Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Ruangan klub terasa lebih sunyi dari biasanya, meskipun keempat anggota utama telah berkumpul. Naruto duduk di kursinya dengan tangan terlipat, memperhatikan percakapan yang sedang berlangsung.
Yuigahama Yui, dengan ekspresi sedikit menyesal, menghela napas sebelum akhirnya angkat bicara.
“Aku… tetap tidak menemukan petunjuk,” katanya sambil memainkan ujung rambutnya, jelas merasa tidak enak karena tidak bisa berkontribusi lebih.
Yukinoshita Yukino, yang duduk tegak dengan tangan disilangkan, menutup matanya sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Tidak mengapa,” ucapnya dengan nada tenang, seakan sudah menduga hal ini sejak awal. Lalu matanya beralih ke Hikigaya Hachiman. “Kalau begitu, bagaimana denganmu? Apa yang kau dapatkan?”
Semua mata di ruangan kini tertuju pada Hachiman. Pria itu, dengan ekspresi malas seperti biasa, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara.
“Masalah ini…” Hachiman menatap mereka satu per satu, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “…ada pada Hayama itu sendiri.”
Ucapannya membuat ruangan seketika hening. Bahkan Yukino yang biasanya tidak mudah terkejut, menaikkan alisnya sedikit, sementara Yuigahama tampak bingung.
Naruto, yang sejak tadi hanya mengamati, mengangkat sudut bibirnya sedikit. “Oh?” gumamnya, tertarik dengan arah pembicaraan ini.
Hachiman melanjutkan, “Dari semua yang kita ketahui sejauh ini, satu hal yang jelas: orang-orang di sekeliling Hayama tidak benar-benar memiliki ikatan kuat satu sama lain. Mereka berada di sana bukan karena mereka ingin, tapi karena mereka harus.”
Naruto menyilangkan tangan. “Karena Hayama.”
Hachiman mengangguk. “Tepat. Hayama bukan hanya pusat popularitas sekolah, dia juga pusat dari lingkaran pertemanannya. Orang-orang di sekitarnya tetap berada di orbitnya bukan karena mereka saling peduli, tapi karena mereka ingin tetap berada di dalam orbitnya. Dan begitu ada aturan yang memaksa mereka untuk memilih… mereka mulai saling mendorong satu sama lain.”
Yuigahama menggigit bibirnya. “Tapi… Hayama orang yang baik, kan? Dia nggak mungkin sengaja membiarkan itu terjadi.”
Hachiman mendengus sinis. “Justru karena dia terlalu baik.”
Yukino menyipitkan matanya, menangkap maksud dari kata-kata Hachiman. “Jadi, kau mengatakan bahwa ini adalah hasil dari cara Hayama menjalani hidupnya?”
“Bukan hanya itu.” Hachiman menghela napas lagi. “Hayama sadar akan hal ini, dan dia memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Itu sebabnya dia datang ke kita. Dia ingin seseorang menyelesaikan ini tanpa dia harus mengotori tangannya sendiri.”
Sekarang ruangan benar-benar sunyi.
Naruto akhirnya bersandar ke belakang, menatap langit-langit. “Jadi… yang kita hadapi di sini bukan sekadar kasus rumor murahan. Ini tentang bagaimana orang-orang di sekitar Hayama saling menjatuhkan… dan bagaimana Hayama sendiri membiarkannya terjadi.”
Yukino menutup matanya sejenak, mencerna informasi yang baru mereka simpulkan. Lalu, dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, dia berucap:
“Jadi… apa yang akan kita lakukan?”
Pintu ruangan klub diketuk dengan lembut sebelum terbuka, memperlihatkan sosok Hayama Hayato yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tenang. Meski begitu, sorot matanya tampak sedikit khawatir, seolah menyadari bahwa diskusi yang sedang berlangsung mungkin berhubungan dengan dirinya.
“Bolehkah aku masuk?” tanyanya sopan.
Yukino hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, sementara Yuigahama memberikan senyum canggung. Hachiman, yang sejak tadi terlihat malas, hanya mengangkat bahunya. Naruto, di sisi lain, tetap diam, membiarkan pembicaraan mengalir.
Setelah Hayama duduk, mereka langsung menjelaskan inti masalah yang telah mereka simpulkan sebelumnya. Bagaimana pertemanan antara Ouka, Tobe, dan Yamato bukanlah ikatan yang sesungguhnya, melainkan sesuatu yang terbentuk karena mereka semua berpusat pada dirinya. Dan bagaimana aturan kelompok tiga orang dalam study tour ini telah memicu mereka untuk saling menyingkirkan satu sama lain.
Mendengar semua itu, Hayama menundukkan kepalanya sejenak, menyerap informasi yang diberikan. Ada ketegangan di wajahnya, seakan ia sadar bahwa ini adalah kebenaran yang selama ini enggan ia akui.
Hachiman mendesah sebelum akhirnya bersuara.
“Jadi, kalau kau benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini…” ia berhenti sejenak, membiarkan suasana hening menggantung sebelum melanjutkan, “…jangan ikut bergabung dengan kelompok mereka.”
Hayama mengangkat wajahnya, jelas terkejut dengan saran tersebut. “Apa?”
“Biarkan mereka bertiga yang membentuk kelompok. Kau sendiri bisa mencari kelompok lain,” lanjut Hachiman dengan nada malas. “Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi saling menyingkirkan satu sama lain. Tidak perlu ada tekanan tak terlihat. Dan mereka bisa berteman dengan cara yang lebih jujur.”
Hayama terdiam. Matanya menyapu ruangan, mencari reaksi dari yang lain.
Naruto, yang sejak tadi mengamati, akhirnya tersenyum kecil. “Aku setuju dengan Hachiman.”
Yuigahama tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Aku rasa itu bisa berhasil…”
Yukino menatap Hayama dengan tajam. “Jika kau benar-benar peduli pada mereka, kau tidak akan ragu menerima solusi ini.”
Ruangan kembali sunyi. Hayama tampak bergumul dengan pikirannya sendiri, menimbang antara kebiasaan lamanya dan saran yang baru saja ia dengar.
Lalu, setelah beberapa saat, dia menghela napas panjang dan mengangkat kepalanya dengan ekspresi yang lebih tenang.
“…Baiklah, aku akan melakukannya.”
Keesokan harinya, ketika Hayama mengumumkan keputusannya untuk membiarkan Ouka, Tobe, dan Yamato tetap dalam satu kelompok tanpa dirinya, semuanya berjalan dengan lancar. Seolah-olah tekanan yang selama ini ada di antara mereka menghilang begitu saja.
Dan untuk pertama kalinya, hubungan mereka mulai terlihat lebih jujur.
Naruto sedang duduk santai di bangku panjang yang menghadap ke halaman sekolah. Angin siang yang sejuk berhembus, membuat dedaunan di pohon-pohon bergoyang pelan. Dia menikmati suasana itu, membiarkan pikirannya melayang tanpa beban—setidaknya untuk sesaat.
Namun, kedamaian itu tak bertahan lama. Langkah kaki ringan terdengar mendekat, dan tak lama kemudian, Yuigahama Yui berdiri di sampingnya, tersenyum seperti biasa.
“Yo, Naruto!” sapanya ceria sebelum duduk di sebelahnya.
Naruto menoleh sekilas dan membalas dengan anggukan kecil. “Yo, ada apa?”
Yuigahama menggoyangkan kakinya pelan, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku cuma penasaran… Kalau Hikki tidak menawarkan solusi kemarin, apa yang akan kamu lakukan?”
Naruto terdiam sejenak, menatap langit biru di atas mereka. Pertanyaan itu membuatnya berpikir ulang tentang pendekatan yang mungkin ia ambil. Setelah beberapa detik, dia menghela napas dan tersenyum kecil.
“Aku mungkin akan melakukan sesuatu yang lebih… langsung,” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke bangku.
“Langsung?” Yuigahama memiringkan kepalanya, penasaran.
Naruto mengangguk. “Aku akan menemui mereka bertiga secara terpisah dan berbicara dengan mereka satu per satu. Aku ingin tahu apa yang benar-benar mereka rasakan, bukan hanya asumsi yang kita buat dari luar.”
Yuigahama mengedip beberapa kali, berpikir. “Tapi… bukankah itu akan memakan waktu lebih lama?”
“Mungkin,” Naruto mengakui. “Tapi itu juga akan memberi mereka kesempatan untuk jujur pada diri mereka sendiri. Kadang, orang-orang tidak menyadari apa yang mereka rasakan sampai ada seseorang yang memaksa mereka untuk mengatakannya dengan suara keras.”
Yuigahama terdiam, memproses kata-kata Naruto.
“Jadi, kalau ternyata mereka memang tidak bisa berteman tanpa Hayama?” tanyanya akhirnya.
Naruto tersenyum kecil. “Kalau itu yang terjadi, maka lebih baik mereka sadar sekarang daripada terus berpura-pura.”