Cita-cita adalah hal mutlak yang harus dicapai. Sedangkan, prinsipnya dalam bekerja adalah mengabdi. Namun sebagai gadis miskin tanpa pendidikan penuh ini — pantaskah Meera menjadi sasaran orang-orang yang mengatakan bahwa 'menjadi simpanan adalah keberuntungan'?
Sungguh ... terlahir cantik dengan hidup sebagai kalangan bawah. Haruskah ... cara terbaik untuk lepas dari jeratan kemalangan serta menggapai apa yang diimpi-impikan — dirinya harus rela menjadi simpanan pria kaya raya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sintaprnms_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 : Pernikahan?
...17 : Pernikahan?...
Ferdina bilang, Meera meminta izin untuk meninggalkan Villa beberapa jam. Dan otak Abhimana sudah terkoneksi bahwa mungkin saja wanita itu akan tampil di acara-acara teater lagi.
Jadi, untuk apa memusingkan sesuatu? Bella pun juga sudah dikabari. Tunangannya itu kembali ke Jakarta untuk mengurus beberapa berkas. Kegiatan Bella sangat lah padat, karena Bella adalah Dosen PKL atau lebih gampangnya disebut sebagai Dosen Magang.
Setelah mengunjungi beberapa Lazuardi Resort Town yang berada di Batu, Malang dan Surabaya — Abhimana berpikir untuk meng-iya-kan permintaan dari Tante Callista.
Beliau bilang, Abhimana, datang ya? Ke acara Tante di Pusat Kota Malang mulai jam 5 sore.
Sejujurnya Abhimana tidak terlalu paham. Acara yang dibuat oleh Tante Callista jelas saja berhubungan dengan seni? Ya. Hal-hal semacam itu lah. Tetapi demi rasa hormat, dan mewakili Papa juga Mama. Abhimana memilih datang. Lagi pula, hanya datang, kan? Tidak ada hal aneh-aneh. Maka pilihan mobil yang digunakannya adalah Mercy E-Class saja. Simple. Karena yang lain — yang tersisa di Villa Batu adalah Ferrari dan Porsche.
Sialan. Gue nggak ada mobil biasa lagi, BMW udah gue bawa balik ke Surabaya. Udahlah peduli apa? Yang penting gue datang terus parkir, udah, batin Abhimana.
Sesampai di tempat acara, sekitar pukul 04:35 WIB.
Masih belum jam lima tepat. Abhimana memarkirkan mobil dan ya … penyelenggara acara atau apalah namanya, jelas tahu bahwa ia adalah Adiwangsa — selaku keponakan Callista yang mengadakan acara.
Mereka membawa dirinya masuk ke dalam tenda yang didirikan seperti ruangan. Dan disana, ia diminta duduk menunggu. Karena mereka bilang Tante Callista sedang dalam perjalanan bersama sang suami — Maheer Jayantaka.
Tidur bisa kali, ah, sambil duduk. Bentar aja.
Kurang lebih mungkin 15 menit Abhimana sempat tertidur. Ia dibangunkan oleh goyangan ditubuh dari Om Maheer.
“Nggak kerja kamu?” tanya beliau.
Abhimana mengusap wajah dan mengerjap berkali-kali, supaya ia semakin tersadar. “Kerja. Udah pulang, Om.”
“Kayaknya kamu sayang banget sama Tante, sampai rela dateng ke pameran,” ujar Om Maheer yang sepertinya berniat menggoda.
Krek. Tutup botol minum kemasan terbuka, Abhimana meneguk beberapa kali dan dengan tersenyum ia menjawab, “Om juga kan? Kecintaan banget sama Tante, sampai mau datang ke event beginian. Lebih parahnya lagi, Om dirikan Galeri Seni buat Tante Callista.”
Abhimana mengangkat satu jempol. “Keren, Om. Entar Abhi contoh, ya?”
Pria berdarah Arab dan Jawa itu terbahak-bahak. “Ya Allah kamu Bhi, Bhi ... Bener kok, nggak salah. Om emang sudah kecintaan banget sama Tantemu itu.”
“Habisnya kamu nggak lihat? Tantemu itu penurut. Om suka banget sama perempuan yang bisa diatur,” sambung Om Maheer.
Yang bisa diatur?
“Seingetku Om, sebelum menikah sama Om, Tante Callista itu nggak bisa diatur loh.”
Om Maheer menatap ke arah samping — ke arah celah seperti jendela dalam tenda dan menjawab, “Justru itu point pentingnya, Bhi. Tantemu itu, sudah menemukan seseorang yang bisa dia taati. Makanya, dia berubah lebih baik setelah menikah.”
“Kan perempuan itu makhluk yang … agak rumit, yang apa-apa nggak mau diatur. Meskipun kodrat mereka dibimbing, tetep aja mereka — perempuan itu paling nggak suka sama laki-laki yang sok ngatur.” Om Maheer menjeda.
Abhimana agak pusing. Kodrat perempuan itu dibimbing tetapi kebanyakan dari mereka tidak mau diatur. Jadi maksudnya, gimana sih?
“Ya gimana ya, Om jelasinnya? Intinya mereka mau diatur sama laki-laki — yang menurut pandangan mereka pantas. Bukan sekedar donatur yang setiap bulan menafkahi mereka aja, gitu. Jadi ... secara nggak langsung, waktu Om ajak Tantemu nikah, Tantemu itu udah bergulat dengan pikiran dan batinnya — kalau dia seratus persen siap untuk dibimbing dan diatur sama laki-laki seperti Om ini. Suaminya,” sambung Om Maheer.
Ah nggak tau lah, ribet banget, batin Abhimana yang tidak memahami keinginan makhluk Tuhan satu itu.
Tetapi yang membuat Abhimana bertanya-tanya sendari tadi adalah arah pandang Om Maheer. Kami ini bercakap-cakap di sini, namun tidak bertatapan. Om lihatin apasih?
Perlahan Abhimana berdiri dan ya! Yang dilihatnya adalah Tante Callista sedang berdiri di depan lukisan bersama seorang wanita — yang membuatnya dua kali lipat lebih terkejut. Itu … Meera!
“Dari jauh gini aja, Bhi … Tantemu kelihatan cantik, ya?” ungkap Om Maheer.
Dan fokusnya bukan lagi pada percakapan, atau memandangi Tante Callista. Melainkan pada Meera.
Jadi dia izin keluar buat dateng ke pameran seni?
Selesai. Namun acara akhir seperti jumpa fans, maybe? Masih terlaksana — di sana ada Tante Harsa, dan Tante Callista yang mendampingi.
Abhimana memilih untuk menepi. Matanya mencari-cari seseorang. Hingga — yap! Tertangkap. Wanita itu sedang bersama dengan seorang laki-laki. Kelihatan agak muda.
Bahkan hal yang tidak Abhimana prediksi tiba-tiba terjadi. Apa-apaan pemandangan ini? Laki-laki itu menyentuh tangan Meera, mereka tertawa bersama. Dan di menit-menit berlalu mereka pun menepi.
Di pojokkan, laki-laki itu … seperti mengatakan dan menyerahkan sesuatu. Oh, wah. Cincin? Sedang melamar? Serius? Di tempat seperti ini melamar seseorang?
Miskin banget. Nggak modal.
Tanggapan Meera membeku saja. Dan kemudian Meera mendekat, menyentuh siku dan meminta laki-laki itu berdiri. Ya, mereka menjauh.
Lalu anggap saja ia gila! Peduli apa? Abhimana memilih mendekat, mengikuti arah jalan mereka yang menuju ke parkiran.
“Ngga, jangan gini. Kamu bilang, cuma ajak aku ke pameran seni aja, kan?”
“Sampean (kamu) nggak mau menikah, Mbak?”
Mbak? Abhimana tersenyum miring. Benar, kan, dugaannya? Lelaki itu lebih muda dari Meera. Tetapi apa-apaan lelaki itu? Apakah dia pikir Meera seperti gadis kampung pada umumnya? Yang memilih menikah dibandingkan bekerja? Yang pencapaian tertinggi hidupnya adalah menikah? Iya? Apakah seperti itu?
“Mau.” Meera menjeda. “Semua orang mau menikah, Ngga. Tapi buat aku, saat ini — bukan waktunya buat nikah. Masih ada banyak hal yang mau aku jelajahi dan cari. Aku masih mau bebas.”
Lihat ... lelaki itu kasihan.
“Mbak Laras pikir setelah menikah sama aku, Mbak nggak bisa bebas?”
Meera menggeleng. “Nggak, Ngga … bukan gitu. Bagi aku, menikah itu menyerahkan seluruh hidupku ke laki-laki. Aku sendiri yang akan memutuskan untuk nggak bebas lagi. Meskipun suamiku bilang, aku bisa bebas. Aku tetap mau dalam aturan dia.”
Hm, prinsip Meera cukup untuk diberi nilai. Abhimana sejujurnya muak, dengan drama gila ini. Benar-benar mengingatkan ia pada Lingga dan Abhimata — oh astaga, para saudaranya menggila pada satu perempuan yang sama!
“Tapi untuk sekarang … aku nggak bisa, Ngga. Jangan paksa aku,” sambung Meera.
“Sampean (kamu) butuh waktu berapa lama, Mbak?”
Bajingan itu — sudah dibilang Meera tidak mau dipaksa, masih saja bertanya! Butuh berapa lama? Budek lo?!
Meera menghela napas. “Ngga, nikah itu nggak asal nikah. Tulung (tolong), kerjao sing bener sek (kerja saja yang benar dulu)”
“Sampean (kamu) pikir aku nggak iso (bisa) menghidupi sampean (kamu)?”
Gila! Banyak tanya! Abhimana yang menguping saja merasa muak.
“Kamu ini loh masih muda. Emang kamu nggak punya mimpi? Pikiranmu jangan kearah-arah sana, Ngga. Aku nggak pernah berpikir kamu nggak mampu menghidupi siapapun istrimu nanti. Aku yakin kok, setiap wong lanang iku mampu lek emang wes seneng karo wong wedok (setiap pria itu mampu kalau memang sudah suka sama perempuan)”
“Tapi akunya, Ngga. Akunya nggak mau menikah dulu. Aku hargai perasaanmu. Aku hargai ajakan baikmu. Tapi menikah masih belum masuk ke list hidupku kedepannya.”
Lelaki itu terdiam sejenak, menatap lama dan akhirnya bicara, “Nggih (Ya) Mbak. Aku ngerti. Tapi — lek sampean (kalau kamu) beneran wes (sudah) siap. Kabari aku ya, Mbak?”
Percakapan berakhir. Gila. Drama luar biasa. Jarang-jarang Abhimana melihat pertunjukkan penolakan lamaran seperti ini. Belum lagi, lakonnya adalah seseorang yang ia kenal dan bahkan — ia sukai.
Bocah kampung kebanyakan gitu emang. Nikah, nikah. Kerja dulu, kocak! Lo pikir ngehidupin anak orang pakek daun ? Batin Abhimana sedikit kesal.
Selain karena Meera dilamar, ini juga karena — mengapa ada lelaki yang berani mengajak wanita menikah tanpa persiapan?
Itu jelas membuat Abhimana muak! Terlihat tidak bertanggung jawab!
Nanti kalau udah punya anak, kaget sama biaya. Nggak mau nafkahin. Emang kocak orang-orang tolol! Doyan bikin, ngurus kagak mau!
...[tbc]...
1280 kata, Kak. Jangan lupa tekan like. Dukung aku terus ya! 😭🤍🤏🏻
Abhimana mode sarkas. Bhi jangan gitu, sama-sama cowok gak boleh saling menghina :'(
btw abhimata kocak banget si😂, cocok nih iya sama lu nai, jodoin bhi mereka, btw lagi udah akrab banget lagi sama dahayu romannya🤭
pesannya, yg nerimah sama faham beda ya bi🤭
btw iya juga ya, gak mungkin juga kan langsung jatuh cinta, untuk yg setara juga gak selalu apalagi ini beda kasta,, selalu menarik cerita KA Sinta😊, ok KA Sinta lanjut, penarikan ini jalan cerita bakal gimana,
ini demam kecapean+liat Meera kembenan🤦🤣
btw bhi baju begitu malah lucu bagus Anggunly, estetik, dan syantik 🥰 KA Shinta banget ini mah🤭
Abhimana semangat makin susah ini romannya buat deketin kalo begini ceritanya 🤭
tapi kita liat KA Shinta suka ada aja jalannya🤭😅