NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Operasi Senyap

Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Udara menjelang subuh menusuk kulit, membuat napas Andre, Toni, dan Erlang tampak seperti asap tipis saat mereka berdiri di depan kontrakan sempit milik Firman. Gangnya gelap, hanya disinari satu lampu jalan yang berkedip-kedip seperti mau padam.

Begitu pintu berhasil didobrak, aroma debu dan pengap menyeruak. Hanya cahaya senter yang menembus kegelapan itu—membuat bayangan-bayangan di dinding tampak seperti bergerak.

“Kontrakan standar, Ndre,” bisik Toni sambil menyisir ruangan tamu yang kosong kecuali tikar usang dan rak piring reot.

“Nggak ada tempat persembunyian profesional di sini.”

Mereka mulai bekerja.

Erlang mengangkat kasur tipis dan memeriksa seluruh lantai semen yang retak-retak.

Toni menyisir sisa barang elektronik—adaptor, kabel, monitor tua—semua dilepas, dibongkar, diperiksa.

Andre menelusuri setiap sudut, menepuk-nepuk dinding dan memeriksa celah-celah kecil, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan misteri hilangnya flash drive itu.

Satu jam berlalu.

Dua kamar kecil, dapur sempit, bahkan kamar mandi yang hanya cukup untuk satu orang berdiri—semua sudah diperiksa habis-habisan. Toni bahkan melepas hard drive komputer bekas Firman dan membolak-baliknya.

Hasilnya tetap nihil.

Andre akhirnya terduduk di ambang pintu, kelelahan menguap dari wajahnya. “Tidak ada,” ucapnya pelan, seolah kata itu menghantam ruangan yang sudah kosong. “Diki bilang flash drive asli ada. Tapi Firman nggak nyimpannya di sini. Dia lebih pintar dari yang kuduga… atau—”

“—atau orang lain sudah lebih dulu mendapatkannya,” potong Erlang, wajahnya tegang.

Andre menatap kosong ke lantai sebelum akhirnya berdiri. “Kita sudahi dulu. Aku harus pulang. Aku nggak tenang soal Rima.”

Toni menegakkan badan. “Kenapa? Ada apa sama Rima?”

Andre menarik napas panjang, nyaris seperti menahan sesuatu yang ingin meledak. “Dia sudah beberapa hari ngerasa diikuti. Dia lihat mobil yang sama muter-muter di sekitar rumah. Makanya aku paksa dia cuti total. Flash drive itu masih hilang, dan aku nggak bisa biarin dia kena apapun.”

Nada suaranya mengeras di bagian terakhir.

Setelah itu, Andre bergegas pergi, meninggalkan Toni dan Erlang dalam diam yang terasa menekan.

......................

Pukul 07.00,

Feni baru selesai membereskan sisa sarapan ketika ponselnya berdering kencang. Lina, sahabatnya, terdengar panik.

“Fen… tolong! Aku butuh kamu! Anakku demam tinggi banget. Aku nggak bisa nyetir kalau dia teriak terus!”

Feni gemetar mendengar suara Lina yang nyaris menangis. “Oke, aku datang sekarang.”

Sebelum keluar, ia melihat Rima duduk terpaku di sofa. Wajahnya terlihat kacau, matanya sembab seperti tidak tidur semalaman.

“Mbak, aku ke rumah sakit sebentar ya. Temenin Lina. Kamu di rumah dulu. Kalau ada apa-apa, telepon Andre, oke?”

Rima hanya mengangguk pelan.

Feni pun pergi tergesa-gesa tanpa firasat bahwa itu adalah kesalahan terbesar pagi itu.

Waktu di rumah sakit berjalan lambat. Meski anak Lina akhirnya ditangani dan demamnya berangsur turun, hati Feni tidak tenang. Ada rasa aneh yang mengganjal, seolah ada sesuatu yang salah di rumah.

Ia segera pulang.

Dan firasat itu terbukti.

......................

Begitu pintu rumah dibuka, udara dingin langsung menyergap. Sunyi. Sunyi yang tidak wajar.

“Mbak…?” panggil Feni. Suaranya kecil, hampir seperti bisikan.

Langkahnya membeku ketika ia melihat ruang tamu.

Bantalan sofa berserakan, pot tanaman pecah, pecahan kaca memenuhi lantai, dan meja kecil terbalik. Ada bekas seret di karpet yang seolah menunjukkan pertarungan sengit.

Jantung Feni serasa jatuh.

Ia berjalan cepat, lututnya lemas, dan menemukan Rima di samping sofa—tergeletak, miring, sebagian tubuhnya tertutup pecahan vas bunga. Baju rumahannya sudah berlumuran darah. Luka tembak di bahunya menganga, darah mengalir ke lantai.

“Mbak, mbak Rima !” Feni menjerit. Tangannya gemetar saat memegang pipi Rima yang dingin. “Ya Tuhan… Mbak Rima…!”

Ia meraih ponsel dengan tangan bergetar kuat. “Halo?! Ambulans! Cepat! Kakak iparku ditembak! Kompleks Cempaka, Blok B nomor 12! Tolong cepat!”

Suara sirene mulai terdengar jauh, bergema dari ujung jalan. Tapi bagi Feni, jarak itu terasa terlalu lama. Ia terus memeluk tubuh Rima yang membiarkan darah merah itu mengotori bajunya.

......................

Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, udara dingin dan lembab membuat suasana semakin menekan. Dua pria bertopeng berdiri berlutut, bahu mereka gemetar.

Di depan mereka, seorang pria duduk di kursi besi, wajahnya tersembunyi dalam bayangan.

“Bagaimana?” suaranya berat, dingin. “Kalian sudah mendapatkannya?”

Kedua pria itu menggeleng dalam ketakutan.

“T-tidak, Tuan. Kami menggeledah rumah itu. Jasanya. Bahkan tubuhnya. Tapi… flash drive tidak ada.”

Hening.

Tiba-tiba kursi besi itu bergeser keras, suara gesekannya memantul seperti cambuk. Pria itu berdiri, langkahnya berat dan penuh amarah.

“Kalian bilang dia sendirian!” suaranya meledak. “Kalian bilang kalian bisa mengambilnya tanpa masalah!”

Ia menendang meja besi hingga terbalik, denting logamnya memekakkan telinga.

“KALIAN MELUKAINYA, MENEMBAKNYA, MENGACAK-ACAK RUMAH ITU—TAPI KALIAN TIDAK MEMBAWA BUKTIKU?!”

Kedua anak buahnya menunduk makin dalam, tubuh mereka gemetar.

Karena mereka tahu, pria itu bukan sekadar bos. Ia adalah seseorang yang tidak pernah memberi kesempatan kedua.

“Flash drive itu,” lanjutnya dengan suara rendah namun jauh lebih menakutkan, “berisi bukti yang bisa menghancurkan jaringan ini. Kalau jatuh ke tangan polisi, kita tamat.” Ia mendekat, menahan kepala salah satu anak buahnya. “Dan sekarang… bukti itu masih hilang.”

Suara napasnya bergetar menahan amarah.

“Cari. Dengan cara apa pun. Sebelum orang lain menemukannya.”

Kegelapan di gudang itu seakan menelan semua harapan.

Dan di kota, Rima masih berjuang bertahan hidup.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!