Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Siangnya setelah Maira pulang dari sekolah nya, aku menemani Maira bermain boneka kesayangannya. Amira masih memikirkan tentang Livia, dia takut jika Livia akan terus datang kerumah ini, dia takut nanti Maira akan menjauhinya lagi.
Hari ini Arif, tidak berangkat ke kantor. Dia hanya berada dirumah saja, karena katanya tidak ada pekerjaan penting yang akan dikerjakannya hari ini. Arif memilih untuk beristirahat saja di kamarnya.
Amira menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terasa penuh. Namun belum sempat ia menemukan ketenangan, suara bel pintu kembali berbunyi. Degup jantung Amira berdegup begitu cepat. Seperti yang ia pikirkan, pasti Livia akan kembali datang.
Amira beranjak dari duduknya, dia segera membukakan pintu rumah untuk tamu yang datang itu. Dan benar saja tamu itu benar-benar Livia. Dia datang dengan senyuman yang angkuh.
Dengan senyum lebarnya, Livia menyapa, "Halo, Amira! Maaf ya, aku datang lagi. Tadi aku lewat dekat sini, jadi sekalian mampir." Katanya dengan nada yang agak sedikit aneh kU dengar.
Amira menahan senyumnya. "Oh, tidak apa-apa, silakan masuk."
Amira membuka pintu dengan lebar supaya Livia bisa masuk.
Maira yang mendengar suara Livia segera berlari menghampiri. "Tante Livia!" serunya senang. Livia membungkuk dan memeluk Maira erat. Amira hanya memperhatikan dari kejauhan, perasaannya semakin bercampur aduk.
Ketika Livia duduk di ruang tamu, Amira tak bisa mengabaikan tatapan Livia yang sesekali melirik ke arah tangga, seolah menunggu kemunculan Arif. Ada kecurigaan yang makin menguat di hati Amira.
Dia tidak hanya datang untuk Maira. Amira yakin akan itu.
*****************************
Tak lama kemudian, Arif turun dari lantai atas, mengenakan kaus santai dan celana panjang. Matanya sempat terbelalak kaget melihat Livia lagi di rumah, tapi ia segera menutupi keterkejutannya dengan senyum.
"Halo, Liv. Ada apa lagi datang ke sini?" tanya Arif, setengah bercanda.
"Aku cuma kangen sama Maira," jawab Livia cepat, sambil tertawa kecil. "Lagipula, kita ini kan teman lama, masa aku harus ada alasan yang besar untuk bisa datang berkunjung kesini sih?”
Amira menunduk, menyembunyikan perasaannya. Tapi hatinya mencatat satu hal penting: Livia tidak menyebut nama Amira sedikit pun. Seolah-olah dirinya tidak diakui dalam rumah ini.
Suasana menjadi canggung sesaat, hingga akhirnya Maira menarik tangan Livia untuk bermain di halaman belakang. Arif dan Amira pun duduk berdua di ruang tamu.
Arif menatap Amira. "Mira, kamu nggak apa-apa?"
Amira tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas."
Padahal di dalam hatinya, ada badai kecil yang berusaha ia redam, dia memaksakan senyumannya kepada Arif, dia berharap Arif tidak menyadari apa yang sekarang ini dia rasakan. Aku harus kuat. Aku tidak boleh kalah oleh kehadiran masa lalu Mas Arif dan juga Maira.
Sore itu berjalan lambat, penuh dengan rasa tak nyaman yang tak terucapkan. Amira hanya bisa berdoa dalam diam, berharap bahwa cintanya kepada Arif cukup kuat untuk bertahan menghadapi semua ini.
Dia mulai yakin bahwa, Livia kemungkinan menyukai Arif. Dari cara nya bicara bahkan caranya menatap Arif juga sudah jelas sekali.
**************************
Malam harinya, setelah kepergian Livia dari rumah Arif dan Amira, mereka mengobrol serius berdua di dalam kamar, setelah Amira menidurkan Maira. Sebelum masuk ke kamarnya, Amira membuat secangkir teh untuk Arif.
Amira duduk di tepi tempat tidur sambil menunduk. Ia mendengar langkah kaki Arif yang perlahan masuk ke kamar, lalu mendekat dan duduk di sampingnya.
Hening. Hanya ada suara detik jam di dinding yang terdengar.
“Amira...” Arif membuka suara lebih dulu, suaranya terdengar ragu. "Kamu kelihatan beda sejak sore tadi. Ada yang mau kamu bicarakan?"
Amira menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya menatap Arif. "Mas... aku mau tanya satu hal. Tapi tolong jawab dengan jujur."
Arif mengangguk pelan.
"Apakah kemungkinan Masih ada ruang yang kosong di hati Mas untuk orang lain selain aku?" tanyanya lirih, hampir seperti bisikan. Amira menahan tangisnya ketika menanyakan itu kepada Arif.
Arif tertegun. Sejenak ia tak menjawab. Namun akhirnya ia meraih tangan Amira, menggenggamnya erat.
"Amira, dengar “katanya pelan. "Aku nggak pernah berniat membuka ruang untuk siapa pun selain kamu dan Maira. Aku tahu, Livia bagian dari masa lalu, tapi itu hanya masa lalu. Aku tidak punya niat apa-apa kepadanya." Lagian Livia cuma teman lama bagiku, bukan mantan atau pun pacarku.”
Amira mengedipkan matanya cepat, menahan perih yang sempat timbul.
"Aku hanya takut, Mas. Takut kalau aku bertarung sendirian untuk mempertahankan rumah ini. Takut kalau cinta yang aku bangun malah runtuh karena masa lalu yang datang tanpa diundang."
Arif mengelus punggung tangan Amira dengan lembut. "Aku paham ketakutan kamu. Aku juga takut kehilangan kamu, Mira. Mungkin aku tidak selalu bisa menunjukkan perasaanku dengan sempurna, tapi percayalah... aku mau memperjuangkan kita. Aku mau memperjuangkan kamu."
Mendengar itu, hati Amira sedikit menghangat, meski kekhawatiran itu masih ada.
"Kalau begitu, Mas..." bisiknya, "Bolehkan aku tetap di sini, mendampingimu, meski jalannya tidak selalu mudah?"
Arif menunduk, mencium punggung tangan Amira penuh ketulusan.
"Jangan kemana-mana, Mira. Aku butuh kamu di sini."
Amira mengangguk, akhirnya membiarkan dirinya percaya sedikit demi sedikit bahwa mungkin, perlahan-lahan, cinta itu benar-benar sedang tumbuh.
Malam itu, mereka berdua akhirnya berbaring berdampingan, saling menggenggam tangan, mencoba melewati badai masa lalu bersama-sama.
“Capek, ya?” tanya Arif pelan.
Amira hanya tersenyum kecil, lalu menggeleng.
“Aku hanya... lega, Mas. Akhirnya kita bisa bicara seperti ini,” bisiknya.
Arif mengangguk. Ia lalu perlahan-lahan menarik Amira ke dalam pelukannya, membuat Amira sedikit terkejut, karena ini untuk pertama kalinya Arif memeluknya tanpa keraguan.
“Aku janji, Mira,” gumam Arif di atas kepala Amira. “Aku akan belajar mencintaimu dengan segenap hati. Aku akan menebus semua luka yang mungkin sudah sempat aku buat.”
Pelukan itu terasa nyata. Hangat. Dan untuk pertama kalinya, Amira membiarkan dirinya larut dalam pelukan itu tanpa rasa ragu sedikit pun.
Di luar kamar, angin malam berhembus pelan, seolah ikut menyampaikan bahwa setelah badai yang panjang, kebahagiaan mulai mengetuk pintu mereka.
Amira memejamkan matanya, membiarkan detak jantung Arif yang berdetak tenang menjadi lagu pengantar tidurnya malam itu.
Amira tidur dalam damai, untuk malam ini tidak ada lagi keraguan di dalam hati Amira, dia tidur sambil memeluk Arif, dia menjadikan Arif sebagai banyaknya, suapaya tidurnya nyaman.
Berbeda dengan Arif, dia masih belum memejamkan matanya, dia tau Pasti Livia datang kerumahnya untuk mendekatinya, terapi dia tidak berani mengatakan kepada Amira, dia takut Amira akan merasa sakit lagi.