NovelToon NovelToon
I Am Morgan Seraphine

I Am Morgan Seraphine

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Sugar daddy / Ayah Darurat
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: Maeee

Bagaimana jadinya ketika bayi yang ditinggal di jalanan lalu dipungut oleh panti asuhan, ketika dia dewasa menemukan bayi di jalanan seperti sedang melihat dirinya sendiri, lalu dia memutuskan untuk merawatnya? Morgan pria berusia 35 tahun yang beruntung dalam karir tapi sial dalam kisah cintanya, memutuskan untuk merawat anak yang ia temukan di jalanan sendirian. Yang semuanya diawali dengan keisengan belaka siapa yang menyangka kalau bayi itu kini sudah menjelma sebagai seorang gadis. Dia tumbuh cantik, pintar, dan polos. Morgan berhasil merawatnya dengan baik. Namun, cinta yang seharusnya ia dapat adalah cinta dari anak untuk ayah yang telah merawatnya, tapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Siapa yang menyangka gadis yang ia pungut dan dibesarkan dengan susah payah justru mencintai dirinya layaknya seorang wanita pada pria? Mungkinkah sebenarnya gadis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mochi

Sinar pagi menyusup melalui celah tirai menari-nari di wajah Morgan. Namun pria itu tampak tak peduli. Matanya masih terpejam rapat, bibirnya sedikit terbuka, dan dia masih terlarut dalam mimpinya yang indah.

Morgan mendusel-dusel kepalanya ke bantal yang kenyal dan lembut dan di tangannya ada sesuatu yang bulat memenuhi genggamannya. Ia meremas benda itu yang sama kenyalnya dengan bantal. Lembut, besar, kenyal, dan empuk seperti mochi.

Cherry merasakan sakit di dadanya, terasa seperti sedang diremas, yang memaksanya bangun dari tidurnya. Gadis itu mengernyit ketika sinar sang surya menusuk bola matanya, membuka lamat-lamat matanya dari terpaan sinar matahari.

Erangan kecil keluar dari bibirnya sambil menggeliat, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Namun, sesuatu yang berat terasa menindih dadanya. Dengan perlahan Cherry menunduk.

Di sana, tertidur pulas sosok Morgan, kepala dia bersandar nyaman di dadanya. Nafasnya teratur dan dia tampak masih lelap dalam tidurnya.

Namun yang mengganggunya bukanlah Morgan yang tidur di atas dadanya, melainkan tangan pria itu yang terus meremas sebelah dadanya, yang menjadikan dadanya terasa sakit.

Cherry membekap mulut tatkala Morgan malah semakin mencengkram kuat.

Masih sambil tidur Morgan mengorek telinganya. Entah dalam mimpi atau nyata, tapi ia merasa mendengar sebuah erangan wanita.

"Morgan, bangun!" pinta Cherry, menjambak rambut pria itu supaya terbangun. Ia membiarkan tangan Morgan di atas dadanya supaya pria itu tau apa yang diperbuatnya.

Morgan menguap lebar sambil menggaruk kepalanya yang gatal, matanya masih sayu. Tangannya secara naluriah meremas lagi sesuatu yang kenyal, hangat, nan lembut seperti Mochi.

Tatapan matanya langsung tertuju pada tangannya yang sedang menggenggam sesuatu. Wait! Ada yang mengganjal di sini.

Morgan mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung tertuju pada wajah Cherry yang merah padam. Mata mereka bertemu sejenak sebelum akhirnya Cherry memalingkan wajahnya dari Morgan.

Mata Morgan melebar, baru menyadarinya. Jadi, yang sejak tadi ia remas adalah dada Cherry, bukan mochi seperti yang dalam mimpinya? Dan itu nyata, bukan sekedar mimpi.

"Sampai kapan kamu akan memegang dadaku?" tanya Cherry dengan suara yang sedikit tertahan.

"Oh?" Morgan langsung mencabut tangannya dari dada Cherry. "Sorry."

Morgan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Jangan salah paham! Aku tidak sengaja melakukannya."

"Ya, aku tahu." Cherry bangkit dari tidurnya, duduk di sisi ranjang sambil memakai sandal.

"Hari ini kamu mau sekolah?" tanya Morgan berbasa-basi. Ia menatap punggung gadis itu. Kecanggungan masih terasa jelas di antara dirinya dan Cherry.

"Ya," jawab Cherry sembari mengangguk. Dia kemudian berjalan ke arah kamar mandi.

"Oke. Kalau begitu kita bisa berangkat bersama," sahut Morgan, yang tak mendapat jawaban dari Cherry sebab gadis itu sudah masuk ke kamar mandi.

Morgan mengangkat tangannya, mengukur seberapa besar tadi dada Cherry dalam genggamannya. Ia tidak tahu harus menyebut ini sebuah kecelakaan atau keberuntungan.

"Kenyal sekali....," gumamnya. Memejamkan mata sambil meletakkan tangan di pipi, merasakan kembali kelembutan, kehangatan, dan besarnya dada Cherry tadi.

"Shit!" Morgan menyingkap selimutnya. Khayalannya barusan telah membangkitkan sesuatu yang masih tidur lelap.

...----------------...

Morgan diam di kursi kerjanya. Sejak pagi rasanya ia tak bosan menatap tangannya. Rasanya, sensasinya, semuanya masih terasa jelas.

"Sebesar ini?" Tangannya mencoba membentuk seukuran dada Cherry.

Oscar masuk ke dalam ruangan Morgan, pria itu tak menyadari kedatangan temannya saking larutnya ia dengan dunianya sendiri.

"What are you doing?" tanya Oscar, penasaran dengan yang sedang dilakukan Morgan. Rasa penasaran itu bahkan membuat keningnya berkerut dalam. Ia menarik salah satu kursi lalu duduk di hadapan Morgan.

Morgan melirik Oscar yang tiba-tiba sudah ada di depan matanya. Pun ia menepukkan tangan itu ke keningnya.

Oscar semakin mengerutkan keningnya bingung.

"Dada siapa yang sedang kau ukur?" celetuknya.

"Shit man...." Morgan menatap tajam Oscar dari celah-celah jemarinya. "Bagaimana kau bisa tahu?"

Oscar tertegun. Jadi tebakannya benar? Shit. "Aku hanya asal bicara, tidak menyangka ucapan ku benar."

"Jadi dada siapa yang sedang kau ukur? Aku pikir setelah kejadian bersama Cherry kau akan berubah,-" Oscar tak melanjutkan ucapannya kala mendapatkan sebuah spekulasi di pikirannya.

"Bro, jangan bilang kalau dada yang sedang kau ukur adalah milik...."

"Aku tidak sengaja, oke? Jangan berpikir aneh-aneh!" peringat Morgan menunjuk wajah Oscar, lalu menyisir rambutnya ke belakang.

"Ayah yang buruk," cibir Oscar. Menggelengkan kepala kemudian bersandar ke kursi.

"Aku tahu," jawab Morgan tak menyangkal. Ia menghela napas.

"Aku sedang bermimpi jalan-jalan ke Jepang dan membeli mochi, aku memakannya begitu nikmat, dan tanganku secara naluriah memegang dadanya yang kenyal seperti mochi dalam mimpiku," jelas Morgan.

"Shit," umpatnya lalu menggusar wajah.

"Ck, ck, ck." Oscar menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Jangan berpikir untuk menyetubuhinya juga," gertaknya.

"Aku hanya ayah yang buruk, bukan gila," sahut Morgan sinis.

Oscar terkekeh. "Mendengar dari cerita mu apa itu artinya hubungan kalian sudah membaik?"

"Perlahan," jawab Morgan singkat.

"Apa itu artinya Minggu depan kau bisa bergabung lagi bersama kami?"

Tiba-tiba ponsel Morgan berbunyi, menahannya untuk menjawab pertanyaan Oscar.

"Sebentar. Ini panggilan dari sekolah Cherry," ujar Morgan sembari bangkit berdiri.

"Halo!" sapa Morgan sambil meletakkan ponsel di telinganya. Ia diam mendengarkan apa yang dikatakan pihak sekolah.

"Baik. Saya akan datang ke sana sekarang juga," ucap Morgan. Segera setelah itu ia menutup ponsel dan kembali ke mejanya.

"Ada apa?" tanya Oscar.

"Cherry bertengkar dengan temannya dan sekarang dia sedang menangis. Astaga!" Morgan memijat pelipisnya. Ada-ada saja kelakuan gadis itu. Entah karena apa dia bisa bertengkar bersama temannya. Baru kali ini ia menerima laporan Cherry bertengkar.

"Anak nakal," cemooh Oscar santai sambil terkekeh pelan.

Morgan saat itu juga menatapnya tajam. "Cherry bukan anak nakal. Pasti temannya yang memulai perkelahian," sangkalnya. Ia pun bergegas pergi dari kantor, meninggalkan sang teman yang berkunjung.

Sesampainya di sekolah Cherry, mobil hitam Morgan meluncur mulus memasuki halaman sekolah yang terasa sepi karena ini masih jam belajar.

Dari kaca mobil pandangannya langsung tertuju pada sosok mungil yang tengah terisak di depan kelas. Cherry berdiri di sana bersama seorang guru wanita yang berusaha menenangkan tangisnya. Namun Cherry tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti menangis.

Morgan segera keluar dari mobil dan menghampiri mereka. "Cherry!" panggilnya dengan khawatir.

Seketika Cherry berlari ke arahnya, tubuhnya menghambur ke pelukan Morgan, memeluknya sangat erat hingga air mata di wajahnya membasahi kain jas Morgan.

"Ayo pulang," pintanya sambil tersedu-sedu.

Morgan mengusap-usap punggung Cherry, berusaha menenangkan gadis itu. "Tunggu sebentar. Aku harus,-"

Cherry menggeleng keras, matanya masih terpejam rapat. "Aku bilang ayo kita pulang sekarang!" tegasnya, kali ini suaranya meninggi. Sengaja supaya Morgan tak harus berbasa-basi dulu bersama siapapun di sini. Ia juga tidak mau jika Morgan sampai bertemu dengan orang yang sudah membuatnya seperti ini.

Morgan menarik napas dalam dan menghembuskannya panjang. Ia melirik guru wanita yang masih berdiri di tempatnya.

"Baiklah, ayo kita pulang!" Morgan membukakan pintu mobil untuk Cherry masuk.

Guru wanita itu melangkah mendekati Morgan. "Tuan!" panggilnya ragu-ragu.

Morgan menutup pintu mobil dan menghadap pada guru tersebut.

Guru wanita itu tak berani bertatapan bersama Morgan, karena itulah ia terus menunduk.

"Kami sangat menyesali kejadian ini. Namun kami harap anda bisa memakluminya dan tidak memperpanjang masalah ini. Mohon agar masalah ini diselesaikan secara baik-baik dan tidak dibawa ke jalur hukum."

Morgan masih menatap lekat guru tersebut kemudian bibirnya tersenyum tipis. "Saya tidak berpikir untuk memperpanjang masalah ini," ujarnya santai.

"Mungkin ada kesalahpahaman di antara Cherry dan temannya. Saya sebagai ayah juga meminta maaf atas segala kesalahan yang mungkin dilakukan putri saya."

Setelah percakapan singkat itu Morgan beranjak pergi. Ia meninggalkan sang guru yang masih diam di tempat, menatap kepergiannya dengan penuh harap.

Sudah cukup jauh dari sekolah tapi Cherry tak kunjung berhenti menangis. Pun Morgan akhirnya memberhentikan mobil di tepi jalanan.

"Aku tidak bisa fokus menyetir jika kamu terus menangis. Bisa tolong ceritakan masalah mu sekarang juga?" pinta Morgan. Ia menghadapkan dirinya pada Cherry.

"Jangan terus menggosok matamu, nanti terluka dan akan perih," tegurnya sambil meraih kedua tangan gadis itu, menggenggamnya untuk menahan.

Cherry menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak menangis lagi. Dadanya masih naik turun dan napasnya pun tak beraturan.

"Tunggu, baju siapa yang kamu pakai saat ini?" tanya Morgan menyelidiki. Ia baru sadar bahwa pakaian Cherry asing.

"Ini baju milik anak sialan itu," jawab Cherry sambil memaki.

"Ceritakan lebih jelas!" pinta Morgan menuntut.

Cherry menarik napas dalam sebelum bercerita. "Kejadiannya begitu singkat...."

"Aku sedang berjalan habis membeli minum dari kantin bersama Abigail, tiba-tiba aku bertemu dengan sekelompok anak-anak nakal yang dipimpin oleh anak sialan itu,-"

"Cherry, jangan terus berbicara kasar," sela Morgan menegur.

"Tapi dia anak yang menyebalkan," pekik Cherry. Dua tangannya mengepal kuat.

Diam-diam Morgan menghela napas. "Oke, baiklah. Lanjutkan!" pintanya sambil memijat kepala.

"Pemimpin anak-anak bodoh itu adalah Drake. Dialah yang memulai semua ini. Aku sama sekali tidak melakukan apapun padanya tapi tiba-tiba dia melemparkan bola basket ke dadaku dengan sangat keras. Minuman yang sedang aku seruput tumpah ke pakaian ku."

"Aku ditertawakan oleh mereka, tapi yang membuat ku menangis itu karena dadaku sangat sakit. Aku sempat mengira buah dadaku pecah karena saking sakitnya," adu Cherry dengan jelas dan bernada emosi.

"Izinkan aku melihat kondisi dadamu. Jika itu sangat parah maka kita harus segera pergi ke rumah sakit," kata Morgan. Ia langsung menarik ujung pakaian Cherry ke atas.

Gadis itu patuh saja. Ia mengangkat tangan saat Morgan melepaskan pakaiannya.

Mata Morgan mendadak melebar diiringi dengan tubuh yang terasa membeku setelah melihat dada Cherry yang ternyata tidak mengenakan bra.

"Di mana bra mu?" tanya Morgan.

"Itu basah jadi aku menyimpannya di kolong meja. Besok aku akan membawanya," jawab Cherry polos.

Morgan lagi-lagi memijat kepalanya. "Astaga. Kamu tidak boleh melepaskan bra di sembarangan tempat. Ingat, ini harus menjadi pelajaran penting bagimu! Apapun yang terjadi bra tidak boleh dilepas."

"Tapi memakai bra membuat dada ku semakin sakit, Morgan," keluh Cherry, mencoba membela diri.

Cherry memegang kedua dadanya. "Lihat! Apa kamu tidak melihat? Mereka memar gara-gara pukulan dari Drake."

Morgan melepaskan tangan Cherry dari dadanya, digantikan oleh tangannya sendiri yang menyangga buah dada tersebut.

"Dadaku masih sakit karena pagi tadi kamu meremasnya, sekarang semakin sakit karena dipukul bola."

"Sekarang aku mulai membenci punya dada yang besar," rutuk Cherry.

Cherry menatap wajah Morgan kala pria itu tak kunjung bergeming. Dia terlihat tak mengindahkan ucapannya, bibir pria itu justru malah sedang tersenyum.

"Kenapa kamu tersenyum? Apa kamu bahagia dengan kondisi ku?" gertak Cherry.

"Huh?" Morgan tersadar. Untuk beberapa waktu yang lalu dirinya malah menikmati tangannya yang menyanggah dua dada Cherry.

"Tidak seperti itu. Aku hanya sedang berpikir, mungkin kita harus segera ke rumah sakit untuk mengobatinya," alibi Morgan.

Morgan menepuk-nepuk pelan bagian atas dada Cherry. "Kamu pasti akan sembuh," gumamnya.

Sejujurnya ia diam-diam mencari kesempatan dalam kesempitan. Benar kata Oscar, dirinya ayah yang buruk.

1
Esti Purwanti Sajidin
makane si drak nakal bgt ya sama cery
Vanilabutter
agresif kali si cherry
Vanilabutter
ini kenapa dar der dor sekali baru chap awal /Facepalm/.... semangat thor
my_a89
Kein Problem Thor, santai aja..semangat Thor✊
Elmi Varida
lanjut thor
Elmi Varida
kasihan sih sebenernya cherry...
wajar dia nggak peduli lg dgn ortu kandungnya secara dia dr bayi sdh dibuang.🥲
Elmi Varida
ikut nyimak thor. lanjut ya..
Elmi Varida: Amen, sama2 Thor. sukses terus dan tetap semangat ya..
Fairy: Makasih udah baca cerita aku yang tak sempurna ini☺️ kakaknya semoga sehat selalu, dikasih rezeki yang berlimpah, dan selalu dalam lindungan Tuhan☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!