Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka di Sudut Bibir
“Ma, bukankah sebelum berangkat ke sini aku sudah meminta izin kepadamu?”
“Oh, benarkah? Ya sudah kalau begitu.” ucap ibunya seraya mematikan telepon.
Nata dengan cepat bergumam dengan wajah cemberutnya. Jia yang melihat kejadian tersebut tersenyum melihat tingkah laku Nata dan ibunya.
“Apa kalian selalu seperti itu? Menurutku itu sangat lucu.”
“Ibuku posesif Jia. Entah dia lupa atau hanya pura-pura tidak ingat. Dia akan selalu memastikan agar aku tidak menghilang dan meninggalkannya sendirian.”
Jia tersenyum seraya berusaha tegar. “Kamu harusnya bersyukur, Itu artinya ibumu sayang padamu.”
Senyuman seketika muncul dari sudut bibir Nata. Mereka pun kembali tidur, sebab besok Nata harus berangkat ke sekolah.
——
Malam pun sirna, berganti dengan pagi yang cerah. Jia segera terbangun saat seorang perawat, beserta Mang Ceceng, yang tepat di belakangnya, datang untuk mengecek kondisinya. Dia bingung seraya mengamati sekelilingnya, sebab dia tidak melihat keberadaan Nata.
“Mang, Nata di mana??” cecar Jia dengan penasaran.
Mang Ceceng yang panik, segera berbicara cepat dengan logat sunda nya. “Neng Nata sepertinya masih di kamar mandi, sedang siap-siap berangkat sekolah. Neng Jia, kenapa bisa seperti ini neng, mamang teh jadi sedih.”
“Tenang mang, aku baik-baik saja.”
“Aduh neng, hati-hati atuh!! ibu berpesan tidak bisa menjenguk neng Jia, karena sedang banyak pekerjaan.” pungkas mang Ceceng dengan sikap cemas dan rasa tidak nyaman.
Jia tersenyum kecut tanpa menjawab. Entah apakah dia harus sakit hati terhadap sikap ibunya.
Dia sudah terlalu banyak menerima kekecewaan ibunya. Bahkan, Jia merasa bahwa energinya terlalu berharga jika harus menangisi keadaannya yang menyedihkan.
Terdengar suara Langkah kaki Nata yang keluar dari kamar mandi, membuat Jia harus mengalihkan masalah yang terjadi antara dirinya dan ibu. Mang Ceceng pun pamit karena harus mengantar Nata ke Sekolah.
Mereka pergi sembari menutup pintu kamar Rumah Sakit, menghilang dari pandangan Jia. Secepat kilat, ruangan yang ditempatinya ini berubah menjadi sunyi. Jia pun mulai muak pada situasi ini. Belum ada beberapa jam, dia sudah dilanda rasa bosan.
——
Matahari mulai turun ke balik cakrawala, meninggalkan semburat jingga di langit sore. Jia duduk di tepi ranjang rumah sakit, ditemani keheningan dan perban di dahinya yang baru diganti perawat. Kemudian Nata kembali dari sekolah, membawa berita yang membuat jantungnya berdegup kencang.
“Jia, Jiaaa, kamu harus tahu, sepulang sekolah tadi liel dan den berkelahi!!!” Kata Nata dengan panik.
Jia seketika berdiri. Wajahnya terlihat panik, namun berusaha dia tutupi dengan baik. Diapun segera meminta Nata untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.
Nata menceritakan apa yang dia lihat di gerbang belakang sekolah, yang sudah sepi. Awalnya, mereka hanya beradu pendapat.
Liel yang tersulut emosi akibat perkataan Den, akhirnya harus melayangkan hantaman dari kepalan jemarinya, tepat mengenai wajah Den, sehingga Den terjungkal menghantam lantai.
Nata yang tidak sengaja melihat perkelahian mereka berteriak, tepat disaat Doris keluar dari toilet dan Mang Ceceng yang datang menjemput Nata. Doris dan Mang Ceceng bekerjasama untuk melerai. Beruntunglah keduanya dapat dipisahkan.
Mendengar hal itu, dada Jia terasa sesak. Tangannya bergetar, tidak tahu harus merasa marah atau sedih. “Lalu, apa kamu melihat Sanna di sekolah?”
“Tidak, dia tidak masuk sekolah sejak kemarin, sama sepertimu.”
“Jadi, perdebatan apa yang membuat mereka harus berkelahi?”
“Tentangmu Jia. Den pengecut itu merendahkan, bahkan memfitnah dirimu di depan liel. Padahal, dia saja yang terpincut oleh kecantikanmu.”
Tidak berselang lama, Liel datang dengan membawakan makanan serta buah-buahan. Mereka berdua beradu pandang. Jia mulai mengamati wajahnya.
Sialnya, Jia malah terpukau. Liel tetap tampan, meskipun di sudut bibir kirinya dihiasi luka lebam yang bengkak dan membiru.
“Hei … hei … ada manusia disini. Sepertinya kita kurang minuman bersoda, aku akan ke minimarket sebentar, kalian berbicaralah sepuasnya tanpa diriku.” ucap Nata berlalu seraya mengerlingkan matanya kepadaku.
“Naaaaat…” Sanggah Jia seraya menahan antara rasa kesal dan canggung.
Suasana kembali hening, saat Nata berlalu dari hadapan mereka. Wajah tampannya terlihat lelah. “Ini makanlah, mungkin kamu bosan dengan makanan di rumah sakit.” Ucap Liel dengan tenang.
“Apa itu sakit?” Ucap Jia seraya menyentuh ke sudut bibirnya.
“Tidak.”
Jia menghela napas, lalu melirik tangan Liel yang bertumpu di lututnya. Ada banyak luka lecet dan goresan di buku-buku jarinya.
“Mengapa berkelahi demi diriku?” tanya Jia lagi sembari perlahan menyentuh kepalan tangan kanannya yang penuh luka.
Mata Liel melebar saat Jia memegang lembut tangannya, begitu pun dengan Jia. Entah apa yang merasuki dirinya sehingga berani menyentuh tangan Liel.
Seketika Liel meraih tangan Jia dan memegangnya dengan erat, membuat Jia tersipu malu. Bahkan jantungnya serasa di pukul tanpa jeda. Seolah lebih tahu apa yang akan terjadi.
“Bukan apa-apa, hanya saja aku tidak tahan mendengar Den dan rumor sampah tentangmu beredar merajalela di sekolah.” tutur Liel dengan serius.
“Liel, bukankah kamu terlalu berlebihan dengan masalahku? Aku hanya tidak ingin merepotkanmu.”
Liel menghela napas, berat. Dia melepaskan tangan Jia, kemudian bersandar ke kursi.
“Haaa … aku benar-benar tidak mengerti. Apa salahnya jika aku mengkhawatirkanmu?” sahut Liel dengan nada kesal sembari menunjukkan kembali luka pada wajah dan tangannya.
Jia menghela nafas, berusaha tenang dan melepaskan tangannya dari pegangan Liel. “Liel, aku tidak pernah memintamu membelaku, bahkan berkelahi seperti ini!”
“Oh, jadi kamu membela si pengecut itu?”
“Bukan be—”
“CEKLEK!”
Suara pintu terbuka, saat Nata datang dengan membawa sebotol minuman bersoda. Wajah tidak berdosa itu mengajak Jia dan Liel ikut makan malam bersama, namun Liel menolak.
“Kalian berdua saja, aku harus segera pulang.” gerutu Liel kesal.
Nata mengernyitkan dahi dengan bibir sedikit terbuka, seraya mengarahkan kepalanya mengikuti kemana Liel berlalu pergi. Sikapnya membuatnya Nata kebingungan.
Nata bertanya apa yang bau saja terjadi, akhirnya Jia memutuskan untuk menceritakannya. Tingkah laku Liel seolah-olah mengenalnya, padahal antara dirinya dan Liel tidak memiliki hubungan apapun.
“Aku benci ketika dia mengasihaniku Nat.”
Nata menghela napas panjang. “Lebih tepatnya rasa iba, karena beberapa peristiwa buruk terjadi padamu. Meski begitu, dia tetap peduli dan berada di dekatmu, apa kamu tidak menyadarinya?”
“Ini membingungkan. Aku menyukainya, sekaligus membencinya ketika dia mengasihaniku.”
“Jia, mari untuk tidak berpikir rumit. Meski yang kamu katakan bahwa Liel terlalu berlebihan … akan tetapi … siapa yang ingin mengorbankan dirinya sampai seperti itu jika dia tidak peduli kepadamu?”
Keheningan yang panjang terjadi. Mereka diam tanpa kata. Jia yang masih terpaku, hanya mampu memberikan senyuman miring kepada Nata.
“Sama sepertiku Jia, kita baru saja akrab, akan tetapi aku berusaha melindungimu dari Den, itu artinya kami peduli padamu.”
“Terima kasih, pikiranku sedikit terbuka.”
Tidak berselang lama, telepon Nata berdering, ibunya menelpon, menyuruhnya untuk segera pulang. Itu artinya, Nata tidak bisa bersama Jia malam ini.
Padahal, Jia ingin sekali mendengar banyak pendapat dari Nata. Jia ingin menahannya lebih lama, namun dia tidak boleh bersikap egois. Dia segera menyuruh Nata untuk segera pulang rumah.
Kini, tinggallah Jia seorang diri, di kamar rumah sakit yang begitu luas. Dia sedikit lelah hanya dengan memikirkan Liel.
Terlintas di hatinya bahwa dia memerlukan ibunya. Namun kenyataannya, itu tidak terjadi, semua hanyalah ilusi bagi Jia.
Dia berusaha tegar. Terlalu miris jika harus meneteskan air mata meskipun dia sudah ingin menangis. Pengaruh obat mulai bekerja, membuatnya mengantuk dan tertidur pulas.
——
Kemudian, dari balik pintu, terlihat seseorang mengamati wajah manisnya Jia saat tertidur. Pria tersebut masuk dan menghampirinya secara perlahan. Dia menghapus air mata yang tanpa Jia sadari mengalir jatuh ke pipinya.
“Tidurlah yang nyenyak, maaf jika tadi aku marah, di saat kondisimu seperti ini.” bisik pria tersebut dengan nada sendu seraya beranjak pergi.
,, suka deh puny sahabat macam Nata