Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Ingatan yang Mengalir
Alvaren duduk di bangku yang ada di taman Everielle. Tidak ada orang lain disana, hanya dirinya sendiri. Di tangannya terdapat peti yang diberikan Seraphyne beberapa hari lalu. Ia menyentuh batu bulan perlahan, lalu memejamkan matanya.
Dan di sanalah kenangan mulai menari kembali ke permukaan.
Dulu.
Ia muda. Tegap, tetapi sering diam. Dan pada suatu pagi saat embun masih menggantung di ujung dedaunan, ia melangkah ke taman ini karena lelah dengan upacara dan pelatihan militer.
Saat itulah ia melihat gadis berjubah biru kehijauan sedang berjongkok di bawah pohon, merawat akar bunga yang hampir mati.
"Kenapa kau menanam bunga di tempat seperti ini?" tanyanya spontan.
Gadis itu—Seraphyne, menoleh, mata abu-abu beningnya terkejut, tapi tak takut.
“Karena tempat seperti inilah yang paling membutuhkan keindahan.”
Sebuah jawaban sederhana yang tertanam di benaknya jauh lebih dalam dari yang ia sadari.
Hari demi hari, ia kembali ke taman itu. Awalnya hanya untuk mengamati dari kejauhan, lalu mulai duduk bersama, hingga berbicara berjam-jam tentang banyak hal tentang kedamaian, tentang peperangan, tentang langit dan cahaya dalam hati manusia.
Alvaren muda jatuh cinta—bukan karena wajah Seraphyne yang cantik, tapi karena jiwanya seperti rumah.
Ia ingat saat Seraphyne memberinya batu bulan, lalu menggenggam tangannya dengan sangat lembut.
“Jika suatu saat kau tersesat dalam kegelapan dunia ini, pegang batu ini. Aku akan datang, entah dalam wujud apa. Aku akan menemanimu sampai terang kembali menemukanmu.”
Ia juga ingat saat mereka berdua menanam peti kecil berisi janji, tepat di bawah pohon tempat mereka pertama kali bertemu.
"Jika suatu hari takdir mencoba memisahkan kita, maka kita akan tetap menemukan jalan kembali. Dalam bentuk apa pun, di dunia mana pun, aku akan mencarimu."
Kini.
Air mata tak disangka mengalir di wajah Alvaren. Ia menunduk, napasnya tercekat.
“Seraphyne…”
Ia berbisik dalam gumaman, nyaris seperti doa.
Gema kenangan itu mengisi dirinya seperti cahaya dari retakan kaca. Potongan-potongan hidup masa lalu mulai bersatu, peperangan, tahta, mahkota, dan… sorot mata Seraphyne saat menyambutnya setelah perang, menggenggam tangannya dan berkata bahwa ia sudah cukup kuat untuk berhenti bertarung.
Dan kini, ia sadar…
Ephyra bukan hanya tabib istana.
Dia adalah Seraphyne. Istrinya. Ratunya. Orang yang pernah ia ikrarkan hidup bersamanya.
Alvaren berdiri dengan tubuh gemetar, tetapi wajahnya teguh. Dia tahu harus pergi kemana sekarang—menemui Thalean.
Bangunan tua di sisi barat ibukota itu tampak ditinggalkan. Retakan menjalar di dinding batunya, dan dedaunan merambat seolah menutupi luka-luka masa lalu. Tapi Alvaren tahu tempat ini. Thalean selalu memiliki tempat semacam ini—sunyi, tersembunyi, dan beracun.
Langkah Alvaren mantap menembus kegelapan. Api di lentera gantung menyala samar, cukup untuk menunjukkan koridor sempit yang pernah ia lihat di masa lalu—dalam bayangan samar, dalam mimpi-mimpi retak yang kini mulai menjadi nyata.
Di ruang terdalam, berdiri pria berjubah hitam kebiruan. Wajahnya tak asing lagi, penuh ketenangan palsu dan senyum tipis seperti ular yang sedang menunggu waktu tepat untuk menggigit.
"Jika kau ada di tempat ini, berarti kau sudah mengingat semuanya." ucap Thalean yang membuat Alvaren mengepalkan kedua tangannya.
Thalean melangkah pelan, tangannya menyentuh meja marmer yang dipenuhi simbol-simbol kuno, mungkin untuk pamer atau untuk menciptakan ilusi kekuasaan.
“Jadi kau mulai ingat... Sudah kuduga. Taman Everielle itu terlalu penuh kenangan untuk tidak membuka gerbang memori.”
“Aku tidak datang untuk nostalgia,” potong Alvaren dingin. “Aku datang untuk memberimu peringatan.”
Thalean tersenyum kecil, tidak gentar. “Ah… peringatan dari seorang lelaki yang bahkan tidak mengingat ratunya?”
Alvaren mengeraskan rahangnya. Ia menahan diri untuk tidak membalas provokasi itu.
"Seraphyne tidak akan senang jika tahu kau mengingat kehidupan masa lalumu." Thalean menyeringai, senyumnya penuh keserakahan.
"Dua ratus tahun yang lalu, ketika kau mati di medan perang, apa kau tahu apa yang dilakukan Seraphyne?" tanyanya sambil berjalan memutari Alvaren. "Dia bersimpuh di depan batu api purba, memohon untuk menukar nyawanya denganmu, padahal yang dia inginkan saat itu adalah batu kehendak. Tapi apa yang terjadi? Ini bagian menariknya. Keinginannya tidak dikabulkan, tapi dia dipilih menjadi pemilik batu api."
"Setelah itu dia mengabulkan permintaan orang berhati serakah yang ditukar dengan nyawa mereka sendiri. Dia terlalu sering menggunakan batu api, menyalahgunakan energinya, lalu sekarang.." Thalean menggantung ucapannya, kemudian tersenyum sinis. "Batu api itu tidak lagi tunduk padanya. Cepat atau lambat Seraphyne akan hancur oleh batu api di dalam tubuhnya."
"Apa yang ingin kau katakan, Thalean?"
"Kau tidak paham? Ingatanmu tidak ada gunanya karena kisah kalian akan tetap berakhir sama walaupun kau telah bereinkarnasi, Alvaren."
“Di kehidupan kali ini, aku tidak akan diam. Dulu, mungkin aku terlalu lambat. Terlalu percaya. Tapi sekarang, jika kau menyentuh Seraphyne sedikit saja, aku akan menghancurkanmu. Dengan caraku. Tanpa belas kasihan.”
“Begitu besar cintamu padanya, bahkan ketika kau tahu dia memiliki batu api?” Thalean tertawa lirih. “Menarik. Kau masih lemah seperti dulu.”
“Tidak. Aku tidak lemah. Aku sadar. Dan aku tahu kau yang menyulut kematianku dulu. Kau yang menyebar pengaruh seperti racun. Dan kini kau mendekati adikku, menekan Seraphyne, memainkan rencana kotor dengan batu kehendak… Aku melihatmu, Thalean. Aku tahu permainanmu.”
Thalean berhenti tersenyum. "Jadi, kau tahu aku memiliki batu kehendak?"
"Batu kehendak yang kau dapatkan dengan cara kotor. Batu yang seharusnya musnah tapi kau sembunyikan sampai sekarang. Apa kau pikir aku tidak tahu? Kau mencurinya dari orang yang seharusnya memberikan batu itu padaku, kau mencurinya dari ayahku dulu!" Alvaren mendekat ke arah Thalean, menatapnya tajam—penuh dendam. "Saat itu kau berpura-pura bodoh tapi mengendalikan semuanya dengan batu kehendak. Mempengaruhi orang-orang di sekitarku, sama seperti saat ini. Aku tidak akan membiarkanmu kali ini, Thalean!"
“Apakah kau pikir kau bisa menghentikanku hanya karena kau mulai mengingat masa lalu? Dunia ini tidak sama, Alvaren. Kekuasaan tidak diperoleh dengan ingatan. Tapi dengan pengaruh. Dan aku punya itu.”
“Lalu dengarkan aku baik-baik. Pengaruhmu tak akan menyelamatkanmu dariku. Jika kau sentuh Seraphyne sekali lagi, secara fisik, mental, bahkan lewat rencana busukmu yang tak kasatmata, aku akan menjadi kutukan terakhir yang akan kau hadapi!”
Diam. Udara jadi berat.
Untuk pertama kalinya, senyum Thalean memudar. Matanya menyipit.
Alvaren berbalik dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Denting sepatunya menggema di lorong seperti dentang peringatan perang. Dan ketika pintu berat itu menutup di belakangnya, Thalean menggenggam meja hingga pecah, darah menetes dari jarinya.
“Jadi... kau sudah mulai ingat semuanya. Akan lebih menarik lagi sekarang.”