerbang fisik, tetapi lebih seperti celah di antara dimensi—sebuah lorong berkilauan yang menghubungkan masa kini dengan zaman yang sudah lama hilang.
Kirana dan Raka saling berpandangan. “Ini... ini nyata. Ini adalah jalan yang harus kita lewati.”
Dari kejauhan terdengar sorakan-sorakan yang memanggil nama Raka dan Kirana.
Obor-obor dan lampu senter menyala, mendekat ke arah Kirana dan Raka.
"Itu penduduk kampung!" Raka mulai merasa kekhawatiran nya menjadi nyata. Kemarahan penduduk karena ia dan Kirana sudah melewati jam malam. Laki-laki dan perempuan, pergi bersama untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas.
"Dokter Raka! Dokter Kirana! Kalian telah melanggar adat!" terdengar seruan dari arah kerumunan warga yang mendekat.
Kirana menarik tangan Raka, berdiri dan melangkah ke dalam gerbang yang membuka. Di tengah kengerian membayangkan amukan warga, Ia menyadari bahwa waktu dan ruang kini mulai mengabur. Kirana merasakan dirinya tertarik oleh sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar tugas. Ia merasa sedang menghubungkan dua dunia, dua zaman yang terpisah oleh ribuan tahun.
Dokter Raka!
Dokter Kirana!
Cahaya obor dan suara-suara itu perlahan hilang...