Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi harinya, Jonas masuk ke dalam kamar dengan langkah yang sangat berhati-hati.
Ia melihat Areta masih tertidur di pelukan Vincent, sementara tuannya itu sudah terjaga, menatap tajam ke arah pintu.
Jonas mendekat dan berbicara dengan nada suara yang sangat rendah agar tidak mengusik tidur Nyonya-nya.
Ia menceritakan seluruh kejadian yang terjadi kemarin sore, saat Areta dengan berani berdiri tegak mengusir Nyonya Helena dan Clara dari rumah sakit.
Vincent mendengarkan setiap detail cerita Jonas. Alih-alih marah karena ibunya diperlakukan seperti itu, Vincent justru menganggukkan kepalanya pelan.
Ada binar kebanggaan di matanya saat mengetahui Areta mulai berani menggunakan posisinya sebagai Nyonya De Luca.
"Beri hukuman kepada mereka," ucap Vincent dengan suara dingin dan datar, namun penuh penekanan.
"Potong akses keuangan ibuku untuk bulan ini dan kirim Clara ke tempat yang sudah aku tentukan semalam. Biarkan mereka tahu bahwa tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh atau mengganggu milikku, termasuk keluarga sendiri."
Jonas membungkuk hormat. "Baik, Tuan. Akan segera saya laksanakan."
Vincent kembali melirik Areta yang masih terlelap.
Baginya, ketenangan istrinya adalah prioritas utama sekarang, dan siapa pun yang mengusiknya harus membayar harga yang mahal.
Areta yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya merasa sangat nyaman.
Dalam kondisi setengah sadar, jemari lenturnya mulai bergerak lincah, mengelus dan bermain di antara bulu-bulu halus brewok tipis di rahang tegas suaminya. Sentuhan itu terasa sangat familiar dan menenangkan baginya.
"Selamat pagi, Sayang..." gumam Areta dengan suara serak khas orang baru bangun tidur, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang tulus.
Namun, beberapa detik kemudian, kesadarannya kembali sepenuhnya.
Ia teringat di mana ia berada dan apa yang terjadi semalam.
Perlahan, Areta membuka matanya dan langsung disambut oleh tatapan hazel Vincent yang sudah terjaga sejak tadi, memandangnya dengan intensitas yang dalam.
Areta tertegun. Ia menyadari tangannya masih mengelus brewok pria itu dan kata "Sayang" baru saja meluncur begitu saja dari bibirnya. Wajahnya seketika memerah karena malu.
"Pagi yang sangat indah," sahut Vincent dengan suara berat dan seksi.
Ia tidak bisa bergerak karena tangannya masih terikat, tapi senyum kemenangan menghiasi wajahnya.
"Jadi, sekarang aku sudah menjadi 'Sayang', hm?"
Areta segera menarik tangannya dan mencoba duduk tegak di ranjang, merapikan rambutnya yang berantakan dengan gugup.
"Aku hanya mengigau! Jangan terlalu percaya diri, Vincent!"
Vincent terkekeh rendah, suara tawanya terdengar sangat puas meski ia harus menahan nyeri di dadanya.
"Mengigau yang sangat jujur, Areta. Aku menyukainya."
Tak berselang lama, pintu kamar terbuka dan seorang perawat senior masuk untuk melakukan pemeriksaan rutin pagi hari.
Ia tersenyum melihat kondisi Vincent yang jauh lebih tenang dan stabil dibandingkan kemarin.
"Selamat pagi, Tuan Vincent. Detak jantung dan saturasi oksigen Anda sangat bagus pagi ini," ujar perawat itu sambil mencatat di papan medis.
Ia melirik ke arah tangan dan kaki Vincent yang masih terikat kencang.
"Sepertinya kita bisa melepas ini sekarang agar sirkulasi darah Anda kembali lancar."
Perawat itu menoleh ke arah Areta yang berdiri di sisi ranjang.
"Nyonya, silakan Anda yang membuka ikatannya. Saya rasa Tuan Vincent akan merasa lebih nyaman jika Anda yang melakukannya."
Areta mengangguk pelan. Dengan jemari yang sedikit gemetar, ia mulai membuka simpul tali nilon yang melilit pergelangan tangan kanan Vincent, lalu beralih ke tangan kiri dan kedua kakinya.
Vincent hanya diam membeku, matanya tidak lepas menatap wajah Areta yang begitu serius membantunya lepas dari "belenggu" itu.
Begitu ikatan terakhir terlepas, Vincent langsung menggerakkan pergelangan tangannya yang memerah, lalu meraih telapak tangan Areta dan menggenggamnya kuat, seolah tidak mau dilepaskan lagi.
"Terima kasih," bisik Vincent dalam.
Tepat saat itu, perawat lain masuk dengan membawa nampan berisi sarapan rumah sakit dan obat-obatan.
Aroma bubur hangat dan teh segera memenuhi ruangan.
"Waktunya sarapan dan minum obat, Tuan. Anda harus punya tenaga ekstra untuk masa pemulihan," ucap perawat itu sambil meletakkan nampan di atas meja dorong di depan ranjang.
Vincent melirik makanan itu dengan tatapan malas, lalu beralih menatap Areta dengan penuh arti.
"Tanganku masih kaku dan dadaku sakit jika bergerak banyak, Areta. Kamu tahu apa maksudku, kan?"
Areta menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan senyum geli yang hampir muncul di wajahnya.
Ia tahu betul pria di depannya ini adalah pemimpin mafia yang ditakuti ribuan orang, tapi di atas ranjang rumah sakit ini, dia hanyalah seorang pria yang sedang mencari perhatian.
"Dasar manja," ucap Areta pelan sambil mengambil mangkuk bubur hangat dari nampan.
Vincent bukannya tersinggung, ia justru menaikkan sebelah alisnya dengan wajah tanpa dosa.
"Aku bukan manja, Areta. Aku hanya sedang memanfaatkan hak istimewaku sebagai pasien," jawabnya dengan suara berat yang masih terdengar lemah.
Areta duduk di tepi ranjang, meniup sesendok bubur dengan hati-hati agar tidak terlalu panas sebelum menyodorkannya ke bibir Vincent.
"Buka mulutmu, Monster manja."
Vincent membuka mulutnya dan menerima suapan demi suapan dari tangan Areta dengan patuh.
Matanya tidak pernah beralih dari wajah istrinya, seolah makanan itu hanyalah urusan sekunder, sementara memandang Areta adalah kebutuhan utamanya untuk sembuh.
"Kenapa terus menatapku seperti itu? Makan saja yang benar," tegur Areta karena merasa gugup diperhatikan sedekat itu.
"Aku sedang membayangkan bulan madu kita," sahut Vincent setelah menelan suapannya.
"Hanya ada kamu, aku, dan tidak ada tali pengikat atau selang infus yang mengganggu."
Areta tertegun sejenak, namun ia terus menyuapi suaminya sampai makanan itu habis.
Di dalam hatinya, Areta mulai merasakan sesuatu yang berbeda sebuah perasaan yang mulai hangat, meski ia masih terlalu takut untuk mengakuinya sebagai cinta.
Areta segera meletakkan mangkuk yang sudah kosong dan membantu Vincent turun dari ranjang.
Dengan sangat hati-hati, ia memapah tubuh tegap suaminya itu menuju kamar mandi. Meski Vincent tampak lebih kuat, Areta tetap siaga memegang lengannya agar lukanya tidak tertekan.
"Aku tunggu di luar. Jangan kunci pintunya, panggil aku jika terjadi sesuatu," ucap Areta tegas.
Vincent menganggukkan kepalanya pelan, lalu menutup pintu kamar mandi.
Sambil menunggu, Areta tidak bisa diam. Ia mulai merapikan ranjang suaminya, menepuk-nepuk bantal, dan mengganti seprai yang sedikit kusut agar Vincent merasa lebih nyaman saat kembali berbaring nanti.
Ia juga membuang sisa kopi susunya yang sudah dingin ke tempat sampah.
Beberapa menit berlalu, hanya terdengar suara gemericik air dari dalam.
"Vincent? Apa sudah selesai? Kamu tidak pingsan di dalam, kan?" tanya Areta sedikit cemas karena suaminya terlalu lama di dalam.
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka. Vincent melangkah keluar dengan perlahan, masih mengenakan kemeja pasien yang terbuka di bagian kancing atas, memperlihatkan sedikit perbannya. Namun, ada sesuatu yang berubah drastis pada wajahnya.
Areta seketika terpaku di tempatnya berdiri. Ia tanpa sadar menelan salivanya sendiri.
Vincent telah membabat habis brewok tebal yang selama ini menutupi sebagian wajahnya.
Kini, rahangnya yang tegas dan tajam terlihat sangat jelas.
Wajahnya tampak jauh lebih bersih, segar, dan tingkat ketampanannya melonjak berkali-kali lipat hingga membuat napas Areta seolah tertahan di tenggorokan.
Vincent menyadari tatapan terpukau istrinya. Ia menyeka sisa air di dagunya dengan handuk kecil, lalu berjalan mendekat ke arah Areta dengan seringai tipis yang mematikan.
"Kenapa? Kamu terlihat seperti baru saja melihat hantu atau kamu baru sadar betapa tampannya suamimu ini tanpa brewok?" bisik Vincent rendah, sengaja menundukkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Areta yang mematung.
Areta dengan cepat memalingkan wajahnya, berusaha menghindari tatapan tajam Vincent yang seolah bisa menembus pikirannya. Jantungnya berdegup kencang, dan ia merasa pipinya mulai terasa panas.
"A-aku hanya terkejut melihatmu tiba-tiba bercukur. Ayo kembali ke ranjang, kamu belum benar-benar pulih," ujarnya gugup sambil mencoba melangkah pergi.
Namun Vincent tidak membiarkannya lolos begitu saja.
Dengan gerakan yang halus namun pasti, tangan kanannya yang kini sudah bebas dari belenggu melingkar di pinggang Areta, menarik gadis itu hingga kembali mendekat ke arahnya.
"Jangan menghindar, Areta," bisik Vincent tepat di dekat telinganya. Suaranya yang berat dan serak terdengar jauh lebih intim sekarang.
Vincent mencondongkan wajahnya, memposisikan rahangnya yang kini halus tepat di depan pandangan Areta.
"Jadi, berikan penilaianmu, lebih baik seperti ini, atau kamu lebih suka aku yang penuh brewok?" tanyanya sambil memberikan senyum miring yang penuh godaan.
Areta terpojok, punggungnya kini bersandar pada sisi ranjang sementara tangan Vincent mengunci pergerakannya.
Ia terpaksa menatap wajah bersih itu lagi. Tanpa brewok, Vincent terlihat jauh lebih muda, namun garis wajahnya yang keras menunjukkan otoritas yang tetap sama kuatnya.
"Dua-duanya sama saja, kamu tetap monster yang menyebalkan," jawab Areta ketus, meski matanya tidak bisa berbohong bahwa ia sangat menyukai apa yang ia lihat sekarang.
Vincent terkekeh, suara tawa yang dalam itu bergetar hingga ke dada Areta.
"Tapi monster ini adalah suamimu, dan kau baru saja terpesona padanya, kan?"
Ia mengulurkan tangannya yang lain, menyentuh dagu Areta agar mata mereka bertemu. "Katakan yang sejujurnya, Sayang. Apakah wajah ini membuatmu mulai mempertimbangkan untuk jatuh cinta padaku?"
Areta mendongak, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membalas tatapan intens suaminya.
Ia memaksakan sebuah senyum tipis yang nakal di bibirnya.
"Sebenarnya..." Areta menjeda kalimatnya, tangannya tanpa sadar merapikan kerah kemeja pasien Vincent.
"Aku merindukan brewokmu. Wajahmu yang sekarang terlihat terlalu manis untuk seorang monster. Aku jadi kehilangan tantangan untuk memarahimu."
Vincent tertegun sejenak mendengarnya, lalu tawa rendahnya meledak.
Ia merasa sangat gemas dengan keberanian Areta yang mulai muncul kembali.
Tanpa peringatan, ia menarik Areta lebih rapat dan mendaratkan ciuman yang dalam serta lama di kening istrinya, seolah ingin menyalurkan rasa sayangnya yang meluap.
"Kamu benar-benar pintar memancingku, Areta," bisik Vincent serak.
Matanya kemudian turun ke arah bibir Areta yang sedikit terbuka.
Atmosfer di antara mereka berubah menjadi sangat panas dan intim.
Vincent perlahan mendekatkan wajahnya, memangkas jarak hingga ujung hidung mereka bersentuhan.
Napas hangatnya menyapu wajah Areta, membuat gadis itu memejamkan mata dan berpegangan erat pada lengan Vincent.
"Vin..." desis Areta, antara memprotes dan menanti.
Tepat saat bibir Vincent hampir menyentuh milik Areta untuk mengklaimnya—
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar terbuka dengan lebar. "Selamat pagi! Maaf mengganggu, waktunya pemeriksaan terakhir sebelum—"
Langkah Dokter terhenti seketika di ambang pintu.
Ia melihat posisi Vincent yang sedang memeluk pinggang Areta dengan jarak wajah yang sangat intim.
Dokter itu berdehem keras, wajahnya tampak canggung sementara perawat di belakangnya menahan senyum.
Areta langsung mendorong dada Vincent dengan panik, wajahnya kini merah padam seperti kepiting rebus.
Ia segera berdiri menjauh dan pura-pura merapikan seprai ranjang dengan sangat sibuk.
Vincent, di sisi lain, hanya mendengus kesal. Ia menatap Dokter dengan pandangan tajam yang seolah mengatakan, 'Anda punya waktu paling buruk sedunia untuk masuk ke sini.'
"Ada apa, Dok?" tanya Vincent dengan suara yang kembali dingin dan berwibawa, meski ia masih duduk di tepi ranjang dengan kemeja yang sedikit berantakan.
lanjut Thor💪😘