Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Rangga yang mendengar itu, lantas ia segera turun dari tangga, dan langsung bergegas kedepan.
"Haikal, kamu pulang? Kenapa kamu nggak ngajak Mamah, Nak?" wajah Rangga tampak antusias, mencoba memaksakan senyumnya. Ia kini menghadang langkah sang putra, begitu Haikal tiba diruang tamu.
Tak mau menjawab, Haikal langsung melewati sang Ayah dengan wajah tanpa ekspresi. Sikap dinginya saat ini, mampu merajam hati Rangga, seakan ia tidak lagi mengenali putranya.
"Mbak Nur ... Sejujurnya aku kasian lihat Bapak seperti itu? Tapi ... Semua masalah memang berawal darinya, sih! Aku ngga bisa bayangkan kalau jadi Bu Sabrina," gumam Ana, yang saat ini membereskan dapur, sambil melihat kedatangan Haikal.
Sementara Nur, ia adalah pelayan paling lama yang ikut dengan Sabrina. Jadi, rumah yang biasanya dipenuhi gelak tawa, sapaan hangat, kini tampak layu, pupus ditelan penghianatan.
"Mas Haikal pasti lagi bingung banget, itu! Biasanya aja sering ngegombalin aku ... Tapi sekarang, senyum aja nggak mau!" lanjut Ana mengerucutkan bibirnya.
"Aku juga kasian sama Bu Sabrina, An! Entah sekarang tinggal dimana, aku juga nggak tahu," sahut si Nur.
Mendengar deru langkah dari atas, Mbak Nur langsung berjalan kearah tangga ... Dan benar, jika Haikal sedang berjalan turun, sambil menggendong ransel agak besar. Firasat Nur mengatakan, jika itu isinya pakaian semua.
"Mas Haikal ... Makan malam dulu, ya?! Kasian Bapak, selalu makan sendiri. Saya sudah masak banyak, Mas Haikal! Ya ... Siapa tahu, Mas Haikal dan Ibu sore ini pulang." Nur tak sampai hati. Hingga membuat Haikal menatap iba kearahnya.
"Baiklah, Mbak!" Haikal urungkan niatnya untuk langsung pergi, dan memilih makan malam terlebih dahulu.
Mendengar suara deritan kursi, membuat Rangga yang saat ini murung diruang tamu ... Segera bangkit menyusul putranya.
"Haikal, ayo kita makan sama-sama! Papah sudah beberapa hari tidak berselera makan dirumah, karena tidak ada kalian!" Rangga juga ikut duduk, walaupun Haikal sejak tadi tidak mengidahkan ucapannya.
Begitu acara makan malam selesai, Haikal langsung bangkit sambil menggendong tas ranselnya.
"Mbak Nur, Mbak Ana ... Haikal pamit pulang dulu ya!"
Nur dan Ana hanya menganguk pelan, menatap segan, karena ada majikannya diruangan itu.
"Mau pulang kemana, Haikal? Ini rumah kamu!" sentak Rangga yang kini juga ikut bangkit.
Haikal masih mematung ditempatnya. Kedua matanya menajam kedepan, sambil berkata, "Dulu memang iya ini rumah bagiku untuk pulang. Namun, setelah penghianatan Papah ... Rumah ini ku anggap sebagai neraka dunia! Yang ada hanyalah panas, dan penuh dosa!"
Dada Rangga terasa sesak mendengar bantahan sang putra. Dan baru kali ini Haikal berani membantah ucapanya. Dulu saja, ia dan sang putra sudah menjadi sahabat, bahkan couple Ayah dan anak favorite. Namun sekarag ... Semua musnah dalam sekejab.
Rencananya, malam ini Haikal akan menginap ke rumah Omnya-Revan. Akan tetapi, ia terpaksa menghentikan motornya dibelakang mobil seseorang didepan gerbang Omnya.
Haikal segera turun, sedikit berjalan cepat untuk masuk.
"Kamu itu sudah memiliki rumah tangga sendiri, Ambar! Ya nggak bisa lah kalau terus-terusan direpotin orang terus-"
"Ibu, sudah cukup!" sahut Ambar, yang merasa tidak enak dengan iparnya-Sabrina.
Dan wanita tua tadi, adalah Bu Retno, ibunda Ambar. Ia yang baru saja tiba pukul 5 sore, tampak shock begitu mendapati ipar dari putrinya tinggal disana. Padahal, Sabrina masih belum mendapatkan kontrakan yang pas. Dan rencananya, ia dan sang putra akan menginap semalam lagi, untuk kembali mencarinya esok hari.
Revan hanya dapat tertunduk lesu. Membalas pun percuma. Rumah itu memang pemberian dari kedua orang tua Ambar.
"Sudah, Ambar ... Mbak ngak papa kok! Ini Haikal datang, dan baru mengabari Mbak, kalau dia baru saja mendapat kontrakan. Sudah, ngak papa!" Dalih Sabrina, tersenyum seraya mengusap lengan Iparnya.
Dada Haikal berdesir. Ia yang kini tengah berdiri diambang pintu, hatinya mencoles, kala melihat Ibunya tengah berbohong.
"Iya, bener kamu Sabrina! Jangan sekali-kali merepotkan adikmu lagi! Dia kerja aja nggak mampu buat nafkahi istrinya ... Sok-sokan mau nampung kamu dan anakmu!" Bu Retno tersenyum remeh melirik kearah menantunya.
Kedua tangan Revan terkepal kuat. Dan setelah itu dia langsung melenggang keluar begitu saja.
"Ibu ... Sudahlah! Jika ibu terus-terus mencela Mas Revan, lebih baik ibu nggak usah kesini saja!" tekan Ambar.
Sementara diluar, Revan terhenyak, kala keponakannya sudah duduk tertunduk di kursi teras. Ia segera mendekat, dan ikut duduk disebrang Haikal.
"Mamah berbohong demi kebaikan keluarga Om!" celetuk Haikal menatap lurus.
"Maafkan, Om! Om rasanya gagal membantu kalian." Revan tertunduk penuh sesal.
Sabrina berjalan keluar, dan berhenti dihadapan Revan. Haikal spontan ikut bangkit, disusul sang Paman.
"Mah, ayok!" ajak Haikal.
Tas ransel itu? Sabrina merasa semakin sesak. Pasti ... Tadi Haikal sudah antusias ingin menginap malam ini. Namun semua itu harus terpatah oleh kenyataan.
"Revan ... Mbak mau pamit dulu!" ucap Sabrina pelan.
"Maafkan Revan ya, Mbak! Sejujurnya Revan juga nggak betah tinggal disini. Tapi, semua Revan lakukan demi Ambar!" jawabnya.
"Memang harus seperti itu! Tidak ada yang perlu kamu pikirkan. Ya sudah, Mbak pamit." Sabrina melanjutkan jalanya mengajak sang putra pergi dari sana.
Malam semakin larut, namun hingga kini Ibu dan anak itu masih belum mendapatkan kontrakan atau sekedar kos-kosan. Mengapa tidak menginap di Hotel? Ya, alasan Sabrina yang pertama, jaraknya cukup jauh dari sekolahan Haikal. Setelah menimbang, Sabrina mengajak dulu putranya untuk singgah ke Masjid terdekat.
"Kal ... Mamah mau sholat dulu! Ayo turun! Kamu sudah lama 'kan, nggak sholat?" ucap Sabrina yang kini sudah turun dari motor putranya.
Haikal masih berdiam diatas motornya. Betapa berdosanya ia, karena sebagai muslim tidak pernah sholat. Ia tertunduk sejenak, melihat Ibunya sudah berjalan masuk kedalam.
'Ya Allah ... Ampunilah hamba!' Setelah itu ia langsng turun, sambil mengendong ranselnya tadi.
Sabrina tampak khusuk dalam ibadahnya kali ini. Ia bersimpuh, mengadahkan tanganya, hingga buliran bening itu ikut luruh dalam sekejab. Tidak dapat ia bayangkan, rumah tangga yang ia banggakan 20 tahun ini, rupanya hanya sandiwara semata.
Begitu juga putranya, Haikal. Ia sadar, mengapa Tuhan mengujinya dengan masalah sebesar ini. Itu semata-mata, karena Tuhan ingin melihat Haikal menghampirinya dengan cara indah, yakni Sholat.
Dan sekarang, Ibu dan anak itu duduk diterasa Masjid terlebih dahulu.
"Haikal! Jika kamu lelah mengikuti Mamah ... Maka pulanglah, Nak! Tidurlah yang nyenyak di kamarmu. Mamah sudah terbiasa hidup seperti ini. Tapi kamu? Mamah takut kamu tidak kuat melakukanya!" lirih Sabrina menatap hamparan bintang diatas.
Haikal menoleh. Kedua matanya memanas. Bagaimana bisa ia akan tidur dengan tenang, sementara Ibunya terlunta di jalanan.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼