Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Karan mengetuk pintu dan masuk ke kamar dimana Puri sedang merebahkan tubuhnya.
"Istirahat dulu, aku tinggal sebentar ya. Mama memintaku untuk mengantarkannya ke gereja" Puri menganggukkan kepalanya
Karan tersenyum lembut, mendekat dan duduk di pinggir ranjang. Ia menyibakkan sedikit rambut Puri yang menutupi wajahnya, lalu berkata pelan, “Kamu pasti lelah, ya. Tidurlah sebentar, nanti aku bangunkan pas makan malam.”
Puri membuka matanya perlahan dan mengangguk kecil. “Hati-hati di jalan ya, Mas...”
Karan menggenggam tangan Puri sejenak, memberikan kehangatan sebelum akhirnya pergi.
“Aku nggak lama kok. Kamu tenang aja di sini. Mama juga udah sayang banget sama kamu.”
Puri hanya bisa membalas dengan senyuman kecil. Dalam hati, ia mulai merasa diterima meskipun masih ada perbedaan yang menggantung di antara mereka.
Tapi cara Karan memperlakukannya... membuat segalanya terasa layak untuk diperjuangkan.
Setelah Karan keluar dari kamar, Puri menatap langit-langit ruangan dan menarik napas panjang.
Ada banyak yang harus ia pikirkan, tapi untuk saat ini ia izinkan hatinya untuk tenang.
Dua jam berlalu tiba-tiba Suara adzan Ashar berkumandang, puri lekas bangkit dan mengambil air wudhu
Karan dan mamanya masih belum pulang dari gereja dan ia pun memutuskan untuk mencari masjid di dekat rumah karan
Puri merapikan jilbabnya dan menyusuri halaman rumah dengan hati-hati.
Meskipun baru pertama kali berada di lingkungan ini, ia merasa agak tenang terutama setelah mendengar adzan yang memanggil umat untuk shalat.
Ia keluar dari rumah, mencari-cari masjid terdekat. Meskipun perasaan campur aduk masih melingkupi dirinya, Puri merasa ada sesuatu yang menenangkan hatinya saat ia mendengar suara adzan. Ia ingin meluangkan waktu untuk beribadah, untuk menenangkan pikirannya.
Tak lama kemudian, ia menemukan sebuah masjid kecil yang terlihat cukup sepi.
Puri melangkah masuk, merasakan ketenangan yang datang begitu ia berada di dalam.
Suasana masjid yang sederhana namun penuh kedamaian itu membuatnya merasa nyaman.
Puri segera melaksanakan shalat Ashar ,khusyuk dalam setiap gerakan, memanjatkan doa dan harapan dalam hatinya.
Ketika ia selesai, ia merasa ada beban yang sedikit terangkat. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan kedamaian dalam hatinya.
Setelah shalat, Puri duduk sejenak di sudut masjid, mengatur perasaan yang sempat kacau seharian.
Berada di tempat yang tenang ini memberinya kesempatan untuk berpikir dan merenung lebih dalam.
Karan sampai di rumah dan ia tidak melihat keberadaan Puri.
"Puri, kamu dimana?" gumam Karan yang mengira Puri akan pergi meninggalkannya.
Karan yang masih terlihat kebingungannya langsung menghela napas lega begitu melihat Puri kembali ke rumah.
Ia berjalan mendekat, sedikit melonggarkan cengkeramannya pada pintu yang sempat ia genggam dengan tegang.
"Sayang, kamu nggak bilang sebelumnya kalau ke masjid," ucap Karan dengan suara lembut, matanya masih dipenuhi kekhawatiran.
Puri tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya.
"Maaf, Mas. Aku nggak mau mengganggu kalian. Hanya ingin sholat sebentar," jawabnya dengan tenang, meski hatinya masih sedikit ragu.
Karan pun mengangguk, mengerti maksud Puri, namun tetap ada kecemasan di matanya.
Mama Karan yang melihat kehadiran Puri langsung menghampirinya.
"Syukurlah kamu sudah kembali dengan selamat, Nak. Mama sudah menyiapkan tempat untuk sholat, di sana," katanya dengan penuh perhatian, sambil menunjukkan ruang yang telah disiapkan untuk Puri.
Puri mengangguk penuh terima kasih. "Terima kasih, Mama. Aku merasa nyaman bisa sholat di sini."
Karan yang mendengarkan percakapan mereka, akhirnya sedikit lebih tenang, meskipun masih ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya.
"Kalau kamu butuh apa-apa, tinggal bilang aja ya," ucapnya sambil tersenyum kecil, mencoba meredakan suasana.
Puri tersenyum, merasakan perhatian yang tulus dari Karan dan mamanya.
"Aku baik-baik saja, Mas. Terima kasih sudah mengerti."
Dengan itu, Puri melangkah ke ruang yang sudah disiapkan untuknya.
Ia merasa dihargai dan diterima dengan baik, meskipun masih ada banyak hal yang harus ia hadapi dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan baru ini.
Puri merasa sangat terharu dengan perhatian yang diberikan oleh mama Karan.
Begitu banyak kebaikan yang ia rasakan, terutama dari mama Karan yang dengan tulus menyambutnya di rumah ini.
Puri tidak menyangka jika mama Karan bisa begitu baik dan perhatian, meskipun mereka baru bertemu.
Dengan pelan, Puri membuka pintu kamar dan keluar, mendekati ruang makan tempat Karan dan mama sedang duduk.
Mama Karan tersenyum ramah melihat Puri yang keluar dari kamarnya.
"Kenapa, Nak? Kamu terlihat sedikit ragu," tanya mama Karan lembut, memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Puri.
Puri tersenyum, sedikit malu, namun hatinya hangat.
"Mama, terima kasih sudah begitu baik padaku. Aku nggak menyangka kalau bisa diterima dengan begitu hangat di sini."
Mama Karan tersenyum lebih lebar, lalu memegang tangan Puri dengan lembut.
"Kamu adalah bagian dari keluarga Karan sekarang, Nak. Jangan ragu untuk merasa nyaman. Ini rumahmu juga."
Puri merasa sangat tersentuh mendengar kata-kata itu. Ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap ucapan mama Karan.
"Aku akan berusaha menjadi yang terbaik, Mama."
Karan yang mendengar percakapan itu hanya tersenyum bangga, melihat betapa hangat hubungan antara Puri dan mamanya.
"Kamu sudah diterima dengan baik, Pur. Aku juga merasa tenang melihat kamu dan Mama bisa dekat."
Setelah itu, mereka bertiga duduk bersama untuk makan malam.
Suasana di meja makan terasa sangat nyaman, penuh dengan tawa dan cerita ringan.
Puri merasa sangat dihargai dan diterima, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari ini, ia bisa benar-benar rileks.
Karan sesekali menyuapkan makanan ke Puri, dan Puri tersenyum bahagia melihat bagaimana Karan begitu peduli padanya.
Ia merasa terkejut dengan seberapa besar ia mulai mencintai keluarga Karan dan bagaimana kedekatan mereka membuatnya merasa lebih baik.
Saat makan malam berlanjut, Puri mulai merasa sedikit lebih percaya diri.
"Aku rasa aku akan baik-baik saja di sini," gumamnya dalam hati, merasakan kedamaian yang tumbuh di dalam dirinya.
Setelah selesai makan malam, Mama mengajak Karan dan Puri untuk ke alun-alun Yogyakarta.
Di bawah langit malam Yogyakarta yang teduh, mereka bertiga berjalan menyusuri jalan menuju alun-alun.
Lampu-lampu jalan berpendar lembut, menciptakan suasana hangat dan damai. Suara hiruk-pikuk kota tidak mengganggu, justru menambah nuansa akrab dalam kebersamaan itu.
Mama Karan menggandeng tangan Puri erat, seolah ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar menerima kehadiran gadis itu dalam hidup mereka.
Sementara Karan berjalan di sisi lain Puri, sesekali mencuri pandang dan tersenyum melihat wajah perempuan yang dicintainya tampak tenang dan bahagia.
“Di sana, kita duduk di dekat gerobak wedang ronde itu ya,” ucap Mama Karan sambil menunjuk ke arah penjual ronde yang sudah mulai ramai dikerumuni orang.
Setelah memesan tiga mangkuk ronde hangat, mereka duduk di bangku kayu panjang yang menghadap ke arah keramaian.
Suasana hangat dari wedang ronde terasa selaras dengan kehangatan di hati mereka masing-masing.
“Kamu suka, Pur?” tanya Karan sambil meniup uap dari mangkuknya.
Puri mengangguk pelan, matanya berbinar. “Enak, mas... dan semuanya terasa seperti mimpi. Aku merasa seperti... punya keluarga baru.”
Mama Karan tersenyum haru. “Kamu bukan sekadar tamu di sini, Nak. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini.”
Puri menatap kedua orang yang duduk bersamanya. Dalam hatinya, ia tahu masih banyak yang harus mereka hadapi.
Namun untuk malam ini, ia ingin menikmati rasa tenang yang mengalir. Dan mungkin... untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan arti rumah yang sesungguhnya.