Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tawaran yang menggiurkan
Sudah hampir satu tahun Pak Jono bekerja di proyek tol. Ia mulai terbiasa dengan ritme keras kehidupan barak dan medan kerja yang melelahkan. Namun, proyek perlahan mulai rampung. Banyak pekerja dikurangi. Pak Jono termasuk yang terkena pemutusan kontrak. Dunia seperti mengulang kembali luka lama.
Hingga suatu pagi, ketika ia sedang duduk termenung di warung kopi dekat barak, seorang pria mendekatinya. Usianya sekitar 40-an, kulitnya gelap terbakar matahari, dan sorot matanya tajam namun bersahabat.
"Permisi, Mas... Boleh duduk?" tanyanya sambil tersenyum.
Pak Jono mengangguk. "Silakan."
"Nama saya Pak Raka. Saya sedang rekrut tenaga kerja untuk kapal penangkap ikan. Gajinya besar, bisa sampai dua kali lipat dari proyek tol ini... Tapi, medannya berat. Laut lepas. Bisa berbulan-bulan di tengah laut."
Pak Jono diam. Ia bukan nelayan. Laut hanya sebatas pandangan dari pantai saat libur dulu. Tapi uang... tawaran itu terlalu menggiurkan untuk ditolak...
____
"Berangkatnya kapan?"
"Lusa. Dari Pelabuhan Tanjung Priok. Kalau Mas berminat, saya bisa daftarkan sekarang juga."
Pak Jono menatap langit. Ia teringat wajah Bu Ani dan anak-anaknya.Ia tak ingin mengecewakan mereka lagi.
Pak Raka menatap Pak Jono dengan senyum tipis.
____
"Tapi saya harus jujur Mas.Laut yang kita tuju... katanya sering ada kejadian aneh. Seperti Awak kapal hilang tanpa jejak.Radio sering bermasalah.Tapi gaji besar Mas. Orang yang berani pasti dapat untung."
Pak Jono menelan ludah. Ada rasa tidak enak di perutnya. Tapi bayangan anak-anaknya yang tidur beralaskan tikar robek membuatnya mengangguk.
"Aku ikut."
Jawab pak jono dengan sigap
Sementara itu.. hujan gerimi membasahi atap barak tempat pak Jono menginap malam itu, sembari duduk termenung di tepian tempat tidur, pak Jono menggenggam ponselnya sembari menatap nomer seseorang yang ia rindukan (ibu
ia menekan tombol hijau,lalu mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Assalamu'alaikum..."
Tak lama kemudian, suara lembut istrinya menyambut, "Wa’alaikumsalam…Pak?Udah makan belum?"
Pak Jono terdiam sejenak,menahan gumpalan di tenggorokan.
Ia tak ingin Bu Ani tahu bahwa hatinya tengah berperang sengit...
Ia ingin terdengar kuat,seperti kepala keluarga yang tahu arah hidupnya...
padahal ia sedang berjudi dengan takdir...
"Sudah, Bu… Anak-anak gimana?"
.
"Alhamdulillah pa,tadi Siti bantuin Ibu nyuci, terus Rudi ikut belajar online,kalo ayu ya masih rewel, tapi mereka semua sehat. Mereka kangen sama Bapak."
Pak Jono menarik napas panjang. Suara anak-anak yang samar terdengar di belakang membuat dadanya semakin sesak.
"Bu…"
suaranya nyaris pelan,"
Bapak mau berangkat lusa.Tapi bukan kerja bangunan lagi."
"Hah? Maksudnya gimana Pak?"
"Ada kerjaan di kapal.Tangkap ikan,jadi nelayan bu! katanya Gajinya besar. Tapi... mungkin Bapak nggak bisa telepon setiap hari. Sinyalnya susah di laut."
Hening sejenak di ujung sana. Hanya terdengar desah napas dan suara hujan.
"Jauh, ya?"
"Iya, Bu… Tapi Bapak janji...
ini yang terakhir.
Kalau pulang nanti, kita bisa cicil rumah.
Bisa mulai lagi..
Ayu gak harus lagi...tidur sambil kelaparan."
Bu Ani menahan suara tangisnya, namun ia tak bisa menyembunyikan getir dalam suaranya.
"Pak… hati-hati ya. Apapun yang terjadi, pulanglah. Jangan tinggalin kami."
Pak Jono memejamkan mata.
"Bapak pasti pulang, Bu. Demi kalian."
Dua hari kemudian, langit Jakarta dipenuhi mendung saat Pak Jono tiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia berdiri di dermaga, memandangi kapal besar berwarna kusam di depannya.
Kapal KM Laut Jaya 08.
tertulis di buritan dengan cat terkelupas.
Bau solar, ikan asin, dan karat bercampur di udara.
Di atas dek, beberapa orang tampak sibuk namun tak satu pun dari mereka bicara. Ada suasana aneh, seperti para awak saling menjaga jarak.
Bahkan kapten kapal, seorang pria tua berjanggut putih, hanya menatap Pak Jono dengan mata yang dalam dan kosong...
Perjalanan dimulai saat senja,Laut tenang tapi langit memerah pekat, seolah mengisyaratkan sesuatu...
Pak Jono mengisi waktunya dengan mencuci jaring, mengatur barang, dan berusaha menghafal wajah-wajah di kapal.
Tak ada yang mau berbagi cerita. Seolah semua punya rahasia sendiri.
Malam pertama, kapal menembus perairan yang semakin gelap.Tak ada sinyal.Tak ada cahaya lain kecuali lampu redup dari anjungan.
Di hari ketiga, angin mulai berubah...
Burung-burung laut yang biasanya terbang di kejauhan... menghilang.
Radio kapal berderit pelan lalu mati total.
Kompas berputar tidak karuan,seolah-olah mereka telah melintasi dunia lain, dan di kejauhan, langit terlihat menggulung seperti asap hitam.
Salah satu awak berbisik pelan saat lewat di dekat Pak Jono.
"Kita masuk zona terlarang...!!"
Di malam itu tanpa peringatan& aba-aba
tiba-tiba terjadi ledakan besar dari ruang mesin. Guncangan keras melempar Pak Jono ke dek. Api menyala lalu menelan sisi kapal...
Asap tebal memenuhi udara..
Teriakan menggema di mana-mana.
Pak Jono berusaha bangkit,matanya perih oleh asap dan air asin...
Ia melihat seseorang terbakar & terjun ke laut sambil menjerit-jerit
Tubuh-tubuh melompat ke air demi menyelamatkan diri.
Di antara kekacauan itu, sesuatu muncul di permukaan laut..
Hitam, tinggi, dan bergerak cepat...
Bukan ikan. Bukan manusia.
Seperti... bayangan dengan mata menyala merah.
Sebelum sempat berpikir, Pak Jono merasakan tubuhnya terangkat oleh ledakan kedua lalu segalanya gelap.
@#$+&+3-";$8";'8
Entah berapa lama waktu berlalu...
Pak Jono terbatuk keras...
Tenggorokannya dipenuhi rasa asin dan panas. Pandangannya kabur, silau oleh matahari yang menyengat..
Tubuhnya terasa kaku, nyeri di hampir seluruh permukaan kulit.
"Pak!!! Bertahanlh Pak!"
Suara itu menggema samar. Perlahan-lahan, bayangan mulai menjadi nyata...
seorang pria muda dengan wajah penuh luka, mengguncang tubuhnya.
Pak Jono terbaring di sebuah sekoci tua...
Catnya mengelupas,ujungnya patah.
Di sekitarnya lautan membentang luas..
tak terlihat daratan.Bau solar, darah,dan hangus bercampur di udara.
"Pak Jono... saya Jefri,anak mesin...
Saya narik Bapak waktu kapal meledak. Kita selamat... sebagian."
Pak Jono mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa seperti ditusuk dari dalam...
Luka bakar di tangan dan punggungnya terasa perih...Ia menahan jeritan.
"Berapa... orang kita?"
Jefri menunduk.
"Dari dua belas...tinggal kita berlima yang selamat... Tujuh orang hilang...hanyut dan tenggelam... atau mungkin terbakar habis."
Pak Jono terdiam.Air matanya mengalir tanpa suara.
Ia mengenang wajah-wajah di kapal
beberapa sempat ia ajak bicara..
sebagian hanya sempat ia lihat sesaat. Kini, mereka semua… mungkin tinggal nama.
Di dalam sekoci,selain Pak Jono dan Jefri,tampak Kapten Rahmat,pria tua yang kini diam menatap cakrawala...Wajahnya murung,penuh jelaga.Dua orang lainnya, Gilang dan Arman,awak dek,tampak shock dan pucat.Salah satunya menggenggam tas kecil berisi makanan darurat dan botol air yang hampir kosong.
"Ada sinyal?" tanya Gilang sambil mengecek ponsel hanya layar hitam.
"Radio darurat rusak.GPS mati total"
gumam Kapten Rahmat dengan suara berat.
"Kita tersesat... entah di mana."
\_\_\_\_\_\_\_\_
mereka terus terombang-ambing terapung entah ke mana..
terseret arus yang tak bisa diprediksi...
Sinar matahari membakar kulit. Air minum tinggal tetesan..
Malam datang dengan dingin yang menggigit.
Di malam kedua, mereka melihat sesuatu di kejauhan ..siluet gelap, datar, dan memanjang.
"Tanah…?" gumam Arman.
Sekoci diarahkan ke sana, mendayung perlahan..
hingga fajar ketiga datang bersama kabut tipis. Di balik tirai embun laut itu, tampak pulau kecil, asing, dan tak bernama.
Tak ada dermaga.Tak ada bendera & Tak ada tanda-tanda kehidupan manusia.
Hanya hutan lebat, pantai berpasir kelabu, dan suara burung yang asing di telinga.
Mereka mendarat lemas.Tubuh Pak Jono dibopong oleh Jefri dan Arman.
"Pulau ini... aneh,"
gumam Gilang.
Kapten Rahmat menatap sekeliling dengan tatapan tajam.
"Kita istirahat. Bangun tenda darurat. Tapi jangan jauh-jauh dari pantai. Pulau terpencil bisa penuh kejutan."
Tak ada yang menanggapi.
Semua tahu: kejutan bukan kata yang menyenangkan dalam situasi seperti ini.
Pak Jono berbaring di atas pasir,menatap langit mendung yang menggulung pelan.
Di sela-sela semak, sesuatu tampak bergerak cepat
bayangan... atau mungkin hanya hembusan angin?
Tapi entah mengapa, ia merasa… seolah-olah
mereka tidak sendirian..